Pemerintah perlu mematangkan bahan bakar nabati jenis solar B-40 sebelum benar-benar diluncurkan ke pasar. Banyak faktor penghambatnya, termasuk harga CPO, bahan baku biodiesel, yang melonjak tinggi.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus mematangkan persiapan implementasi bahan bakar solar B-40. Dalam 1 liter bahan bakar jenis ini terdiri dari solar murni 60 persen dan biodiesel dari minyak kelapa sawit atau CPO 40 persen. Persiapan tersebut menyangkut teknologi, regulasi, hingga kesiapan badan usaha dan industri.
Sebelumnya, program solar B-40 ditargetkan diterapkan pada tahun ini. Lantaran pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai, rencana tersebut tertunda sampai batas waktu yang belum ditetapkan. Penyebab lainnya adalah lonjakan harga CPO yang dikhawatirkan mengganggu konsistensi penerapan bahan bakar solar B-40. Saat ini, penggunaan yang berlaku adalah solar B-30 (biodiesel 30 persen) atau dikenal dengan nama pasar biosolar.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, uji coba solar B-40 sebenarnya telah dilakukan. Hasilnya pun telah keluar. Namun, masih ada sejumlah persyaratan lain yang harus dipenuhi hingga bahan bakar tersebut benar-benar dinyatakan layak diterapkan.
”Masih ada sejumlah persiapan. Kami menyusun Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk spesifikasi biodiesel B-40, SNI bahan bakar nabati, teknologi, regulasi, dan insentif. Dalam waktu dekat, kami akan merealisasikan uji jalan B-40,” kata Dadan dalam webinar bertajuk ”Menjaga Keberlanjutan Mandatori Biodisel: Menuju B-40”, Selasa (30/11/2021), di Jakarta.
Sebelumnya, program solar B-40 ditargetkan diterapkan pada tahun ini. Lantaran pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai, rencana tersebut tertunda sampai batas waktu yang belum ditetapkan.
Terlepas dari persiapan-persiapan itu, imbuh Dadan, pemerintah terus mendorong penerapan bahan bakar nabati. Badan usaha yang terlibat di bagian produksi didorong untuk mematuhi prinsip-prinsip lingkungan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan kebijakan besar mengurangi emisi gas rumah kaca.
Dadan menambahkan, pemerintah juga ingin mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM). Pada tahun 2010, 46 persen komposisi konsumsi energi final berasal dari sektor industri dan 10 tahun kemudian turun menjadi 34 persen. Sementara sektor transportasi yang tahun 2010 berkontribusi 34 persen terhadap komposisi konsumsi energi final naik menjadi 43 persen pada 2020.
Sementara itu, menurut Direktur Penyaluran Dana pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Edi Wibowo, implementasi solar B-40 perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama, masih ada kekurangan bahan baku untuk penerapan B-40 secara nasional. Kedua, masih perlu kajian keekonomian B-40 secara komprehensif karena menyangkut potensi adanya tambahan investasi industri.
Hal ketiga, lanjut Edi, kecukupan dana untuk menutup selisih atau kekurangan harga indeks pasar. Pasalnya, perubahan harga CPO cukup dinamis. Hal keempat berhubungan dengan persyaratan kandungan air maksimum dalam B-40 sebesar 220 parts per million (ppm).
Badan usaha yang terlibat di bagian produksi didorong untuk mematuhi prinsip-prinsip lingkungan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan kebijakan besar mengurangi emisi gas rumah kaca.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menambahkan, sekitar 75 persen kendaraan di Indonesia memakai gasolin (bensin), sisanya mengonsumsi solar. Sejak 2006, di Indonesia sebenarnya telah mengembangkan bahan bakar nabati jenis bioetanol, tetapi perkembangannya tidak optimal hingga sekarang.
”Implementasi bahan bakar nabati di Indonesia sudah sejak 15 tahun lalu, tetapi lebih banyak fokus ke biodiesel. Kalaupun ingin uji coba teknis di jalan untuk jenis B-40 dalam waktu dekat, pemerintah perlu memberikan detail mekanisme. Hanya saja, jangan lupakan bahan bakar nabati alternatif lannya,” kata Kukuh.
Peneliti pada The Purnomo Yusgiantoro Center, Evita Legowo, mengatakan, pihaknya mendukung sikap pemerintah yang tampak berhati-hati menerapkan solar B-40. Pasalnya, banyak hal yang perlu dikaji, baik dari sisi produksi, kualitas penyimpanan, maupun keekonomiannya. Dia juga mengingatkan bahwa Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang salah satunya adalah impor gasolin yang masih besar.
”Cari substitusinya di dalam negeri. Cari bahan baku yang ekonomis untuk etanol agar bisa diolah jadi bioetanol,” ujar Evita.
Mengenai bioetanol yang belum optimal, Dadan menjelaskan bahwa sudah ada beberapa usulan pengembangan, yakni memakai nira dari limbah batang sawit. Generasi produksi bioetanol pertama memakai bahan baku dari tetes tebu, nira sorgum manis, nira aren, nira lontar, hingga tepung-tepung sorgum biji, sagu, ubi jalar, dan singkong. Tantangan generasi pertama itu adalah harus berkompetisi dengan pangan dan pakan, tidak ekonomis, dan belum ada sumber pendanaan untuk menutup selisih harga dengan gasolin.