Penerapan sistem kontrak penangkapan ikan mulai tahun 2022 menuai kontroversi. Sistem itu dinilai akan memicu praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan sumber daya ikan sebagai bagian dari sumber daya alam memerlukan kehadiran negara. Sistem kontrak penangkapan ikan berjangka 15 tahun untuk industri dalam negeri dan penanaman modal asing dikhawatirkan membuka celah praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau IUU Fishing.
Mulai tahun 2022, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memberlakukan sistem kontrak penangkapan ikan di zona industri perikanan (fishing industry). Langkah ini sebagai bagian dari kebijakan penangkapan terukur di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia (WPPNRI). Dengan sistem itu, negara menargetkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) perikanan tangkap tahun 2022 mencapai Rp 1,5 triliun dan diharapkan naik menjadi Rp 4 triliun pada 2023.
Ketua Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Perikanan dan Kelautan Indonesia (FP2TPKI) La Sara, yang juga Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo, Kendari, menyoroti pemberlakuan sistem kontrak penangkapan ikan berpotensi menyuburkan praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur. Pengawasan di perairan Indonesia dinilai masih belum memadai, dengan jumlah armada pengawasan, biaya operasiona,l dan sarana pemantauan yang sangat terbatas.
Keamanan laut Indonesia selama ini masih menghadapi ancaman akibat pencurian ikan oleh kapal-kapal asing, perompakan bersenjata di perairan, serta pelanggaran kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh kapal asing yang masuk dengan didampingi kapal induk (coast guard). Di tengah tantangan itu, pemerintah membuka pelelangan kontrak penangkapan ikan di zona industri perikanan untuk investor dalam dan luar negeri hingga jangka waktu 15 tahun.
La Sara mengingatkan, pembukaan kontrak penangkapan untuk penanaman modal asing tanpa diimbangi pengawasan ketat di laut berpotensi mengancam kelestarian sumber daya ikan. Tidak ada jaminan bahwa sistem kontrak akan menekan praktik IUU Fishing.
Masuknya pemodal besar, termasuk pemodal asing, yang didukung teknologi tinggi tidak menjamin kapal-kapal ikan itu tidak akan menangkap di area nelayan lokal. Alih muatan kapal di tengah laut (transshipment) ilegal juga berpotensi terus terjadi.
”Kontrak perikanan berbahaya sama saja menunjukkan bahwa negara kita malas mengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Begitu mudahnya kita kontrakkan selama 15 tahun kepada penanaman modal asing dan perusahaan besar, sedangkan kita tidak bisa optimal memantau apa yang terjadi selama 20 tahun tersebut. Itu berbahaya sekali bagi kita karena IUU Fishing bisa berlanjut,” kata La Sara dalam diskusi ”Rekam Jejak Kebijakan Kelautan dan Perikanan 2021 dan Proyeksi 2022” yang digelar Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) secara daring, di Jakarta, Jumat (7/1/2022).
Zona industri perikanan yang menerapkan sistem kontrak penangkapan ikan meliputi empat zona di tujuh WPP, yakni WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan), WPP 716 (Laut Sulawesi), dan 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik). Selain itu, ada WPP 715 (Laut Maluku dan Laut Halmahera), WPP 718 (Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur), serta WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara).
Ia menambahkan, penetapan target PNBP seharusnya berbasis data ilmiah stok ikan untuk bisa dimanfaatkan oleh industri perikanan. Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) telah selesai menjalankan mandat negara untuk merumuskan kajian ilmiah terkait stok ikan dan jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB). Namun, data dan hasil kajian itu dinilai tidak dijadikan rujukan oleh KKP dalam menetapkan stok ikan.
”Jangan sampai perikanan tangkap terukur malah menyuburkan IUU Fishing karena kajian stok (ikan) di setiap WPP RI bukan merupakan data yang dihasilkan Komnas Kajiskan,” ujar La Sara yang juga anggota Komnas Kajiskan.
Berdasarkan data KKP, JTB yang ditawarkan untuk dieksploitasi oleh industri perikanan di zona industri perikanan mencapai 4.881.000 ton per tahun senilai Rp 120,23 triliun. Investor asing yang mengikuti sistem kontrak disyaratkan berbentuk perusahaan penanaman modal asing dengan nakhoda dan anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan Indonesia. Perusahaan memiliki kepastian hukum untuk memanfaatkan kuota tangkapan ikan didasarkan pada hasil penghitungan stok ikan di laut dan JTB.
Sementara itu, CEO dan Chief Executive Officer Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa mengemukakan,negara tidak boleh kehilangan fungsi pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan dalam pemanfaatan sumber daya ikan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Pemberlakuan sistem kontrak untuk pemanfaatan sumber daya ikan dikhawatirkan justru mendegradasi peran negara dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
Becermin pada pengalaman lalu, saat kapal asing dan eks kapal ikan asing diperbolehkan menangkap ikan di ZEE Indonesia tahun 2000 hingga 2014, tingkat kepatuhan pelaku usaha sangat rendah, pengawasan kepatuhan sulit dilakukan, ditemukan praktik penggandaan izin, banyak terjadi transshipment ilegal, serta hasil penangkapan yang tidak dilaporkan.
Becermin pada pengalaman lalu, saat kapal asing dan eks kapal ikan asing diperbolehkan menangkap ikan di ZEE Indonesia tahun 2000 hingga 2014, tingkat kepatuhan pelaku usaha sangat rendah.
Sementara itu, Indonesia belum mampu melakukan pengawasan terhadap kapal-kapal ikan di WPPNRI dengan optimal karena keterbatasan kemampuan operasional, jumlah armada patroli, serta belum terlaksananya koordinasi yang efektif di antara lembaga penegak hukum laut.
”Rencana untuk mengizinkan PMA dan badan usaha asing mendapatkan kontrak pemanfaatan ikan di ZEE Indonesia perlu disikapi dengan sangat hati-hati,” kata Mas Achmad.
Jika negara bertujuan mengejar kenaikan PNBP sektor perikanan, lanjut Mas Achmad, upaya yang dapat dilakukan adalah mengoptimalkan peran BUMN Perikanan, meningkatkan kualitas data dan laporan pendaratan ikan sehingga tidak ada ikan yang tidak dilaporkan (unreported), meningkatkan kualitas dan intensifikasi pengawasan di WPPNRI. Selain itu, pertukaran data dengan Kementerian Keuangan dan koordinasi intensif untuk meningkatkan penerimaan pajak dan PNBP sektor perikanan.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini menjelaskan, penangkapan ikan terukur menjadi salah satu upaya yang dilakukan KKP agar ekonomi dan ekologi dapat berjalan seimbang. Untuk menerapkan hal tersebut, sejumlah program kegiatan telah disiapkan, di antaranya pembagian zona penangkapan ikan terukur di WPPNRI, implementasi PNBP pascaproduksi, dan sistem kontrak penangkapan ikan.
”Penangkapan ikan akan diatur berdasarkan kuota tangkapan. Selain itu, pengendalian dilakukan dengan perizinan mempertimbangkan kuota per kapal perikanan,” kata Zaini dalam keterangan pers, Jumat.
Untuk mendukung program pemberdayaan nelayan, petunjuk teknis bantuan pemerintah tahun 2022 juga telah diterbitkan pada 2021 dan diharapkan seluruh bantuan pemerintah ini dapat rampung pada pertengahan tahun 2022. Bantuan tersebut antara lain 75 unit kapal perikanan, 1.000 bantuan alat penangkapan ikan, 120.000 bantuan premi asuransi nelayan, 2 TPI perairan darat, dan 10 paket rumah ikan.