Sejarah Baru Perpajakan Indonesia
Konsensus tentang kebijakan pajak mencerminkan kemampuan para pemangku kepentingan melampaui kepentingan partikular demi memastikan kita sedang mengayun langkah menuju Indonesia yang lebih beradab.
Rapat Paripurna DPR, 7 Oktober 2021, menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau RUU HPP disahkan menjadi undang-undang.
Setelah menghadapi perjalanan yang sangat dinamis dan diiringi diskursus publik yang hangat, kita menorehkan catatan baru dalam sejarah perpajakan Indonesia. Sekali lagi, kita membuktikan kemampuan memanfaatkan momen krisis dengan mengubah tantangan menjadi harapan.
Lantas apa saja janji kebaruan dan bagaimana cetak biru ekosistem perpajakan yang harus dipahami?
Jejak ingatan kita tentang pajak tak terlampau sulit dilacak. Cukup mengajukan satu isu paling kontroversial, bahwa pemerintah berencana memajaki sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan, maka ucapan Richard Eccleston bahwa pajak adalah ”mala yang harus ada” (necessary evil) menjadi benar belaka. Pajak sebisa mungkin ditampik karena membebani, tetapi harus ada, justru agar hidup lestari.
Paradoks ini yang digendong sejak gagasan merevisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) mencuat. Perubahan demi perbaikan dan kebaikan kerap terasa pahit tak mengenakkan. Namun, persetujuan parlemen terhadap RUU HPP setelah melewati proses deliberasi dan diskursus yang intensif membabar fakta penting.
Palu yang diketok merupakan ekspresi timbangan yang adil: penguatan otoritas pajak demi masa depan yang terjaga tanpa mengesampingkan pentingnya dukungan bagi ekosistem bisnis dan pemulihan ekonomi yang baik.
Baca juga : Payung Hukum Baru Dorong Kepatuhan Pajak
Tonggak baru
Tak berlebihan kiranya kita menyebut RUU HPP ini sebagai tonggak baru reformasi perpajakan. Dalam situasi pandemik, saat banyak pihak prihatin dengan rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang cenderung menurun, target pajak yang ajek meleset selama 12 tahun terakhir, dan kebijakan pajak diabdikan sebagai insentif penyambung nyawa pelaku usaha, justru kita sanggup jernih berpikir pentingnya membangun fondasi dan merancang bangunan sistem perpajakan yang kokoh di masa mendatang, dimulai sejak sekarang.
RUU HPP memadukan prinsip gotong royong, kesetaraan, fairness, kemudahan dan kesederhanaan, kebutuhan jangka pendek dan pentingnya visi jangka panjang, serta komitmen pada kebaikan bersama. Karena itu, RUU ini bercorak omnibus, yakni mengubah sekaligus beberapa UU bidang perpajakan dan menyapu isu yang luas terbentang, mulai dari urusan administrasi, perbaikan tata kelola, penguatan otoritas, penyesuaian substansi mengikuti dinamika model bisnis, hingga upaya merawat lingkungan yang lestari.
Beberapa pokok penting RUU HPP patut dicatat. Pertama, peneguhan prinsip perpajakan ”yang mampu membayar lebih tinggi”, sebaliknya yang tak mampu dibantu. Maka, RUU ini mempertahankan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) wajib pajak orang pribadi (WP OP) tetap Rp 4,5 juta sebulan atau Rp 54 juta setahun.
Tak hanya itu, dukungan lebih kuat diberikan dengan memperlebar lapis terbawah penghasilan kena pajak dari Rp 50 juta menjadi Rp 60 juta. Ini berdampak pada berkurangnya beban pajak bagi WP OP berpenghasilan rendah.
Tak hanya itu, bagian omzet sampai dengan Rp 500 juta tidak dikenai pajak untuk WP OP UMKM. Sebaliknya, WP superkaya dengan penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar dikenai tarif lebih tinggi, yakni 35 persen.
Kedua, reformasi sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) agar lebih adil. Saat ini, sistem PPN di dunia mengidap kanker bernama pengecualian (exemption), demikian ahli pajak Maurice Laure mengingatkan. Pengecualian barang/jasa/transaksi/sektor yang terlampau banyak menimbulkan distorsi dan kegagalan menciptakan keadilan dan pengawasan yang efektif. Maka, penyerahan barang dan jasa pada dasarnya merupakan obyek PPN tanpa serta-merta harus dikenai PPN.
Disiapkan skema PPN dibebaskan atas penyerahan barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak, jasa kesehatan yang terintegrasi dengan sistem Jamkesnas, jasa pendidikan, dan jasa pelayanan sosial untuk tetap mendukung masyarakat berpenghasilan menengah-bawah.
Sebagai imbangan, dukungan perlindungan sosial dan subsidi terus diperkuat.
Meski tarif PPN disesuaikan menjadi 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen paling lambat 1 Januari 2025, tarif PPN kita masih di bawah rerata global 15,4 persen, OECD 19 persen, dan BRICS 17 persen. Sebagai imbangan, dukungan perlindungan sosial dan subsidi terus diperkuat.
