Pemerintah Diminta Tertibkan Perusahaan Gula Rafinasi
Panitia Kerja Pengawasan Impor Bahan Baku Industri Komisi VII DPR menduga ada praktik oligopoli di industri gula rafinasi. Praktik itu dinilai merugikan petani tebu dan mengancam kemandirian pangan.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah mengevaluasi dan menertibkan praktik kartel dalam industri gula rafinasi yang selama ini merugikan petani tebu dan mengancam kemandirian pangan. Dewan menduga ada cacat prosedur dan pelanggaran praktik persaingan usaha yang sehat dalam proses rekomendasi impor dan pengawasan distribusi gula hasil olahan.
Hal itu dibahas dalam rapat kerja Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Kementerian Perindustrian di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/2/2022). Dalam kesempatan itu, Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Impor Bahan Baku Industri dari Komisi VII memaparkan sejumlah hasil temuan sementaranya. Sampai saat ini, penyelidikan oleh panja masih terus berlangsung.
Ketua Panja Pengawasan Impor Bahan Baku Industri Bambang Heriyadi mengatakan, hasil penelusuran panja menemukan adanya praktik oligopoli di industri gula rafinasi. Sebanyak 11 perusahaan yang mendapat izin kuota mengimpor gula kristal mentah (GKM) menjadi gula kristal rafinasi (GKR) untuk kebutuhan industri terindikasi dikuasai hanya oleh segelintir orang.
Menurut dia, hal itu melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. ”Ini seperti gurita, kepalanya satu tetapi kakinya ada banyak. Ada sekitar lima perusahaan yang kami deteksi hanya dimiliki orang yang itu-itu saja. Kalau mau dievaluasi, sebenarnya yang lolos administrasi seharusnya tidak sampai 11 perusahaan,” katanya.
Pengawasan terhadap distribusi gula hasil olahan yang tidak ketat dan transparan memunculkan potensi rembesan dari yang seharusnya dijual ke industri menjadi ke pasar konsumsi. Gula olahan yang tidak sesuai peruntukan dan masuk ke pasar konsumsi itu pun otomatis merugikan petani tebu karena semakin menekan harga gula petani dan membuat gula hasil petani tidak terserap di pasaran.
”Potensi rembesan dari gula olahan yang seharusnya untuk industri itu selama ini terus terjadi dan mengkhawatirkan. Sementara, dengan disparitas harga yang tinggi, perusahaan-perusahaan itu bisa memetik keuntungan yang besar sampai 40 persen dengan menjual diam-diam ke pasar konsumsi,” kata Bambang, yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR.
Praktik tersebut dilakukan di tengah semakin membengkaknya impor gula mentah (raw sugar) untuk diolah menjadi gula kristal rafinasi untuk kebutuhan industri. Dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) Pangan, 26 Oktober 2021 lalu, pemerintah menerbitkan rekomendasi persetujuan impor sebesar 3,48 juta ton gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal rafinasi.
Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan kuota impor gula kristal mentah untuk rafinasi tahun 2021 sebesar 3,2 juta ton. Secara umum, pemerintah memberikan rekomendasi impor gula mentah sebanyak 4,37 ton tahun ini, dengan rincian impor gula mentah untuk rafinasi sebanyak 3,48 juta ton dan impor gula mentah untuk kebutuhan konsumsi sebanyak 900.000 ton.
“Ini miris, karena ketika kita dengan gagah berani mengatakan mau memperkuat kemandirian pangan, impor gula justru terus naik dari tahun ke tahun. Kita memakmurkan petani, tetapi bukan petani kita, melainkan petani Thailand dan petani India,” kata Bambang.
Ketika kita dengan gagah berani mengatakan mau memperkuat kemandirian pangan, impor gula justru terus naik dari tahun ke tahun.
Membuka lahan tebu
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 10 Tahun 2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku dalam Rangka Pembangunan Industri Gula sebenarnya telah mewajibkan perusahaan gula mengintegrasikan pabriknya dengan perkebunan tebu yang dimiliki sendiri oleh perusahaan industri tersebut atau bermitra dengan petani tebu untuk pemenuhan bahan baku.
Kendati demikian, menurut Bambang, kewajiban ini tidak dijalankan oleh perusahaan rafinasi. Dari 11 perusahaan yang mendapatkan izin mengimpor tersebut, tidak ada satu pun yang sudah membuka lahan tebu sendiri.
”Ada satu perusahaan yang punya niat membuat kebun tebu, tetapi uniknya perusahaan itu justru dikurangi jatah kuota impornya, sementara kuota impor untuk perusahaan yang tidak membuka lahan justru ditambah,” kata Bambang.
Kewajiban ini dilonggarkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. UU Perkebunan awalnya mengatur setiap unit pengolahan hasil perkebunan tertentu yang berbahan baku impor wajib membangun kebun dalam waktu paling lambat tiga tahun setelah beroperasi.
Namun, UU Cipta Kerja menghilangkan batasan waktu tiga tahun tersebut. Pasal 74 dalam UU Cipta Kerja hanya mengatur bahwa setiap perusahaan tersebut wajib membangun kebun dalam jangka waktu tertentu setelah unit pengolahannya beroperasi.
“Ketika kami tanyakan kenapa tidak bermitra dengan petani dan membuka lahan sendiri, alasannya macam-macam. Sedang proses mencari dan menawar lahan, lah, dan lain-lain. Kesan yang kami tangkap, memang tidak ada niat untuk mengurangi impor, karena sudah bertahun-tahun selalu seperti ini,” kata Bambang.
Memperkuat pengawasan
Menanggapi hal itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita membenarkan, selama ini kerap ada laporan bahwa gula olahan rafinasi merembes ke pasar konsumsi. Saat ini, ujarnya, pemerintah sedang memperkuat pengawasan dan penelusuran distribusi gula tersebut.
Salah satunya melalui Peraturan Menperin Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional yang mengatur tentang pemisahan antara gula rafinasi untuk industri dan gula tebu untuk konsumsi.
Ia mengatakan, pemisahan antara gula rafinasi dan konsumsi itu dibuat untuk mempermudah industri pengguna gula seperti industri makanan dan minuman (mamin) serta farmasi untuk mendapatkan bahan baku. “Rafinasi hanya bisa dilakukan untuk menyervis industri pengguna gula, tidak bisa untuk konsumen. Ini sudah jelas aturannya,” kata Agus.
Saat ditanyakan mengenai praktik oligopoli industri rafinasi yang saat ini hanya dikuasai segelintir perusahaan, Agus mengatakan, pemberian izin bagi sejumlah perusahaan rafinasi itu sudah diberikan sejak tahun 2005 sebelum ia menjabat. Ia membenarkan, ada satu induk perusahaan yang tidak hanya memiliki pabrik rafinasi, tetapi juga pabrik gula kristal putih untuk konsumsi. ”Ini sesuatu yang memang harus kita cermati. Ini kan pemberian izin ini pada tahun 2005, sudah beberapa tahun lalu,” kata Agus.
Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto meminta pemerintah mendalami persoalan tersebut dan melaporkannya secara mendetail dalam kesempatan rapat kerja berikutnya. Komisi VII DPR juga masih terus mendalami persoalan tersebut lewat Panja Pengawasan Impor Bahan Baku Industri.
Saat ini, panja masih mendalami permasalahan impor gula, tetapi ke depan juga akan menelisik perihal impor bahan baku industri yang lainnya. ”Ini perlu menjadi catatan serius karena kita terus-menerus mengimpor pangan, sementara petani kita terus menjerit,” katanya.