Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 berpotensi lebih rendah dari target pemerintah seiring pulihnya penerimaan pajak dan aktivitas perekonomian. Realisasi defisit tahun ini pun bisa lebih rendah.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Defisit anggaran berpotensi turun seiring pulihnya penerimaan pajak dan perekonomian nasional pada 2022. Selain itu, asumsi defisit anggaran berpotensi terpangkas oleh penghematan pembiayaan utang negara akhir tahun ini.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 bisa lebih kecil dari target pemerintah seiring pulihnya aktivitas ekonomi. ”Harapannya, tahun depan perekonomian mulai tumbuh. Artinya, perekonomian bergeliat dan perpajakan bisa ditingkatkan lagi,” ujarnya dalam telekonferensi pers, Senin (13/12/2021).
Pemerintah menargetkan defisit APBN tahun 2022 sebesar Rp 868 triliun atau 4,85 persen dari produk domestik bruto (PDB). Target itu lebih kecil dibandingkan dengan defisit APBN tahun 2020 yang mencapai Rp 947,7 triliun (6,14 persen PDB) dan proyeksi tahun 2021, yakni Rp 873,6 triliun (5,7 persen PDB).
Proyeksi defisit anggaran pada 2022 tertuang dalam Undang-Undang APBN 2022 yang mengamanatkan pendapatan negara Rp 1.846,1 triliun dan belanja Rp 2.714,1 triliun. Dengan demikian, defisit APBN 2022 direncanakan Rp 868 triliun. Defisit akan ditutup dengan pembiayaan utang, yakni 80-82 persen dari dalam negeri dan 18-20 persen dari asing, melalui penerbitan surat berharga negara (SBN).
Menurut Luky, penerimaan pada APBN 2022 masih berpeluang bertambah. Salah satu komponen yang bisa mendongkrak penerimaan pajak pada 2022 adalah penerapan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Salah satu ketentuan dalam UU HPP yang berpotensi menambah pendapatan negara adalah program pengungkapan sukarela. Namun, saat ini, Kementerian Keuangan belum mengalkulasi potensi tambahan pendapatan melalui program tersebut.
Faktor lain yang diharapkan menurunkan kebutuhan pembiayaan utang adalah penambahan pemanfaatan sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) dan realisasi belanja tahun berjalan. ”Realisasi defisit 2022 yang lebih rendah dari target juga akan membuat konsolidasi fiskal berjalan lebih mulus,” ujarnya.
Pemerintah harus mengembalikan defisit APBN ke level maksimum 3 persen PDB pada tahun 2023 sesuai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Pembiayaan utang
Luky menambahkan, defisit APBN diperkirakan lebih rendah dari asumsi awal sekitar 5,7 persen menjadi 5,1- 5,4 persen terhadap PDB. Hal ini muncul dari realisasi kebutuhan pembiayaan surat utang yang lebih rendah. Selain itu, penerimaan pajak berpotensi meningkat sejalan dengan pemulihan ekonomi dan kenaikan harga komoditas di pasar internasional serta sisa anggaran lebih (SAL) dari APBN 2020.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Riko Amir mengatakan, hingga akhir 2021, realisasi utang berkurang signifikan, yakni di kisaran Rp 300 triliun. Per 7 Desember 2021, realisasi utang pemerintah Rp 1.186,2 triliun atau 88,3 persen dari rencana.
Selain itu, kata Riko, Indonesia tidak hanya mendapat pinjaman dari lembaga-lembaga internasional, tetapi juga berhasil menegosiasikan konversi terhadap bunga mata uang pinjaman. Konversi didapat dari Bank Pembangunan Asia (ADB) senilai 6,9 miliar dollar AS dan Bank Dunia 700 juta dollar AS.
”Konversi pinjaman ini menjadi bagian strategi pemerintah dalam mengelola pinjaman. Tujuannya untuk menurunkan risiko fluktuasi pembayaran bunga utang pemerintah ke depan,” kata Riko.
Konversi pinjaman ini menjadi bagian strategi pemerintah dalam mengelola pinjaman. Tujuannya untuk menurunkan risiko fluktuasi pembayaran bunga utang pemerintah ke depan. (Riko Amir)
Ia mengklaim konversi pinjaman menghasilkan efisiensi biaya bunga pinjaman luar negeri mencapai Rp 68 miliar sampai Desember 2021. Sementara itu, penghematan pembayaran bunga pinjaman pada 2022 mencapai Rp 588,31 miliar. ”Jika dikalkulasi, penghematan pembayaran bunga pinjaman dari Desember 2021 sampai jatuh tempo pada 2038 mencapai Rp 3,58 triliun,” ujarnya.
Saat dihubungi secara terpisah, ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengatakan, penurunan proyeksi defisit APBN dari perkiraan sebelumnya mengindikasikan bahwa peningkatan utang cenderung akan terbatas.
”Dengan proyeksi pemulihan ekonomi tahun depan yang lebih signifikan dari tahun ini, maka pemulihan sektor-sektor ekonomi pun diperkirakan akan lebih merata hingga berpotensi mendorong defisit fiskal yang juga lebih rendah dari APBN 2022,” ujarnya.