Seretnya pasokan batubara untuk kebutuhan dalam negeri menunjukkan buruknya tata kelola rantai pasok batubara Indonesia. Pemerintah mesti tegas menegakkan aturan dan pengawasan dalam kontrol penguasaan sumber daya alam.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Berawal dari harga batubara sepanjang 2021 yang amat menggiurkan, pengusaha ramai-ramai mengekspor. Kewajiban memasok batubara ke dalam negeri seret. Pembangkit listrik terancam kurang pasokan dan berpotensi terjadi pemadaman. Presiden marah. Direksi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang mengurusi pengadaan energi primer dicopot.
Demikian yang terjadi dalam sepekan ini. Tak cukup di situ, Kamis (6/1/2022), Presiden Joko Widodo mengumumkan pencabutan 2.078 izin perusahaan penambangan mineral dan batubara. Pencabutan dilakukan lantaran perusahaan tidak pernah menyampaikan rencana kerja. Izin sudah bertahun-tahun diberikan, tetapi tidak dikerjakan.
Tahun lalu, batubara memang membuat silau. Harga batubara acuan (HBA) yang ditetapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral periode Januari 2021 adalah 75,84 dollar AS per ton. HBA ditutup di level 159,79 dollar AS per ton pada Desember 2021. Rekor tertinggi dicetak pada November 2021 yang sebesar 215,01 dollar AS per ton. Secara rata-rata, HBA sepanjang 2021 menjadi 121,47 dollar AS per ton, jauh melampaui pada 2020 yang hanya 58,17 dollar AS per ton.
Kembali ke HBA 2021 yang rata-rata 121,47 dollar AS per ton. Harga itu jauh di atas harga pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) batubara yang ditetapkan pemerintah sebesar 70 dollar AS per ton. Tak mengherankan apabila pengusaha ”fokus” menjual batubara ke pasar luar negeri yang harganya jauh lebih menarik ketimbang menjualnya ke dalam negeri.
Akibatnya, pasokan batubara untuk pasar domestik langka. Sektor kelistrikan adalah pengguna utama pasokan batubara dalam negeri. Catatan Kementerian ESDM menyebutkan, dari 137,5 juta ton kebutuhan batubara di dalam negeri pada 2021, kelistrikan menggunakannya sebanyak 113 juta ton atau setara 82 persen. Sayang, karena harga DMO batubara dianggap murah, perusahaan batubara memilih menjualnya di pasar internasional. Dari 613 eksportir batubara yang terdaftar dan wajib melaksanakan komitmen DMO, sebanyak 418 perusahaan sama sekali tidak menjalankan komitmen itu pada 2021 (Kompas, 5/1/2022).
Untuk mencegah krisis pasokan batubara dalam negeri, pemerintah menerbitkan larangan ekspor batubara untuk periode 1-31 Januari 2022. Jika pelarangan tak diambil, kekurangan pasokan batubara berdampak pada lebih dari 10 juta pelanggan PLN, mulai dari masyarakat umum hingga industri di dalam dan di luar Jawa, Madura, dan Bali. Ada 20 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan kapasitas terpasang 10.850 megawatt (MW) yang bakal padam karena kekurangan pasokan batubara (Kompas, 3/1/2022).
Negara vs pengusaha
Kekurangan pasokan batubara bagi kebutuhan pembangkit listrik PLN menunjukkan ada yang keliru dalam tata kelola rantai pasok batubara. Pemerintah seolah lalai mengontrol pemenuhan DMO batubara secara berkala agar PLTU tidak kehabisan bahan bakar. Ingat, PLTU yang membakar batubara berkontribusi 65 persen terhadap seluruh ragam bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia. Terbayang akan terjadi pemadaman listrik massal apabila PLTU kekurangan pasokan batubara.
Kenapa pemerintah sampai lengah dan pengusaha abai terhadap pemenuhan DMO batubara? Selain disparitas harga DMO batubara dengan harga pasar, pemenuhan DMO batubara untuk kebutuhan pembangkit listrik seharusnya dijadwal sesuai kebutuhan setiap pembangkit. Untuk itu, setiap bulan harus ada penghitungan kecukupan stok hingga pengiriman untuk menambah pasokan.
Kontrak jual-beli batubara untuk kebutuhan pembangkit pun sebaiknya dibuat secara jangka panjang. Dengan demikian, ada kepastian pasokan. Begitu pula dalam urusan bongkar-muat batubara oleh PLN sebaiknya dibuat seefisien mungkin. Disparitas harga DMO batubara dengan harga pasar juga bakal dikaji ulang. Faktor-faktor tersebut sudah disampaikan pemerintah dan dijanjikan akan diperbaiki.
Satu hal yang tak kalah penting adalah kontrol negara terhadap pengusaha tidak boleh lemah, apalagi kalah. Bagaimanapun, batubara adalah sumber daya alam yang dikuasai negara. Pengusaha adalah kontraktor yang harus tunduk dan patuh terhadap aturan main yang dibuat negara.
Mengenang kembali pada Maret 2016, saat itu HBA berada di kisaran 50 dollar AS per ton. Dengan harga yang tak menguntungkan itu, pengusaha memberi sinyal ke pemerintah tidak bisa menjamin kelangsungan pasokan batubara untuk megaproyek listrik 35.000 MW yang baru diresmikan setahun sebelumnya (Kompas, 8/3/2016). Kini, di saat harga batubara di atas level 100 dollar AS per ton, mereka juga ”lupa” memasok batubara untuk kebutuhan dalam negeri.
Sembari membenahi tata kelola pengadaan batubara oleh PLN, pemerintah semestinya menegakkan wibawanya di mata pengusaha agar patuh dan tunduk kepada aturan yang berlaku. Tak melulu urusan DMO batubara, lubang bekas tambang batubara yang tak dipulihkan pengusaha perlu ditertibkan. Begitu juga masalah perpajakan hingga pencatatan ekspor. Begini memang nasib negara yang sumber daya alamnya dianggap sebagai komoditas, bukan modal pembangunan dalam negeri.