Aturan pelaksanaan program pengungkapan sukarela sudah ditetapkan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Program ini berlaku pada 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program pengungkapan sukarela wajib pajak diyakini bakal diminati karena tarif yang rendah serta terbukanya peluang untuk terbebas dari sanksi administratif. Untuk mendorong kepastian hukum, wajib pajak hanya bisa memanfaatkan fasilitas ini sebelum adanya penindakan dan penyelidikan hukum terkait tindak pidana perpajakan.
Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak pada 22 Desember 2021, lalu mengundangkan PMK tersebut pada 23 Desember 2021.
Beleid tersebut merupakan aturan pelaksanaan untuk program pengungkapan sukarela yang telah dinyatakan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Program ini akan berlaku pada 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022.
Program pengungkapan sukarela memberikan peluang kepada wajib pajak untuk terbebas dari sanksi administratif. (Neilmaldrin Noor)
Dihubungi Senin (27/12/2021), Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor optimistis animo wajib pajak (WP) untuk berpartisipasi dalam program pengungkapan sukarela akan tinggi. Pasalnya, program ini memberikan peluang kepada WP untuk terbebas dari sanksi administratif.
”WP pun akan mendapatkan perlindungan data bahwa data harta yang diungkapkan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan pidana terhadap WP,” ujarnya.
Program pengungkapan sukarela adalah kesempatan yang diberikan kepada WP untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) berdasarkan pengungkapan harta.
Terdapat dua skema pengungkapan sukarela. Pertama, pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program pengampunan pajak (tax amnesty). Skema kedua, berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh orang pribadi tahun pajak 2020.
Tarif yang berlaku dalam program ini dibagi menjadi dua kebijakan. Pertama, subyek wajib pajak orang pribadi dan badan peserta program pengampunan pajak dengan basis aset per Desember 2015 yang belum diungkapkan saat mengikuti program ini.
Tarif PPh final tersebut akan dikenakan 11 persen untuk deklarasi luar negeri, 8 persen untuk aset luar negeri repatriasi dan aset dalam negeri, serta 6 persen untuk aset luar negeri repatriasi dan aset dalam negeri yang diinvestasikan dalam surat berharga negara (SBN), hilirisasi sumber daya alam (SDA), atau energi terbarukan.
Sementara kebijakan tarif kedua dikenakan pada subyek WP orang pribadi dengan basis aset perolehan 2016 sampai 2020 yang belum dilaporkan dalam SPT tahunan 2020. Tarif PPh final tersebut akan dikenakan sebesar 18 persen untuk deklarasi, dan 14 persen untuk aset luar negeri repatriasi ataupun aset dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN, hilirisasi SDA, atau energi terbarukan.
Semua besaran tarif tersebut diberikan lebih rendah dari ketentuan tarif tertinggi PPh orang pribadi yang berlaku dalam UU HPP sebesar 35 persen.
”Program pengungkapan sukarela pajak ini diharapkan dapat memberikan kemudahan dan kebebasan kepada WP untuk memilih tarif ataupun prosedur yang digunakan dalam mengungkapkan harta yang belum dilaporkannya secara sukarela,” kata Neilmaldrin.
WP hanya bisa memanfaatkan fasilitas ini sebelum adanya penindakan atau penyelidikan terkait tindak pidana perpajakan. Program pengungkapan sukarela sendiri diselenggarakan dengan asas kesederhanaan, kepastian hukum, dan kemanfaatan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela WP.
Direktur Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Eka Sila Kunsa Jaya menegaskan, jika WP yang sedang dalam proses pemeriksaan hendak mengikuti program pengungkapan sukarela tahun depan, WP tersebut wajib menyelesaikan pemeriksaannya terlebih dahulu.
”Jika terbukti bersalah, maka perlu membayar denda administrasi yang telah ditetapkan terlebih dulu. Tujuannya agar saat pelaksanaan program pengungkapan sukarela kelak tidak terjadi tumpang tindih dengan proses penegakan hukum perpajakan,” katanya.
Program pengungkapan sukarela ini akan menjadi momentum bagi wajib pajak orang pribadi, yang mendapatkan penghasilan dari hilirisasi SDA ataupun energi terbarukan, bisa menikmati tarif PPh yang rendah. (Prianto Budi Saptono)
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono memprediksi program pengungkapan sukarela akan diminati karena terdapat pengaturan tarif lebih rendah atas harta bersih yang diinvestasikan dalam SBN, hilirisasi SDA, ataupun enegi terbarukan.
Di samping itu, program pengungkapan sukarela ini akan menjadi momentum bagi wajib pajak orang pribadi, yang mendapatkan penghasilan dari hilirisasi SDA ataupun energi terbarukan, untuk menikmati tarif PPh yang rendah.
Alhasil, dengan tarif yang pengampunan pajak yang rendah dan syarat investasi yang beragam, Prianto optimistis penerimaan pajak dari program pengungkapan sukarela wajib pajak setidaknya bisa mencapai Rp 100 triliun.
”Memang lebih efektif mengadakan program seperti itu dibandingkan mengejar wajib pajak karena soal begini wajib pajak lebih lincah,” kata Prianto.