Karut-marutnya tata kelola pupuk subsidi menjadi persoalan dari hulu ke hilir, mulai dari keterbatasan produksi dan anggaran, lemahnya pengawasan dalam penyaluran, hingga disparitas harga dengan nonsubsidi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kompleksnya persoalan tata kelola pupuk subsidi membuat riak selalu muncul setiap tahun, terutama di kalangan petani sebagai pihak yang selalu dirugikan. Pemerintah, dari pusat hingga daerah, perlu bersinergi dalam melihat persoalan ini secara serius. Di tingkat bawah, pengawasan amat mendesak.
Karut-marutnya tata kelola pupuk subsidi sejatinya persoalan dari hulu ke hilir, mulai dari keterbatasan produksi dan anggaran, lemahnya pengawasan dalam penyaluran, disparitas harga dengan pupuk nonsubsidi, hingga perencanaan yang tak terkelola optimal pada Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK).
Pada akhirnya, seperti laporan investigasi harian Kompas, Kamis-Jumat (27-28/1/2022), ditemukan sejumlah penyimpangan. Penyimpangan itu di antaranya keberadaan sindikat yang memperdagangkan subsidi di luar ketentuan, ketersediaan yang tak sesuai musim tanam, manipulasi pada data e-RDKK, dan data pada kartu tani yang tak sinkron dengan alokasi pupuk. Masalah-masalah itu selalu berulang.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional M Yadi Sofyan Noor yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (30/1/2022), mengatakan, dari kebutuhan berdasarkan e-RDKK sebesar 22 juta-26 juta ton per tahun, pemerintah pusat hanya mampu menganggarkan 9 juta ton.
Tidak terpenuhinya kebutuhan pupuk subsidi itu yang selalu dimasalahkan petani setiap tahun. ”Namun, yang utama, kita harus jujur dan lihat. Di tingkat bawah, ada persoalan distribusi atau penyaluran. Pengawasan tidak berjalan maksimal, padahal ada Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3),” ujar Yadi.
Seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian disebutkan, KP3 ialah wadah koordinasi instansi terkait yang dibentuk gubernur untuk tingkat provinsi dan oleh bupati/wali kota untuk tingkat kabupaten/kota.
Yadi mengatakan, organisasi petani seharusnya masuk ke dalam KP3. ”Dulu, KTNA masuk dalam KP3, tetapi sekarang sudah tidak. Padahal, petani yang tahu kondisi lapangan. Saat ini, sulit mengontrol (penyimpangan penyaluran pupuk) karena bukan pelaku yang mengawasi,” katanya.
Terkait dengan ketahanan pangan, ia pun mendorong agar pupuk subsidi difokuskan pada komoditas pangan, yakni padi, jagung, dan kedelai. Sementara untuk tanaman-tanaman hortikultura, ia menilai para petaninya relatif lebih mapan dari tanaman pangan. Penggunaan pupuk kimia pada hortikultura juga cenderung riskan.
”Perlu ada aturan lagi dengan rinci, misalnya komoditas mana yang dapat subsidi dan mana yang tidak. Cukup melalui keputusan menteri, atau keputusan bersama Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, BUMN, dan lainnya, agar pupuk subsidi lebih fokus, begitu juga anggarannya,” ujar Yadi.
Ia pun mendorong penggunaan pupuk organik lebih digencarkan. ”Sudah saatnya pemerintah mengalihkan pertanian ini agar tidak tergantung (pupuk kimia) lagi. Selama ini, petani melihat urea dalam tiga hari (padi) sudah hijau. Yang dilihat seperti itu. Namun, organik juga sebenarnya bisa, dengan disiapkan sejak sebelumnya,” katanya.
Jauh dari harapan
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Ali Jamil mengatakan, pupuk bersubsidi bukan langka, tetapi dari total pengajuan melalui e-RDKK, hanya dapat dipenuhi sekitar 40 persen. Hal tersebut terjadi hampir setiap tahun.
”Kebutuhan petani secara nasional mencapai 22,57 juta ton hingga 26,18 juta ton per tahun. Namun, anggaran negara (Kementerian Keuangan) hanya cukup untuk 8,87 juta ton hingga 9,55 juta ton senilai Rp 25 trilliun. Pasti jauh dari harapan,” kata Ali dalam keterangannya, Sabtu (29/1/2022).
Ia pun meminta KP3 di daerah aktif memantau pengajuan dan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani. Menurut dia, unsur pejabat daerah dan penegak hukum harus tegas jika menemukan indikasi kecurangan dan permainan distribusi pupuk bersubsidi.
”Pengawalan sistem e-RDKK berbasis NIK (nomor induk kependudukan) juga terus kami perketat. Di samping itu, kami melakukan upaya efisiensi dan substitusi pada pupuk organik,” jelasnya.
Pada 2022, Kementan telah menetapkan pupuk urea yang dialokasikan sebanyak 4,2 juta ton, SP-36 541.201 ton, ZA 823.475 ton, NPK 2,5 juta ton, NPK formula khusus 11.469 ton, organik granul 1 juta ton, dan organik cair 1,9 juta ton.
Fungsional Analis Prasarana dan Sarana Pertanian pada Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jawa Timur, Edy Purwanto, menuturkan, disparitas harga pupuk bersubsidi dan nonsubsidi menjadi salah satu pemicu penyimpangan distribusi. Contohnya, harga eceran tertinggi urea bersubsidi sebesar Rp 112.500 per karung (50 kg), sedangkan harga urea nonsubsidi di pasaran bisa 2,5-3 kali lipat lebih mahal.
Di sisi lain, tak semua petani mendapat alokasi pupuk bersubsidi. Sebab, peruntukannya hanya bagi petani yang terdaftar di e-RDKK Kementan, dengan lahan paling luas 2 hektar, setiap musim tanam. ”Karena itu, yang tidak terdaftar sering kali berusaha mendapatkannya,” ujar Edy.
Selain berkoordinasi dengan dinas pertanian kabupaten/kota, menurut Edy, pihaknya juga menyampaikan kepada PT Pupuk Indonesia Wilayah Jatim agar mengawasi distribusi mulai dari pabrik, distributor, sampai kios atau pengecer, sesuai Permendag Nomor 15 Tahun 2013.