Kualitas Biodiesel Dianggap Boros dan Membengkakkan Biaya
Program biodiesel yang dikembangkan pemerintah menyisakan catatan. Selain lebih boros, ada potensi pembengkakan subsidi BBM. Pengurangan impor bensin sebaiknya diprioritaskan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kualitas biodiesel untuk bahan bakar solar B-30 menjadi sorotan lantaran dianggap boros dan membengkakkan biaya operasional kendaraan, khususnya kendaraan alat berat. Rencana pemerintah menaikkan angka pencampuran menjadi B-40 atau B-50 sebaiknya dipertimbangkan ulang. Selisih harga yang lebar antara minyak mentah dan minyak kelapa sawit juga berpotensi membuat subsidi membengkak.
Demikian yang mengemuka dalam seminar web ”Program B-30 dan B-40: Peluang dan Tantangan” yang diselenggarakan Balai Teknologi Bahan Bakar dan Rekayasa Desain (BTBRD), Rabu (16/12/2020). B-30 adalah bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan campuran dari biodiesel (30 persen) dan solar murni (70 persen) dengan nama pasar biosolar. Adapun biodiesel merupakan produk olahan dari minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Perekayasa Ahli Utama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto mengatakan, teknik pencampuran biodiesel dengan solar sangat menentukan kualitas B-30 yang diproduksi. Teknik pencampuran yang tidak bagus atau tidak homogen antara biodiesel dan solar murni akan menimbulkan masalah terhadap mesin kendaraan. Apalagi, sifat kimia biodiesel menyukai air.
”Harus ada studi khusus tentang teknik pencampuran (biodiesel dengan solar). Semakin tinggi kadar biodieselnya, seperti B-40 atau B-50, teknik pencampurannya harus semakin bagus. Kalau tidak, akan menimbulkan masalah pada mesin,” ujarnya.
Harus ada studi khusus tentang teknik pencampuran (biodiesel dengan solar). Semakin tinggi kadar biodieselnya, seperti B-40 atau B-50, teknik pencampurannya harus semakin bagus. Kalau tidak, akan menimbulkan masalah pada mesin.
Unggul juga mengingatkan kembali program pemerintah mendorong pengembangan B-40 atau B-50. Apabila tujuannya untuk mengurangi impor solar, seharusnya pemerintah lebih fokus pada cara mengurangi impor bensin. Sebab, jenis BBM yang paling banyak diimpor ke Indonesia adalah jenis bensin, bukan solar.
”Apalagi, pemakaian B-30 menyebabkan konsumsi BBM kendaraan menjadi lebih boros. Bagaimana seandainya B-40 atau B-50 diterapkan? Begitu pula besaran subsidinya lantaran selisih harga minyak mentah dengan CPO cukup lebar,” ujar Unggul.
Sekretaris Gabungan Kepala Kompartemen Teknik Lingkungan dan Industri Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Abdul Rochim membenarkan, ada beberapa merek kendaraan yang tidak cocok memakai B-30. Beberapa jenis kendaraan yang tidak cocok dengan B-30 umumnya buatan Eropa atau Amerika Serikat.
Namun, ada juga kendaraan yang cocok atau tidak masalah menggunakan B-30. Catatan lainnya adalah beberapa perusahaan kendaraan alat berat mengeluhkan pemakaian B-30 ini.
”Dampaknya adalah konsumsi BBM lebih boros rata-rata 5 persen saat memakai B-30 dan filter atau penyaring BBM harus lebih sering diganti. Akibatnya, biaya operasional di lapangan membengkak,” ucap Rochim.
Terkait rencana pemerintah untuk mendorong program B-40 atau B-50, Rochim berpendapat, sebaiknya program tersebut harus disiapkan sedemikian rupa dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Selain itu, harus ada sinergi dengan program BBM ramah lingkungan berstandar euro 4. Pada prinsipnya, kata dia, Gaikindo mendukung program pemerintah dalam pengembangan biodiesel.
Konsumsi BBM lebih boros rata-rata 5 persen saat memakai B-30 dan fuel filter harus lebih sering diganti.
Direktur Bioenergi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misna mengemukakan, pengembangan biodiesel adalah salah satu strategi pemerintah meningkatkan peran energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional. Selain bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca, pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar nabati sekaligus untuk menekan defisit neraca perdagangan minyak dan gas bumi Indonesia.
”Untuk pengembangan B-40 dan B-50, kajian teknis tentang komposisi pencampuran B-40 dan B-50 menjadi perhatian. Begitu pula kajian keekonomian dan infrastruktur pendukung, seperti tangki penyimpanan atau fasilitas laboratorium uji,” tuturnya.
Pada 2008, Indonesia mulai menguji coba penggunaan CPO sebagai bahan dasar biodiesel. Saat itu, dalam 1 liter pencampuran, komposisinya adalah 2,5 persen mengandung biodiesel dan sisanya solar murni atau B-2,5. Secara bertahap, kadar campuran biodiesel dinaikkan. Pada 2010, kadar biodiesel naik menjadi 7,5 persen (B-7,5) dan 10 persen (B-10) pada 2014.
Selanjutnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Pada 2015, kadar pencampuran biodiesel meningkat menjadi 15 persen (B-15).
Berdasarkan hal itu, Indonesia seharusnya sudah menerapkan B-30 per 1 Januari 2020. Namun, pemerintah berhasil mempercepat penggunaan B-30 pada November 2019 yang sudah mulai dipasarkan PT Pertamina (Persero) di beberapa lokasi.