Indonesia mulai memberlakukan pajak karbon pada April 2022 untuk industri batubara. Namun, tidak cukup berhenti di sektor energi, pajak juga harus dikenakan di sektor krusial lain yang juga menyumbang emisi besar.
Oleh
Yoesep Budianto
·5 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Petugas meninjau mesin pemindah batubara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Sulut 2 atau yang lebih dikenal dengan PLTU Amurang di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, Rabu (27/10/2021). Indonesia mulai memberlakukan pajak karbon pada April 2022 untuk sektor PLTU batubara.
Tahapan pengendalian krisis iklim di Indonesia memasuki era baru dengan disahkannya skema pajak karbon batubara melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021. Tantangan berikutnya, implementasi pajak karbon dan rumusan pajak sektor-sektor lain.
Pajak karbon bukan hal baru dalam upaya pengendalian perubahan iklim melalui pembatasan emisi yang dihasilkan oleh individu ataupun badan usaha. Berdasarkan data Bank Dunia, saat ini telah ada 64 kawasan, mulai dari tingkat kota, negara, hingga regional, yang menerapkan pajak karbon, seperti Jepang, Singapura, Belanda, Finlandia, dan Swedia.
Urgensi pajak karbon di Indonesia tentu terus menguat mengingat masih tingginya emisi karbon yang dihasilkan. Tercatat selama periode tahun 2016 hingga 2020, rata-rata emisi karbon mencapai 600,2 juta ton setiap tahun. Meskipun sempat turun sekitar 10 persen pada 2020 karena pandemi, secara umum tren emisi karbon menunjukkan peningkatan.
Indonesia mulai memberlakukan pajak karbon pada April 2022 untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada pembangkit listrik tenaga uap batubara. Durasi awal implementasi pajak karbon terhadap PLTU batubara dilakukan hingga tahun 2024, setelah itu akan diperluas ke sektor lain.
Implementasi komitmen Indonesia dari hasil KTT Perubahan Iklim Ke-26 perlu merujuk pada poin-poin utama yang disampaikan Presiden Joko Widodo saat pidato di COP 26. Setidaknya ada tiga poin utama yang menegaskan peran Indonesia dalam upaya pengendalian krisis iklim.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta menggelar aksi di depan Gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta, Jumat (11/12/2020). Dalam teatrikal tersebut para aktivis menyerukan agar pemerintah menghentikan proyek PLTU Batubara Jawa 9 dan 10 karena dinilai sebagai penyumbang emisi dan merusak lingkungan.
Pertama adalah memobilisasi pembiayaan iklim dan inovasinya, seperti obligasi dan sukuk hijau. Poin berikutnya, Indonesia akan berperan dalam perencanaan pasar dan harga karbon. Terakhir, mewujudkan pembangunan ekosistem ekonomi karbon yang transparan, inklusif, dan adil.
Berdasarkan poin-poin di atas, jelas bahwa posisi Indonesia saat ini mendorong realisasi perpajakan berbasis emisi karbon. Rancangan pajak karbon di Indonesia turut menjadi salah satu kebijakan fiskal yang digunakan untuk pengendalian krisis iklim.
Implementasi pajak karbon menyasar pada seluruh kegiatan yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup. Aturan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 menyebutkan ada tiga hal yang mendasari penilaian dampak negatif lingkungan hidup, yaitu penyusutan sumber daya alam, pencemaran lingkungan hidup, dan kerusakan lingkungan hidup.
Seluruh kegiatan yang berdampak negatif akan dihitung sebagai faktor eksternalitas dalam ekonomi, yaitu tindakan satu pihak membuat pihak lain lebih buruk atau lebih baik. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu menyiapkan perhitungan emisi yang presisi. Apalagi, kategori emisi gas yang berbahaya bagi lingkungan bukan hanya karbon, melainkan ada metana, dinitro oksida, hidrofluorokarbon, perfluorokarbon, dan sulfur heksafluorida.
Skema pajak
Penetapan pajak karbon di Indonesia memakai skema cap and tax atau mendasarkan pada batas emisi. Apabila diperhatikan dari skema tersebut, ada dua mekanisme yang sebenarnya digunakan oleh Indonesia, yaitu menetapkan batas emisi yang diperbolehkan untuk setiap industri serta menentukan tarif pajak yang harus dibayarkan setiap satuan tertentu.
Secara umum, skema cap and tax ini mengambil jalan tengah antara skema carbon tax dan cap-and-trade yang lazim digunakan di banyak negara. Modifikasi skema pajak karbon tentu diperlukan karena ada perbedaan ekosistem industri antarwilayah, termasuk respons publik terhadap aturan baru tersebut.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan mencatat bahwa tarif pajak karbon paling rendah adalah Rp 30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen. Tarif tersebut sebenarnya jauh lebih kecil dari usulan awal Rp 75,00. Dengan tarif Rp 30,00, Indonesia termasuk negara dengan tarif terendah di dunia untuk urusan pajak karbon.
