Pendataan nelayan secara akurat diperlukan guna memastikan kebijakan penangkapan terukur tidak memicu penangkapan berlebih.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan penangkapan ikan terukur yang digulirkan pemerintah perlu segera diperkuat dengan validasi pendataan nelayan dan kapal perikanan. Pendataan atau registrasi kapal diperlukan guna mengantisipasi penangkapan ikan berlebih atau overfishing.
Mulai tahun 2022, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memberlakukan sistem kontrak penangkapan ikan di zona industri perikanan (fishing industry) sebagai bagian dari kebijakan penangkapan terukur di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia (WPPNRI). Dengan sistem kontrak itu, pemerintah membuka kesempatan investor dalam dan luar negeri untuk memanfaatkan sumber daya ikan dengan jaminan kepastian berusaha 15 tahun.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohammad Abdi Suhufan mengharapkan, kebijakan penangkapan terukur dilakukan sejalan dengan upaya pemerintah untuk melindungi kegiatan penangkapan ikan skala kecil. Namun, salah satu tantangan implementasi perikanan terukur adalah masih banyaknya perahu atau kapal ikan ukuran kecil yang belum teregistrasi oleh pemerintah.
“Sejauh ini pemerintah belum pernah melakukan kegiatan sensus kapal ikan, sehingga jumlah kapal yang teregistrasi saat ini diperkirakan jauh dari angka yang sebenarnya,” kata Abdi, di Jakarta, Minggu (9/1/2022).
Ia menambahkan, sensus kapal ikan dari berbagai ukuran yang diperkirakan jumlahnya kurang dari 700.000 harus menjadi prioritas pemerintah saat ini. Registrasi kapal ikan merupakan titik masuk penelusuran hasil tangkapan jika Indonesia ingin mengikuti sertifikasi produk perikanan oleh sejumlah lembaga internasional. Pihaknya mendukung pemerintah untuk melakukan registrasi kapal ikan melalui kegiatan pengukuran dan penerbitan pas kecil.
Registrasi kapal ikan merupakan titik masuk penelusuran hasil tangkapan jika Indonesia ingin mengikuti sertifikasi produk perikanan oleh sejumlah lembaga internasional
Kegiatan penangkapan tuna oleh nelayan kecil kini semakin berkembang. Namun, masih banyak kapal penangkapan ikan ukuran kecil yang belum memiliki pas kecil dan tanda daftar kapal perikanan (TDKP). Saat ini, DFW Indonesia bekerjasama dengan Burung Indonesia tengah memfasilitasi pengukuran dan penerbitan pas kecil bagi nelayan penangkap tuna di kabupaten Buton, bekerjasama dengan Kementerian Perhubungan dan KKP.
Koordinator Program Wabula, DFW Indonesia, Nasruddin, mengatakan, pengukuran kapal dan penerbitan pas kecil itu diperuntukkan bagi nelayan penangkap tuna yang memiliki armada berukuran di bawah 5 gros ton (GT), serta alat tangkap pancing ulur (hand line). Kegiatan yang berlangsung tanggal 8-9 Januari di desa Holimbobo Jaya, Wabula, Wasuembda dan Tolando, Kabupaten Buton itu mengukur 86 perahu nelayan.
Petugas ukur kapal dari kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) Kelas I Baubau Kabupaten Buton, Zulhamran, mengatakan, pihaknya sangat mendukung kegiatan pemberdayaan nelayan melalui pengukuran kapal. “Kegiatan gerai ukur dan penerbitan sertifikat pas kecil ini merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam meningkatkan keselamatan pelayaran bagi nelayan,” kata Zulhamran.
Kerja Sama
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini, dalam konsultasi publik terkait sistem kontrak akhir Desember 2021, mengemukakan, sistem kontrak penangkapan ikan merupakan bentuk kerja sama pemerintah dengan mitra dalam pemanfaatan sumber daya ikan di WPPNRI. Mitra kerja sama tersebut berupa entitas usaha berbadan hukum, yaitu koperasi dan perseroan terbatas.
Pemerintah akan memberikan jaminan berusaha bagi pelaku usaha yang menerapkan sistem kontrak ini, yaitu kesempatan berusaha selama 15 tahun masa kontrak dan kepastian pemanfaatan sumber daya ikan yang terukur dan kuota sudah diatur sesuai potensi di masing-masing zona penangkapan ikan.
Sistem kontrak diharapkan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan, serta penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Selain itu, mendorong pertumbuhan industri perikanan di seluruh wilayah Indonesia.
Zaini menambahkan, sistem kontrak diharapkan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan, serta penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Selain itu, mendorong pertumbuhan industri perikanan di seluruh wilayah Indonesia.
Sementara itu, CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa, mengemukakan, negara tidak boleh kehilangan fungsi pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan dalam pemanfaatan sumber daya ikan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pemberlakuan sistem kontrak untuk pemanfaatan sumber daya ikan dikhawatirkan mendegradasi peran negara dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
Jika negara bertujuan mengejar kenaikan PNBP sektor perikanan, lanjut Mas Achmad, maka upaya yang dapat dilakukan adalah mengoptimalkan peran BUMN Perikanan, meningkatkan kualitas data dan laporan pendaratan ikan, sehingga tidak ada ikan yang tidak dilaporkan. Selain itu, kualitas dan intensifikasi pengawasan di WPPNRI juga ditingkatkan. Pertukaran data dengan Kementerian Keuangan dan koordinasi intensif untuk meningkatkan penerimaan pajak dan PNBP sektor perikanan juga perlu dilakukan.