Kenaikan Cukai Hasil Tembakau Bakal Semakin Menekan Petani
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau diyakini bakal langsung berimbas ke industri dan kehidupan petani. Padahal, tanpa kenaikan cukai, petani tertekan oleh penurunan kualitas dan kuantitas hasil panen dua tahun terakhir.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau tahun 2022 diyakini akan langsung menekan harga tembakau petani. Di tengah penurunan jumlah dan mutu produksi akibat kemarau basah, petani akan menghadapi penurunan permintaan seiring dengan kenaikan tarif cukai.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno berpendapat, kenaikan cukai hasil tembakau biasanya akan diikuti dengan penurunan produksi industri hasil tembakau. Jumlah permintaan yang menurun berimbas pada penurunan harga pembelian tembakau dari pabrikan ke petani.
”Dalam tiga tahun terakhir petani hanya menjadi price taker (penerima harga), bukan lagi sebagai price maker(penentu harga). Penurunan produksi industri rokok menekan posisi tawar petani,” ujarnya dalam pertemuan dengan media di Jakarta, Senin (20/9/2021).
Penurunan produksi industri rokok menyebabkan petani tidak punya posisi tawar.
Menurut Soeseno, akibat kenaikan cukai hasil tembakau dua tahun terakhir, produksi rokok menurun hingga 3,4 miliar batang. Jika dalam 1 batang rokok mengandung 1 gram tembakau, maka jumlah serapan tembakau oleh industri telah berkurang 3.400 ton dalam dua tahun terakhir.
Di sisi lain, produksi tembakau di tingkat petani terus turun karena faktor alam dua tahun terakhir. Pada tahun 2020, produksi tembakau hanya mencapai sekitar 190.000 ton atau sekitar 10 persen lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tahun ini, lanjut Soeseno, produksi tembakau diproyeksikan turun 30 persen dibandingkan dengan tahun 2020 akibat kemarau basah.
Kenaikan cukai hasil tembakau dalam dua tahun berturut-turut, yakni 12,5 persen pada 2021 dan 23 persen pada 2020, serta penurunan kualitas panen, lanjut Soeseno, membuat harga rata-rata tembakau pada musim panen tahun ini menurun dari normalnya Rp 40.000 per kilogram (kg) menjadi hanya Rp 23.000 per kg.
”Penurunan kualitas tembakau juga membuat industri memenuhi kebutuhan produksi menggunakan bahan baku impor, salah satunya dari Turki. Ini pun jadi faktor yang turut menekan harga tembakau di tingkat petani,” ujarnya.
Hal lain yang juga disayangkan petani adalah pemilihan waktu pemerintah untuk mengumumkan kenaikan cukai hasil tembakau, yakni pada bulan Oktober. Waktu pengumuman tersebut bertepatan dengan periode panen raya serta pembelian tembakau petani oleh pabrik secara besar-besaran.
”Jadi, bisa dipastikan pabrik akan menurunkan jumlah pembelian tembakau di tingkat petani setelah besaran tarif cukai hasil tembakau baru diumumkan pemerintah,” kata Soeseno.
Dampak menahun
Dampak kenaikan cukai hasil tembakau, lanjut Soeseno, telah dirasakan oleh petani sejak 2016, saat pertama kali kenaikan tarif cukai hasil tembakau mencapai dua angka, yakni 11,19 persen. Sebelumnya, yakni pada 2015, kenaikan cukai hasil tembakau tercatat 8,72 persen.
Pemerintah memang belum secara gamblang memastikan akan menaikkan tarif cukai hasil tembakau untuk tahun 2022. Namun, berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022, pemerintah telah mematok penerimaan cukai sebesar Rp 203,9 triliun, melonjak 11,84 persen jika dibandingkan dengan target penerimaan cukai APBN 2021 senilai Rp 182,2 triliun. Hingga kini kontribusi cukai hasil tembakau terhadap penerimaan cukai negara mencapai 90 persen.
Di sisi lain, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto menyatakan, kenaikan tarif cukai hasil tembakau menjadi salah satu kebijakan fiskal yang bertujuan mengoptimalkan pendapatan negara.
Besaran tarif cukai hasil tembakau tahun 2022, kata Nirwala, akan diumumkan setelah Undang-Undang (UU) APBN 2022 disetujui DPR RI. Artinya, pengumuman mengenai besaran cukai rokok pada 2022 diperkirakan akan dilakukan pada Oktober 2021.
Formula kebijakan
Sementara itu, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho berpendapat, pemerintah perlu lebih bijak dalam meramu formula kenaikan tarif cukai hasil tembakau yang diberlakukan setiap tahun.
Selama ini, angka kenaikan dan frekuensi keluarnya kebijakan tidak pasti sehingga menjadi tekanan bagi pelaku industri. Situasi itu berimbas ke petani. Oleh karena itu, jika formula dan mekanisme kenaikan cukai hasil tembakau lebih transparan, industri hasil tembakau akan memiliki lebih banyak ruang dalam menentukan strategi bisnis untuk menumbuhkan kinerja.
”Menurut saya, yang perlu jadi salah satu evaluasi untuk 2023 apakah kita menentukan cukainya harus seperti ini lagi. Pemerintah perlu meramu formula yang tepat untuk ke depan sehingga industri tidak hanya ribut saja setiap tahun,” kata Andry.
Idealnya, menurut Andry, formula kenaikan cukai hasil tembakau dapat didasarkan pada asumsi ekonomi makro, di antaranya pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), inflasi, serta faktor kesehatan. Bila asumsi pertumbuhan PDB mencapai 5 persen, inflasi mencapai 3 persen, dan penambahan faktor kesehatan 1 persen, idealnya tarif cukai hasil tembakau ditentukan sebesar 9 persen.
”Pemerintah harus adil, ke depan jangan sampai kenaikannya tiba-tiba, ketika pemerintah membutuhkan dana, dia minta dinaikkan. Dalam lima tahun terakhir hal ini malah mengorbankan industri hasil tembakau dan petani,” ujarnya.