Menopang Pemulihan Ekonomi dengan Kinerja Fiskal
Penyehatan fiskal yang diharapkan tetap berlanjut pada tahun depan bakal memperkuat amunisi pemerintah untuk melakukan manuver anggaran demi pemenuhan kebutuhan belanja.
“APBN mulai pulih saat ekonomi pulih. Dua tugas ini harus dilakukan bersama-sama. Bukan pilihan, tetapi harus dilakukan bersama-sama.”
Kutipan tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah kesempatan di pertengahan tahun 2021. Ia menyampaikan hal itu ketika tanda-tanda pemulihan kinerja APBN di tahun ini semakin terang, usai tahun lalu babak-belur dihajar pandemi Covid-19.
Sekadar kilas balik, di tahun 2020, pemerintah mengumpulkan penerimaan pajak hingga 85 persen dari target yang diamanatkan Undang-Undang (UU) APBN 2020. Di sisi lain, pemerintah harus memberikan dukungan dan membantu wajib pajak mendapatkan insentif pajak agar ekonomi tetap berjalan dan membantu dunia usaha.
Imbas dari seretnya penerimaan pajak serta besarnya penggunaan kas negara untuk jaring pengaman sosial kala itu membuat realisasi APBN 2020 mengalami defisit Rp 947,70 triliun. Nilai itu setara dengan 6,14 persen PDB.
Seusai APBN mengalami periode kelam, di pengujung tahun 2021 semburat cahaya seolah mulai menyingsing memberi harapan. Perbaikan kinerja APBN akhir tahun ini jadi asa penguatan fondasi keuangan negara. Fondasi penting dalam menghadapi berbagai potensi risiko yang mengancam pemulihan ekonomi pada 2022.
Baca juga : RUU APBN 2022 Disetujui
Posisi defisit APBN yang masih berada di bawah target setahun penuh didukung oleh kinerja penerimaan pajak yang mencatatkan perbaikan jika dibandingkan dengan periode pandemi Covid-19 tahun lalu. Tercatat penerimaan pajak mencapai Rp 1.082,6 triliun pada November 2021, naik 17 persen secara tahunan.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan bahkan mencatat penerimaan pajak sampai 26 Desember 2021 telah mencapai Rp 1.231,87 triliun atau 100,19 persen dari target APBN 2021 sebesar Rp 1.229,6 triliun.
Ini adalah kali pertama dalam satu dekade terakhir kinerja pajak mampu mencatatkan hasil melampaui target. Penerimaan pajak moncer karena aktivitas ekonomi mengalami penguatan, terutama setelah penyebaran varian Delta Covid-19 mampu ditangani.
Ini adalah kali pertama dalam satu dekade terakhir kinerja pajak mampu mencatatkan hasil melampaui target.
Perlu dicatat, terkendalinya defisit anggaran di pengujung tahun 2021 merupakan hasil optimalisasi pemanfaatan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun (SiLPA), serta penyesuaian pembiayaan non-utang, baik pembiayaan investasi maupun pembiayaan lainnya.Sebagai catatan, hingga November 2021 pemerintah telah memangkas penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) hingga Rp 263,5 triliun. Imbasnya, rasio utang terhadap PDB yang semula dipatok 42 persen, kini diperkirakan lebih rendah. Ini dikarenakan penurunan pembiayaan utang serta penguatan nilai tukar.
Baca juga : Fokus APBN 2022 Belum Terlepas Dari Penanganan Covid-19
Berdasarkan UU APBN pemerintah dapat memanfaatkan SiLPA tahun 2021 untuk mengurangi target utang. Selain itu, partisipasi Bank Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama juga diperkirakan dapat memberi ruang fiskal yang lebih baik. Dengan demikian, defisit APBN di tahun 2022 dapat semakin ditekan.
Semoga skenario ini mampu mengantisipasi potensi risiko tekanan pembiayaan utang seiring semakin bertambahnya beban bunga yang masih menjadi ancaman fiskal. Perlu diingat bahwa pada tahun 2022, volatilitas nilai tukar dan kenaikan suku bunga berpotensi membuat porsi pembayaran bunga utang terhadap penerimaan pajak makin lebar.
Kejar setoran
Tahun depan seyogianya otoritas fiskal akan memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi untuk mengejar setoran pajak. Sektor yang akan digenjot adalah sektor yang cukup diuntungkan dengan meroketnya harga sejumlah komoditas dalam beberapa bulan terakhir.
Direktorat Jenderal Pajak sendiri telah mengoptimalkan kinerja pengawasan di sektor yang mengalami perbaikan pada paruh kedua tahun ini. Hal ini antara lain dilakukan dengan uji kepatuhan material wajib pajak.
Penyehatan fiskal yang akan berlanjut pada tahun depan, turut memperkuat amunisi pemerintah untuk melakukan manuver anggaran demi pemenuhan kebutuhan belanja. Di atas kertas, jika tidak ada gelombang Covid-19 kembali, ekonomi kita pada 2022, termasuk kinerja penerimaan negara, sudah bisa pulih
Selain itu, peluang pemerintah untuk menguatkan ketahanan fiskal pada tahun depan ditopang oleh adanya peralihan struktur penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) ke Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Peralihan itu diejawantahkan melalui implementasi UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Regulasi tersebut juga mengakomodasi program pengungkapan sukarela wajib pajak yang mulai berlaku pada 1 Januari 2022. UU HPP memang akan mendorong penerimaan, terutama naiknya kontribusi PPN, apalagi daya beli masyarakat diproyeksikan makin kuat.
Penyehatan fiskal yang akan berlanjut pada tahun depan, turut memperkuat amunisi pemerintah untuk melakukan manuver anggaran demi pemenuhan kebutuhan belanja.
Namun perlu diingat, semua pihak--baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat-- tetap perlu senantiasa bahu-membahu dalam mewaspadai berbagai risiko kemunculan varian baru Covid-19 yang bisa merapuhkan ketahanan fiskal.
Redam risiko
Rasa puas akan tercapainya target penerimaan pajak tahun 2021 juga perlu diredam. Jangan sampai hal itu membuat otoritas fiskal lengah, sehingga malah menjadi bumerang dalam upaya mengejar pemulihan ekonomi di tahun 2022.
Untuk menetralkan euforia terlampauinya penerimaan target pajak, perlu dicamkan bahwa lonjakan pertumbuhan penerimaan sejumlah jenis pajak di pengujung tahun ini merupakan low base-effect atas anjloknya penerimaan pajak di pengujung tahun lalu.
Realisasi penerimaan pajak hingga November 2021 tercatat mencapai Rp 1.082,6 triliun. Capaian ini masih jauh di bawah realisasi penerimaan pajak pada November 2019 yang mencapai Rp 1.312,4 triliun. Artinya, perlu dicamkan pula bahwa ekonomi belum kembali seperti masa prapandemi.
Sesuai pernyataan Menteri Keuangan, pemulihan ekonomi dan pemulihan APBN adalah dua hal yang saling bertaut, bukan sebuah pilihan.
Selain risiko penyebaran Covid-19, masih ada beberapa hal yang berpotensi mengganggu stabilitas neraca keuangan negara. Hal yang perlu diwaspadai di antaranya adalah efek inflasi dan belanja subsidi energi yang merangkak naik.
Jika berbagai risiko yang akan kembali mengganggu kinerja APBN pada tahun 2022 dapat dilewati, maka asa untuk mewujudkan pemulihan ekonomi yang paripurna di tahun 2022 akan semakin benderang.
Sesuai pernyataan Menteri Keuangan, pemulihan ekonomi dan pemulihan APBN adalah dua hal yang saling bertaut, bukan sebuah pilihan.