Ketiga, moderasi administrasi dan rasionalisasi sanksi. Seiring dengan semangat UU Cipta Kerja, pemerintah konsisten memberikan relaksasi dan berbagai kemudahan tanpa meninggalkan pentingnya tata kelola yang baik.
Nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang pribadi diintegrasikan demi kemudahan dan kesederhanaan.
Pendekatan kebijakan berbasis risiko lebih adil dan efektif dalam memetakan perilaku WP. Penguatan kewenangan otoritas untuk melakukan penegakan hukum yang terukur dan akuntabel dibarengi moderasi sanksi perpajakan—baik administratif maupun pidana—sebagai instrumen untuk mendorong perilaku patuh dan mengejar keutamaan (civic virtue), bukan hukuman yang membuat WP tereksklusi dari sistem perpajakan. Ini ditegaskan dengan pengakuan lebih kuat terhadap kuasa WP yang akan menjalankan peran intermediari secara profesional dan akuntabel.
Hal di atas menjadi konteks untuk masuk ke pokok keempat, yaitu program pengungkapan sukarela yang kerap diidentikkan dengan amnesti pajak. Keduanya tentu berkaitan meski harus dibedakan secara tegas. Saat ini, otoritas pajak mempunyai akses dan basis data yang lebih mumpuni dibandingkan 2016.
Perangkat untuk melakukan penegakan hukum pun tersedia sehingga informasi/data yang ada ditindaklanjuti dengan baik. Kita maklum, desain amnesti pajak 2016 dengan tarif tebusan 2 persen, 3 persen, dan 5 persen menyisakan ganjalan, yakni sanksi 200 persen bagi peserta pengampunan yang kurang mengungkap harta.
Untuk memfasilitasi mereka yang sungguh-sungguh ingin jujur dan terbuka, pemerintah menawarkan penghapusan sanksi asal WP membayar pajak dengan tarif lebih tinggi dibandingkan amnesti, yaitu 6 persen, 8 persen, dan 11 persen. Semua WP—termasuk yang belum terdaftar—dan ingin patuh diberi kesempatan mengungkapkan secara sukarela harta yang belum dipajaki kurun 2016-2020 dan mendapat relaksasi tarif menjadi 12 persen, 14 persen, dan 18 persen mengingat kemampuan ekonomi wajib pajak yang sangat terdampak pandemi.
Cukup pasti program ini bukan amnesti pajak karena desain, tarif, dan tujuannya berbeda. Program pengungkapan sukarela adalah jalan keluar dan jembatan menuju ekosistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel—yang disangga oleh tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi serta instrumen pengawasan dan penegakan hukum yang kredibel dan efektif. Lugasnya, tak ada ruang bagi mentalitas pengemplang yang akan ditendang dari sistem ini.
Baca juga : Payung Hukum Reformasi Perpajakan Disahkan, Simak Lima Poin Penting Ini!
Melukis masa depan
Terakhir, RUU HPP secara visioner mengantisipasi dampak perubahan iklim melalui pajak karbon. Kebijakan afirmatif ini menunjukkan komitmen kuat Indonesia untuk mengurangi emisi karbon menuju masa depan yang lebih bersih, sehat, dan lestari.
Alih-alih jadi pungutan baru, pajak karbon justru jadi instrumen dan katalis yang memastikan peta jalan pengurangan emisi menjadi komitmen bersama pemerintah dan pelaku usaha. Ide pajak karbon memungkinkan pemerintah mengakselerasikan terwujudnya kebijakan lingkungan hidup dan energi yang holistik-komprehensif.
Tentu saja tiada gading yang tak retak. Masih terdapat beberapa hal yang belum terselesaikan dan menjadi agenda semper reformanda, ikhtiar reformasi berkelanjutan. Apa pun, disetujuinya RUU HPP melalui diskursus yang inklusif-partisipatoris menabalkan pajak sebagai muara berbagai kepentingan yang jika dikelola dengan baik dapat menjadi instrumen bagi transformasi ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang efektif.
Ide pajak karbon memungkinkan pemerintah mengakselerasi terwujudnya kebijakan lingkungan hidup dan energi yang holistik-komprehensif.
Aspirasi tentang keberpihakan pada kaum marjinal, upaya mengatasi ketimpangan, afirmasi pada redistribusi yang lebih adil dan merata, dan konstruksi sosial yang menuntun pada imajinasi Indonesia 2045 menjadi semakin benderang. Konsensus tentang kebijakan pajak mencerminkan kemampuan para pemangku kepentingan melampaui kepentingan partikular demi memastikan kita sedang mengayun langkah menuju Indonesia yang lebih beradab.
Tak sekadar jatuh pada mentalitas ”emoh utang dan ogah bayar pajak”, melainkan setia pada panggilan abadi bahwa melalui pajak, cita-cita masyarakat adil makmur dan beradab menjadi sangat mungkin direngkuh. Kita telah memulai sebuah langkah berani. Mari tuntaskan proyek ini dengan bulat tekad, termasuk optimisme menyongsong presidensi G-20 tahun 2022 dengan modal kebaruan kebijakan dan kemampuan mengelola krisis berbekal gotong royong yang semakin kuat.
Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis