Wapres Amin: RI Harus Segera Bangun Kerangka Tata Kelola Teknologi Finansial
Kendala utama memacu perkembangan ekonomi digital adalah rendahnya literasi keuangan digital. Data OJK 2019 menunjukkan, indeks literasi keuangan baru 30,03 persen dan indeks inklusi keuangan 76,19 persen.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemajuan teknologi finansial yang terjadi saat ini adalah momen berharga yang harus dimanfaatkan Indonesia. Indonesia harus segera membangun kerangka tata kelola teknologi finansial yang mampu mengikuti pesatnya perkembangan teknologi. Tata kelola tersebut juga mesti menjamin kepastian dan perlindungan hukum, termasuk keamanan siber keuangan digital, serta meningkatkan daya saing Indonesia sebagai negara tujuan investasi digital.
Kehadiran fintech atau teknologi finansial. baik dalam bentuk uang elektronik, pinjaman daring atau online, perbankan digital, maupun platform investasi, telah turut mendorong perekonomian Indonesia. Penelitian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) tahun 2019 menunjukkan, teknologi finansial (tekfin) berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi 0,45 persen dan produk domestik bruto (PDB) lebih dari Rp 60 triliun.
Tekfin juga berpeluang besar dalam perkembangan ekonomi digital yang diperkirakan tumbuh delapan kali lipat di tahun 2030. Menurut estimasi Kementerian Perdagangan, dari sekitar Rp 600 triliun akan mencapai Rp 4.500 triliun. ”Kemajuan fintech yang terjadi saat ini adalah momentum berharga yang harus kita manfaatkan,” kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat memberikan sambutan secara virtual acara puncak Indonesia Fintech Summit (IFS) Ke-3 Tahun 2021 dari kediaman resmi Wapres, Jalan Diponegoro Nomor 2, Jakarta, Minggu (12/12/2021).
Menurut Wapres Amin, pertumbuhan teknologi finansial syariah pun perlu dipercepat melalui penguatan ekosistem ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, per Oktober 2021 hanya terdapat 7 unit penyelenggara tekfin syariah dengan total aset sekitar Rp 74 miliar. Sebagai perbandingan, angka ini masih sangat jauh dari tekfin konvensional yang mendominasi dengan jumlah 97 unit dan total aset mencapai Rp 4,2 triliun.
”Pertumbuhan fintech syariah perlu dipercepat melalui penguatan ekosistem ekonomi dan keuangan syariah. Peluang pasar populasi Muslim Indonesia perlu digali, termasuk dalam memberikan layanan penyaluran dana sosial syariah,” kata Wapres Amin.
Pertumbuhan fintech syariah perlu dipercepat melalui penguatan ekosistem ekonomi dan keuangan syariah. Peluang pasar populasi Muslim Indonesia perlu digali, termasuk dalam memberikan layanan penyaluran dana sosial syariah.
Wapres Amin menuturkan, inovasi tekfin Indonesia juga harus didorong, baik dalam hal pengembangan model bisnis maupun solusi teknologi keuangan. Pengembangan ekosistem inovasi membutuhkan kolaborasi seluruh pihak.
Hal berikutnya adalah menyangkut regulasi dan literasi. Bisnis tekfin adalah bisnis kepercayaan. Sementara itu, dari aspek legalitas, sejak tahun 2018 hingga Oktober 2021, Satgas Waspada Investasi sudah menutup 3.631 pinjaman daring ilegal. Kondisi ini perlu mendapat perhatian bersama karena justru akan mencederai kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan tekfin legal.
Masyarakat harus yakin bahwa transaksi tekfin aman dan nyaman. ”Edukasi masyarakat harus ditingkatkan sebagai bekal untuk membentengi diri dari fintech ilegal. BI dan OJK saya harapkan mengawal regulasi untuk membangun perkembangan fintech legal,” kata Wapres Amin.
Wapres Amin mengatakan bahwa tekfin harus inklusif, jangan eksklusif. Tekfin diharapkan dapat menjangkau ekosistem keuangan masyarakat secara luas, termasuk mereka yang secara ekonomi masih tertinggal, seperti usaha mikro kecil dan koperasi.
Wapres Amin menaruh harapan besar rangkaian Indonesia Fintech Summit dapat menghasilkan konsep model bisnis dan aktivitas tekfin yang aman dan sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia. ”Selain itu, saya harap dapat terbangun konsep pengembangan fintech berprinsip syariah untuk mendukung pengembangan ekonomi dan keuangan syariah Indonesia,” ujarnya.
