Dialog Pengusaha dan Buruh Diharapkan Berdampak pada Kebijakan
Forum dialog rutin antara Kadin dan konfederasi serikat buruh diharapkan memunculkan solusi atas berbagai sengketa dan polemik yang memanaskan hubungan industrial akhir-akhir ini.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Di tengah berbagai polemik isu ketenagakerjaan, komunikasi antara pimpinan Kamar Dagang dan Industri Indonesia dan pimpinan sejumlah konfederasi serikat buruh semakin intens beberapa bulan terakhir. Dialog rutin antara pihak pengusaha dan buruh itu diharapkan berdampak nyata bagi kesejahteraan pekerja serta masa depan hubungan industrial yang lebih kondusif.
Pertemuan teranyar antara pimpinan kelompok pengusaha dan buruh digelar di Jakarta, Kamis (13/1/2022). Dalam pertemuan dengan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid itu, hadir enam pimpinan konfederasi serikat buruh dan pekerja. Itu merupakan pertemuan kedua setelah agenda pertama pada 8 Desember 2021.
Perwakilan organisasi buruh yang hadir adalah Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, dan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban.
Selain itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi, Presiden KSPSI Yorrys Raweyai, dan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Syaiful Bahri Anshori. Keenam serikat buruh tersebut termasuk dalam anggota Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional (LKS Tripnas) yang melibatkan perwakilan pengusaha, buruh, dan pemerintah.
Dalam pertemuan kedua itu, Kadin dan keenam konfederasi buruh bersepakat meningkatkan dialog sosial dan berkolaborasi untuk mencanangkan sejumlah program strategis yang mendukung kesejahteraan pekerja. Berbagai program itu akan diwadahi dalam kelompok-kelompok kerja (pokja) yang disepakati lewat penandatanganan nota kesepahaman (MOU).
Sejumlah organisasi buruh di luar LKS Tripartit yang tidak terlibat dalam pertemuan dengan Kadin berharap dialog rutin itu tidak hanya sebatas rangkaian pertemuan yang sifatnya formalitas, tetapi berdampak pada output kebijakan ketenagakerjaan yang menyejahterakan buruh serta mendorong iklim hubungan industrial yang kondusif.
Terutama, mengingat belakangan ini ada banyak persoalan dan polemik seputar isu ketenagakerjaan akibat dampak pandemi Covid-19 dan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebut saja, isu kebijakan upah minimum 2022 yang sampai hari ini masih memancing unjuk rasa buruh di daerah-daerah. Ada pula polemik panjang terkait perintah Mahkamah Konstitusi untuk merevisi UU Cipta Kerja dalam waktu dua tahun ke depan.
Forum dialog rutin antara Kadin dan konfederasi serikat buruh diharapkan bisa memunculkan solusi atas berbagai sengketa dan polemik yang memanaskan iklim hubungan industrial itu.
”Pertemuan ini bagus untuk membangun komunikasi, tetapi tetap harus diwadahi LKS Tripartit dengan campur tangan pemerintah supaya resmi. Jangan sampai saat ngobrol-ngobrol yang dibicarakan A, tetapi besok (output kebijakannya) C,” kata Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, Jumat (14/1/2021).
Ia memandang pertemuan itu sebagai bentuk otokritik terhadap fungsi LKS Tripartit yang dinilai kurang efektif selama ini. ”Ini, kan, secara tidak langsung sindiran. Kalau LKS Tripartit berjalan, seharusnya tidak perlu ada pertemuan-pertemuan informal begini, karena semua akan dibahas dan diselesaikan bersama di forum,” katanya.
Kalau LKS Tripartit berjalan, seharusnya tidak perlu ada pertemuan-pertemuan informal begini, karena semua akan dibahas dan diselesaikan bersama di forum.
Sementara itu, Ketua Departemen Buruh Perempuan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Dian Septi meragukan rangkaian pertemuan rutin itu bisa menghasilkan kebijakan dan regulasi strategis yang pro-buruh serta menjawab isu-isu ketenagakerjaan yang krusial saat ini.
Menurut dia, berbagai rencana dan kesepakatan antara Kadin dan pimpinan konfederasi serikat buruh tersebut harus diteruskan ke pemerintah agar menjadi produk kebijakan resmi. Tanpa dampak pada kebijakan, ia mengkhawatirkan forum dialog itu hanya akan menjadi stempel legitimasi pelibatan buruh.
