Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi diharapkan segera tuntas guna mengatasi kendala di industri hulu migas. Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman menyatakan, UU Migas ditargetkan bisa selesai tahun 2022.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Sejumlah pelaku industri berharap Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi mengatasi problem krusial terkait perizinan dan iklim usaha hulu minyak dan gas bumi atau migas. Namun, penyusunan undang-undang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi itu terus tertunda dan belum jelas penyelesaiannya.
Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi, anak usaha PT Pertamina (Persero), Budiman Parhusip, pada sesi diskusi di konvensi internasional hulu migas The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas (IOG) 2021 di Nusa Dua, Bali, Selasa (30/11/2021), berharap keberadaan Undang-Undang (UU) Migas bisa mendorong investasi di sektor hulu lebih cepat.
”Waktu (yang tersedia) untuk mengembangkan cadangan (migas) dan memproduksi semakin terbatas. Kami berharap rancangan undang-undang bisa mendorong percepatan investasi, termasuk perizinan lahan, lingkungan hidup, dan (hambatan) lainnya sehingga investasi bisa lebih cepat,” ujarnya.
Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman, pihaknya menargetkan revisi UU Migas disahkan tahun 2022. ”Kami berkomitmen mendorong pembahasan rancangan UU (Migas) ini. Targetnya akhir tahun 2022. Sebab, setelah itu (2023), anggota DPR akan sibuk di daerah pemilihan masing-masing,” ujarnya pada sesi yang sama di ajang IOG 2021.
Menurut Maman, UU Migas memiliki peran krusial di tengah kecenderungan turunnya produksi minyak nasional, sementara kebutuhannya cenderung ke arah sebaliknya. Perbaikan regulasi melalui revisi UU Migas diharapkan mengatasi kendala-kendala yang dihadapi industri migas nasional selama ini.
Pembahasan revisi UU Migas terus tertunda selama bertahun-tahun. Pada tahun 2018, rancangan UU Migas sempat masuk program legislasi nasional prioritas tahun 2018 dan dibawa ke sidang paripurna tahun 2019. Namun, pembahasannya tertunda, antara lain, karena ada uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi.
”Ada pula isu tentang net zero emission (emisi nol) karbon sehingga kami menunggu agar pembahasan undang-undang tidak sepotong-sepotong,” kata Maman.
Terkait itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tutuka Ariadji yang hadir secara daring menyatakan, pihaknya menerima masukan dari para pelaku industri dan kementerian/lembaga terkait untuk menyempurnakan rancangan UU Migas. Pihaknya meyakini perbaikan regulasi diperlukan guna mendorong kinerja sektor migas.
Sebagaimana negara-negara lain di dunia, Indonesia menghadapi dilema terkait penyediaan energi. Produksi migas cenderung turun, sementara kebutuhannya bertambah. Pada saat yang sama, kebutuhan akan energi baru dan terbarukan meningkat di tengah tuntutan mengerem emisi karbon dan laju pemanasan global.
Pemerintah menargetkan produksi 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan gas 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) tahun 2030. Namun, sesuai data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi minyak nasional per 5 Oktober 2021 sebanyak 630.381 barel per hari di bawah target yang sebesar 705.000 barel per hari. Adapun produksi gas bumi 6.057 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau melampaui target yang sebanyak 5.638 MMSCFD.