Metode perhitungan pajak karbon yang diberlakukan di Indonesia menggunakan skema cap and tax. Melihat dari aspek teknis dan batas minimal pajak, skema ini dapat dikatakan sebagai jalan tengah di antara dua skema yang lazim digunakan.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Lubang tambang bekas batubara yang dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (3/1/2020). Lubang bekas tambang itu tak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam keselamatan manusia.
Skema carbon tax menitikberatkan pada penetapan secara langsung harga atau tarif berdasarkan kandungan karbon yang dihasilkan dari bahan bakar fosil. Skema ini menawarkan tarif stabil bagi subyek pajak karbon. Sebagai contoh, Afrika Selatan menetapkan pajak karbon 9,15 dollar AS setiap ton karbon dioksida ekuivalen atau setara sekitar Rp 133.000.
Sementara skema cap-and-trade atau ETS memiliki basis pembatasan tingkat emisi berdasarkan sektor penghasil karbon. Apabila ada industri yang memiliki emisi rendah, mereka dapat menjual kuota emisinya kepada industri yang menghasilkan emisi besar.
Dengan demikian, cap-and-trade menciptakan penawaran dan permintaan untuk tunjangan atau kuota sisa emisi yang dapat dijual dan dibeli. Sedikit berbeda dari dua skema tersebut, Indonesia memilih cap and tax. Artinya, setiap ton batasan maksimal emisi karbon yang dihasilkan harus dibayar dengan pajak Rp 30,00 per kilogram.
Skema yang dipakai Indonesia mengadopsi dua skema yang lazim dipakai di negara lain. Keputusan tersebut dapat dikatakan sebagai jalan tengah dari gap penawaran harga dari dua skema lain. Pekerjaan rumah Indonesia belum usai karena perlu dirumuskan secara detail mekanisme perhitungan emisi karbon dan cara transaksi antarbadan usaha.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Pemandangan kontras ekosistem mangrove di Taman Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk dengan bangunan tinggi di belakangnya, Sabtu (10/3/2018) di Jakarta Utara. Selain memiliki fungsi ekologi tinggi, mangrove juga memiliki potensi penyimpan karbon yang sangat tinggi dan berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim.
Sebagai catatan, pajak karbon perlu dipandang sebagai langkah tepat dalam penanganan krisis iklim. Tak terbatas krisis iklim, implementasi alokasi dana pajak dapat juga dipakai untuk insentif atau subsidi ke sektor lain, seperti pendidikan dan kesehatan publik serta pengembangan industri hijau.
Sebagai langkah awal, Pemerintah Indonesia fokus pada pajak karbon terhadap industri pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Emisi karbon yang dihasilkan oleh batubara menjadi paling besar dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya, bahkan minyak bumi.
Emisi karbon dari batubara pada 2020 telah tercatat hingga 300,52 juta ton, jauh melebihi minyak bumi 165,61 juta ton.
Angka tersebut terbilang sangat besar karena emisi karbon dari batubara bertambah hingga 94,19 juta ton. Apabila dihitung menggunakan skema Rp 30,00 per kilogram, nilai rupiah yang didapatkan dari selisih tersebut Rp 2,8 triliun.
Keseimbangan sektoral
Selain sektor energi dari batubara, rumusan pajak karbon perlu disiapkan untuk sektor krusial lainnya, yaitu perubahan lahan dan kehutanan, pertanian, serta transportasi. Hal ini karena sektor-sektor tersebut turut menyumbang emisi karbon terbilang besar.
Global Forest Watch mencatat, rata-rata emisi karbon dari sektor perubahan lahan dan kehutanan selama lima tahun terakhir mencapai 866,8 juta ton. Emisi tersebut tiga kali lebih besar dari sektor energi batubara. Penyebab besarnya emisi karbon adalah perubahan penggunaan lahan, urbanisasi, dan deforestasi. Dari tiga hal tersebut, deforestasi mendominasi hingga 90 persen dari total emisi.
Pekerjaan rumah Pemerintah Indonesia dalam perumusan pajak karbon masih sangat banyak. Tidak cukup berhenti di sektor energi, khususnya batubara, tetapi banyak sektor krusial lain yang malah menyumbang emisi jauh lebih besar.
Pemerintah perlu melakukan mekanisme perhitungan pajak yang menyeluruh dan presisi agar tujuan akhir untuk mencapai target penurunan emisi tercapai. (LITBANG KOMPAS)