Kalangan masyarakat kelas menengah memiliki kemampuan dan kesediaan konsumsi lebih baik dibandingkan dengan kelas bawah yang berdaya beli rendah ataupun kalangan atas yang cenderung menahan belanja.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
Situasi Covid-19 di Indonesia masih cukup terkendali meskipun kewaspadaan perlu ditegakkan merespons merebaknya varian baru Omicron.
Sejalan dengan terkendalinya pandemi, konsumsi nasional mulai beranjak bangkit. Hal ini terefleksi pada kenaikan Indeks Keyakinan Konsumen di pengujung 2021. Luar biasa karena Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Desember 2021 tercatat 118,3. Angka ini berada di atas level pra-pandemi pada Februari 2020 sebesar 117,7.
Di luar optimisme konsumen, sinyal menguatnya geliat konsumsi juga tecermin dari data perbankan berupa rasio porsi pendapatan konsumen yang disimpan atau saving to income ratio. Semakin kecil rasio porsi pendapatan yang disimpan, artinya semakin besar rasio porsi konsumsi masyarakat.
Bank Indonesia (BI) mencatat, pada Desember 2021, saving to income ratio sebesar 14,1 persen, lebih kecil dibanding bulan sebelumnya yang tercatat 14,6 persen. Rasio di pengujung 2021 bahkan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan posisi pada Desember 2020 yang tercatat 19,4 persen.
Peningkatan belanja masyarakat ini tentu saja menjadi angin segar bagi prospek pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Peningkatan belanja masyarakat ini tentu saja menjadi angin segar bagi prospek pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Apalagi, kita tahu bahwa sebagai negara berpendapatan menengah ke atas, motor penggerak pertumbuhan ekonomi domestik adalah konsumsi rumah tangga.
Proyeksi kinerja positif industri ritel pada triwulan IV-2021 menunjukkan, kegiatan belanja dan mobilitas masyarakat kelas menengah di periode yang sama semakin meningkat. Ini menjadi sinyal baik bagi ekonomi domestik mengingat golongan kelas menengah punya daya beli yang relatif terjaga.
Namun, normalisasi konsumsi pada 2022 juga menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari mewabahnya varian Omicron, risiko inflasi, hingga pemangkasan insentif. Padahal, semakin menderunya putaran roda konsumsi sepanjang tahun lalu adalah buah dari insentif yang dikucurkan pemerintah, terutama terkait kluster perlindungan sosial.
Secara total, alokasi dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun ini hanya Rp 414,1 triliun. Besaran alokasi ini turun 44,39 persen dibandingkan dengan alokasi anggaran PEN 2021 yang mencapai Rp 744,77 triliun.
Sejalan dengan penyusutan itu, pemerintah memangkas alokasi stimulus yang ditujukan untuk masyarakat kelas menengah, baik dari sisi fiskal maupun bantuan langsung melalui pos perlindungan sosial.
Dorong belanja
Dalam PEN 2021 terdapat sejumlah alokasi pos insentif yang dimaksudkan untuk mendorong konsumsi masyarakat kelas menengah. Stimulus ini, di antaranya, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP) sektor perumahan, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) DTP kendaraan bermotor.
Adapun di dalam alokasi sementara PEN 2022, sejauh ini tidak terdapat pos anggaran yang langsung ditujukan untuk menggenjot konsumsi masyarakat kelas menengah. Pada tahun ini, PEN hanya mengakomodasi perlindungan masyarakat yang menyasar kalangan bawah.
Faktanya, kalangan masyarakat kelas menengah memiliki kemampuan dan kesediaan konsumsi lebih baik dibandingkan dengan kelas bawah yang berdaya beli rendah ataupun kalangan atas yang cenderung menahan belanja.
Sejauh ini, satu-satunya stimulus pendorong konsumsi kelas menengah yang dipastikan berlanjut hanya PPN DTP sektor perumahan. Namun, sejauh ini pemerintah punya kebijakan untuk memangkas besaran stimulus hingga 50 persen dibandingkan dengan alokasi pada tahun lalu.
Pemerintah berasumsi bahwa magnet konsumsi untuk kelas menengah tidak hanya berasal dari insentif. Faktor lainnya adalah kemampuan pemangku kebijakan dalam menangani krisis secara lebih luas.
Kalangan masyarakat kelas menengah memiliki kemampuan dan kesediaan konsumsi lebih baik dibandingkan dengan kelas bawah yang berdaya beli rendah ataupun kalangan atas yang cenderung menahan belanja.
Dalam kaitan tersebut, pemerintah optimistis dapat menguatkan kepercayaan diri masyarakat kelas menengah untuk terus membelanjakan uang mereka melalui jaminan semakin terkendalinya penyebaran Covid-19. Hal ini dilakukan dengan percepatan vaksinasi, khususnya booster.
Fleksibilitas fiskal
Dari sisi fiskal, pemegang otoritas telah berulang kali menegaskan bahwa pemberian insentif sangat fleksibel. Artinya, penyediaan stimulus untuk masyarakat akan disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika pandemi Covid-19 terkini.
Pemangku kebijakan pajak negara tengah merumuskan perincian jenis insentif yang ideal untuk mendorong konsumsi masyarakat. Terkait penentuan stimulus untuk dunia usaha, pemerintah akan memprioritaskan sektor usaha yang masih tertatih.
Hal tersebut dilakukan untuk menjamin efektivitas pemberian stimulus dan dampak yang ditimbulkan terhadap perekonomian. Langkah ini juga terutama diharapkan dapat menggenjot konsumsi yang menjadi motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi domestik.
Jika itu tujuannya, pemerintah bisa jadi perlu memperluas cakupan penerima bantuan sosial tahun ini. Daya beli kelas menengah diharapkan mampu mengompensasi tekanan yang dihadapi oleh masyarakat kelas bawah yang cukup rentan sejalan dengan meningkatnya risiko lonjakan inflasi.