Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau Pertimbangkan Kepentingan Masyarakat
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang berlaku pada 2022 rata-rata mencapai 12 persen.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengklaim kenaikan tarif cukai hasil tembakau telah mempertimbangkan berbagai unsur, terutama kesejahteraan masyarakat. Kenaikan tarif utamanya dilakukan untuk mengendalikan konsumsi dan distribusi produk hasil tembakau.
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang berlaku pada 2022 rata-rata mencapai 12 persen. Kenaikan ini secara rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan kebijakan pada dua tahun terakhir.
Rata-rata kenaikan cukai rokok pada 2020 sebesar 23 persen. Sementara pada 2021 berada di angka 12,5 persen dengan mengecualikan segmen sigaret kretek tangan (SKT).
Terkait kebijakan CHT, pemerintah telah mempertimbangkan sejumlah faktor yang berhubungan dengan perekonomian domestik.
Kebijakan sama berlaku pada tahun depan, yakni pemerintah memberikan keringanan untuk SKT dengan rata-rata kenaikan hanya 4,5 persen.
Dalam gelaran The 9th US-Indonesia Investment Summit, secara virtual, Selasa (14/12/2021), Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyampaikan, terkait kebijakan CHT, pemerintah telah mempertimbangkan sejumlah faktor yang berhubungan dengan perekonomian domestik.
Suahasil memastikan unsur kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan industri, serta daya serap tenaga kerja menjadi bagian evaluasi dan pertimbangan pemerintah dalam menentukan kebijakan cukai.
”Kami menaikkan CHT untuk tahun depan dalam jumlah yang cukup responsif terhadap kondisi ekonomi, yaitu sekitar 12 persen. Adapun untuk industri kecil (segmen SKT) kenaikan cukainya kurang dari 5 persen,” katanya.
Perbedaan tarif antara SKT dan sigaret kretek mesin (SKM) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek tenaga kerja. Pasalnya, SKT merupakan industri padat karya yang menyerap banyak pekerja.
Namun, di sisi lain, ia mengklaim kenaikan tarif CHT pada tahun depan berkontribusi pada penurunan produksi rokok sebesar 3 persen, yakni dari 320,1 miliar batang menjadi 310,4 miliar batang.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Suseno mengatakan, kenaikan rata-rata CHT tahun depan yang mencapai 12 persen dinilai cukup tinggi. Hal ini akan berdampak pada menurunnya serapan tembakau petani oleh industri.
”Dampaknya para pabrik rokok akan berpikir ulang dalam melakukan pembelian tembakau tahun depan sehingga serapan tembakau dari pabrik akan menyusut,” ujarnya.
Sejalan dengan kenaikan CHT tahun depan, Suseno mengatakan, penanaman tembakau pada tahun depan diprediksikan akan menurun. Pasalnya, petani juga ingin memastikan agar seluruh jerih payah mereka menanam tembakau dapat terbayarkan.
Sementara itu, pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia, Prianto Budi Saptono, menilai, kenaikan tarif rata-rata sebesar 12 persen merupakan angka moderat hasil negosiasi antara pemerintah dan pelaku industri.
Menurut dia, jika tarif yang dikenakan terlalu tinggi, pelaku usaha kesulitan menyiapkan dana untuk membeli pita cukai. Padahal, di sisi lain, prospek penjualan pada tahun depan masih dihadapkan pada ketidakpastian pasca-pandemi Covid-19.