Potensi Karbon Biru Dihadang Kerusakan Lingkungan Pesisir
Potensi karbon biru untuk menyerap gas rumah kaca sebagai bentuk mitigasi terhadap perubahan iklim sering didengungkan. Namun, realisasi proyeksi potensi itu terhambat oleh kerusakan ekosistem pesisir.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekosistem hutan bakau dan padang lamun diyakini mampu menyimpan karbon dalam jumlah besar dan dalam waktu yang lama. Ekosistem ini merupakan salah satu solusi yang selalu menjadi pertimbangan penyerapan gas rumah kaca. Namun, pelestarian hingga pengembangannya masih terganjal aneka masalah, seperti basis data luasan dan ancaman kerusakan lingkungan.
Hal itu mengemuka dalam webinar Renewable Energy Summit 2021: Blue Carbon sebagai Bagian Proses Dekarbonisasi untuk Net Zero Emission di Indonesia, Selasa (28/12/2021), di Jakarta.
Direktur Eksekutif Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Tonny Wagey mengatakan, secara potensi, hutan bakau di Indonesia diperkirakan memiliki luasan 3,1 juta hektar. Dengan perkiraan luasan seperti itu diperhitungkan mampu menyimpan karbon 950 MgC ha-1. Sementara padang lamun di Indonesia diperkirakan mempunyai luasan 293.465 hektar dan dengan perkiraan luasan seperti itu akan mampu menyimpan karbon 119,5 MgC ha-1.
”Kita sering sekali membicarkan potensi, tetapi melupakan ancaman kerusakan ekosistem pesisir yang membuat potensi penyimpanan karbon tak terealisasi. Padahal, kerusakan ekosistem pesisir akan melepas karbon dioksida ke udara yang setara dengan 19 persen dari emisi total kerusakan hutan tropis,” ujarnya.
Berdasarkan data World Resources Institute (WRI), seperti dikutip dari mongabay.co.id, luasan bakau nasional pada 2024 diperkirakan berkurang hampir 22 persen dibandingkan dengan kondisi awal tahun 2000. Hutan bakau primer, karena aksesnya yang sulit, masih terjaga sampai sekarang.
Sementara luasan hutan bakau sekunder diperkirakan terus berkurang. Berdasarkan data open source Planet, bakau kritis diperkirakan lebih dari 600.000 hektar atau sekitar 20 persen dari total bakau. Deforestasi ini diduga disebabkan oleh alih fungsi lahan.
Kita sering sekali membicarkan potensi, tetapi melupakan ancaman kerusakan ekosistem pesisir yang membuat potensi penyimpanan karbon tak terealisasi. Padahal, kerusakan ekosistem pesisir akan melepas karbon dioksida ke udara yang setara dengan 19 persen dari emisi total kerusakan hutan tropis
Padahal, dengan potensi besar serapan karbon yang sering didengungkan, Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Surabaya (ITS) Sjarief Widjaja berpendapat, hasil serapan karbon dapat dipakai untuk perdagangan karbon. Hasilnya bisa dipakai kembali untuk menyejahterakan penduduk pesisir.
Menurut Sjarief, hal terpenting sekarang ialah melakukan pemetaan akurat ekosistem pesisir menggunakan berbagai data satelit, memasukkan faktor layanan ekosistem, dan konektivitas antarekosistem ke dalam tata ruang pesisir dan laut. Kelembagaan kerja sama lintas sektor/lintas organisasi sangat diperlukan sebagai satu kesatuan langkah secara nasional.
”Indonesia perlu mengidentifikasi luasan tutupan bakau dan padang lamun sehingga tahu secara pasti potensi karbon biru. Setelah itu, baru bisa dihitung berapa karbon pricing yang ideal dan bisa dimanfaatkan kembali untuk memberikan layanan kepada masyarakat pesisir,” ujar Sjarief.
Hutan bakau di Indonesia diperkirakan mampu menyerap rata-rata 52,85 ton CO2/ha/tahun. Hasil riset ini dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan nilai estimasi global, yaitu sekitar 26,42 ton CO2/ha/tahun.
Berdasarkan hasil riset integrasi Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Pusat Penelitian Oceanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dia menyampaikan, hutan bakau di Indonesia diperkirakan mampu menyerap rata-rata 52,85 ton CO2/ha/tahun. Hasil riset ini dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan nilai estimasi global, yaitu sekitar 26,42 ton CO2/ha/tahun.
Dari penelitian itu ditemukan, urutan cadangan karbon bakau terbesar ada di Papua (sekitar 1,72 triliun ton karbon), diikuti Kalimantan (0,44 triliun ton karbon), Sumatera (0,42 triliun ton karbon), Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara (0,20 triliun ton karbon), Sulawesi (0,10 triliun karbon), dan Jawa (0,02 triliun karbon). Jika mengacu data ini, Sjarief menilai, semestinya Jawa yang dianggap punya masalah kenaikan suhu tinggi memiliki luasan hutan bakau lebih besar.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Bidang Konservasi Laut dan Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Andreas Hutahaean menekankan, karbon biru telah menjadi salah satu solusi alami dalam mitigasi perubahan iklim. Dia mengakui, upaya pengukuran kuantitatif terkait dengan dampak serapan karbon yang dihasilkan ekosistem hutan bakau dan padang lamun masih perlu diintensifkan.
Secara spasial, hutan bakau berada di kawasan hutan yang berarti di bawah pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Urusan konservasi hutan bakau berada di bawah pengawasan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di luar dua urusan itu, pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota juga ikut mengawasi.
Menurut Andreas, untuk mengukur dampak perdagangan karbon di ekosistem hutan bakau ataupun padang lamun perlu ditetapkan luasan area tutupan. Setelah itu, baru dimasukkan pajak karbon yang sudah ditetapkan pemerintah meskipun skema pajak karbon yang ada lebih cocok untuk pembangkit listrik tenaga uap.
”Ada banyak nilai tambah yang bisa dihasilkan dari karbon biru. Pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), misalnya," ujarnya.