”Bagaimanapun juga, yang berwenang mengambil kebijakan dan memutuskan itu pemerintah. Selama ini, dialog ketenagakerjaan dengan melibatkan pemerintah saja sulit direalisasikan, apalagi yang tanpa pemerintah,” kata Dian.
Menurut dia, pada kenyataannya, pelaksanaan dialog bipartit di lapangan kerap kali tidak seimbang lantaran adanya relasi kuasa antara pemberi kerja dan pekerja. Posisi tawar pekerja yang memang sudah lemah semakin tertekan akibat sejumlah kebijakan dan regulasi ketenagakerjaan yang dikeluarkan pemerintah.
Pada kenyataannya, pelaksanaan dialog bipartit di lapangan kerap kali tidak seimbang lantaran adanya relasi kuasa antara pemberi kerja dan pekerja.
Ia mencontohkan, Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 104 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Covid-19, yang dinilai mengingkari hak buruh untuk berunding secara kolektif. Berbagai negosiasi bipartit seputar pengurangan upah, pemutusan kontrak, dan perubahan jam kerja sepanjang masa pandemi kerap berlangsung sepihak atau tanpa melibatkan serikat pekerja. Hal ini banyak ia temukan di sektor tekstil, garmen, sepatu dan kulit (TGSL), yang umumnya mempekerjakan buruh perempuan.
Belum dibahas
Elly Rosita Silaban membenarkan, pertemuan dengan Kadin pada Kamis kemarin belum membahas isu-isu krusial yang sedang ramai diperdebatkan. Sejak awal telah disepakati bahwa pertemuan itu tidak akan membahas isu panas seperti upah minimum 2022 dan UU Cipta Kerja.
”Kita sepakati dulu membentuk pokja, membuat MOU, dan mengadakan rapat rutin per bulan. Bisa jadi isu-isu itu nanti kita bahas di rapat-rapat rutin itu. Kalau bicara kesejahteraan buruh, pasti akan menyentuh isu upah, jaminan sosial, yang ujung-ujungnya juga berkaitan dengan undang-undang,” kata Elly.
Forum dialog tersebut dibuat karena serikat buruh menilai forum LKS Tripartit yang melibatkan pemerintah selama ini kurang efektif untuk mewadahi aspirasi buruh. Keputusan kerap diambil sepihak hanya oleh pemerintah dan didukung pengusaha. Konsensus sering kali tidak dicapai karena sejumlah perwakilan serikat buruh enggan ikut terlibat dalam LKS tripartit lantaran kecewa dan tidak percaya pada forum tersebut.
Tak hanya itu, perwakilan buruh yang ditempatkan di forum tripartit juga bukan pimpinan serikat yang bisa mengambil keputusan. ”Akhirnya, banyak kesepakatan yang mentah, menggantung, dan diambil tanpa pertimbangan utuh dari unsur buruh. Makanya, keputusan-keputusan forum tripartit itu sering kali justru membuat runyam dan memancing polemik,” ujar Elly.
Ia meyakini, hasil dialog buruh dan Kadin ini dapat memengaruhi pembentukan kebijakan strategis ketenagakerjaan. ”Pemerintah hanya regulator. Kalau pengusaha dan buruh yang ibarat (klub sepak bola) Barcelona dan Real Madrid ini saja bisa berdamai, seharusnya gampang,” katanya.
Kalau pengusaha dan buruh yang ibarat (klub sepak bola) Barcelona dan Real Madrid ini saja bisa berdamai, seharusnya gampang.
Sementara itu, Arsjad Rasjid mengatakan, pengusaha dan buruh pada prinsipnya sama-sama membutuhkan. Oleh karena itu, forum dialog sosial itu dibangun untuk menjalin kesepahaman dan mendorong kesejahteraan buruh secara jangka panjang.
MOU terkait pembentukan pokja kesejahteraan buruh menyepakati sejumlah program, antara lain pelatihan kerja, pemagangan, dan sertifikasi kerja. Disepakati pula program lain untuk menunjang kesejahteraan buruh, seperti penyediaan kawasan perumahan lengkap dengan fasilitas kesehatan dan pendidikan bagi buruh dan keluarganya di kawasan industri.