Seluruh pemangku kebijakan, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika, BI, OJK, serta asosiasi-asosiasi tekfin juga diminta berperan aktif dalam membantu terciptanya kebijakan yang afirmatif.
Lokomotif pemulihan ekonomi
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menuturkan, memasuki tahun 2020, ekonomi digital diharapkan menjadi lokomotif utama dalam pemulihan ekonomi nasional. Isu besar perekonomian dalam masa pandemi adalah sulitnya melakukan transaksi karena mobilitas yang minim. ”Hal ini harusnya menjadi cambuk bagi kita semua untuk terus mendorong dengan cepat perkembangan ekonomi digital dan berbagai inovasinya,” katanya.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi digital yang diperkirakan sekitar 124 miliar dollar AS hingga 146 miliar dollar AS di tahun 2025 menjadi momen yang tidak dapat dilewatkan untuk membawa Indonesia menjadi negara yang kompetitif di ASEAN maupun di dunia. ”Hal ini sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo untuk secara khusus memberikan arahan dalam percepatan pembangunan infrastruktur digital, ekosistem digital, termasuk regulasi dan talenta atau sumber daya manusia yang kompeten untuk mencapai momentum tersebut,” ujar Luhut.
Luhut menuturkan, pihaknya meyakini ekonomi digital di Indonesia memiliki prospek yang sangat baik. Pada tahun 2020, ekonomi digital Indonesia menghasilkan 4 persen dari PDB nasional. Meskipun pertumbuhannya terlihat begitu signifikan, perbaikan tetap dilakukan demi mendorong ekonomi Indonesia agar terus bertumbuh ke depan.
Pemerintah menyadari bahwa untuk menghidupkan ekonomi digital diperlukan banyak langkah bijak yang harus dilalui, mulai persiapan infrastruktur digital dan komunikasi, proteksi konsumer digital, tenaga kerja berketerampilan khusus di bidang teknologi, dan ekosistem inovasi yang mendukung berjalannya ekonomi digital ini.
Luhut menuturkan, kendala utama negeri ini untuk memacu perkembangan ekonomi digital adalah rendahnya literasi keuangan digital. Berdasarkan data OJK tahun 2019, indeks literasi keuangan baru mencapai 30,03 persen dan indeks inklusi keuangan 76,19 persen. ”Angka ini berbanding jauh dengan Singapura yang sudah mencapai 98 persen, Malaysia 85 persen, dan Thailand 82 persen,” ujarnya.
Tingkat inklusi yang tinggi dengan literasi yang relatif rendah menunjukkan potensi risiko yang begitu tinggi. Hal ini karena meskipun masyarakat sudah memiliki akses keuangan, sebenarnya mereka tidak memahami dengan baik fungsi dan risikonya. ”Peningkatan literasi menjadi kunci agar tingkat inklusi yang sudah terjadi bisa berdampak lebih produktif dengan risiko yang begitu minim. Hal inilah yang harus menjadi pekerjaan kita bersama, bukan hanya pemerintah namun juga dorongan dari asosiasi,” kata Luhut.
Pemerintah juga akan terus mendorong kesenjangan digital yang terjadi. Akses layanan telekomunikasi masih belum menjangkau semua desa di Indonesia. Rendahnya tingkat kecepatan jaringan juga menjadi kendala dalam menumbuhkan ekonomi digital. ”Belum lagi kesenjangan internet juga terjadi karena biaya yang mahal dan menjadikan internet hanya bisa diakses mereka yang mampu secara ekonomi. Hal inilah yang menjadi fokus pemerintah ke depan. Dan ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah,” kata Luhut.
Langkah ini akan membuka akses pasar yang lebih luas dan memberikan alternatif pembiayaan serta solusi keuangan bagi para pelaku UMKM. Hal ini karena tanpa disadari, merekalah back bone (tulang punggung) ekonomi Indonesia sesungguhnya.
Hal yang juga menjadi perhatian pemerintah adalah mengolaborasikan penyelenggara industri tekfin dengan para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang sudah go digital. Langkah ini akan membuka akses pasar yang lebih luas dan juga memberikan alternatif pembiayaan serta solusi keuangan bagi para pelaku UMKM. ”(Hal ini) karena tanpa disadari, merekalah back bone (tulang punggung) ekonomi Indonesia sesungguhnya,” ujar Luhut.