Belum Bisa Berharap Pulih Sepenuhnya pada Tahun 2022
Pemulihan industri pariwisata belum bisa berharap pada tahun 2022. Situasi pandemi Covid-19 yang masih tidak menentu mendorong pelaku jasa usaha pariwisata memikirkan strategi kreatif agar tetap bisa bertahan.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
Industri pariwisata global diprediksi belum pulih pada tahun 2022. Kemunculan varian baru virus korona berpotensi mengganggu semua jenis perjalanan, termasuk perjalanan domestik. Menyikapi ini, pelaku industri pariwisata perlu semakin lincah beradaptasi dan mendiversifikasi produk atau jasa pariwisata.
Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) bertajuk ”Tourism in 2022”, rata-rata angka kedatangan internasional di tingkat global pada 2022 akan tetap 30 persen di bawah level di tahun 2019. Asia diprediksi menjadi salah satu kawasan yang paling lambat pulih pada 2022.
Sementara itu, kawasan Amerika Utara diprediksi mendapat banyak wisatawan mancanegara, tetapi tingkat kedatangan internasionalnya masih 29 persen di bawah level 2019. Kawasan Eropa dan Timur Tengah diprediksi memperoleh tingkat kedatangan internasional 31 persen, sedangkan Afrika Utara 33 persen, di bawah level 2019.
Pariwisata internasional pada tahun 2022 akan didorong oleh acara-acara berskala besar, seperti Dubai Shopping Festival (DSF) dan Expo 2020. Namun, EIU memprediksi perjalanan bisnis internasional akan tertekan karena perusahaan diduga masih menghindari risiko terhadap karyawan mereka. Keinginan untuk meminimalkan biaya dan jejak karbon juga akan mendorong banyak perusahaan untuk menghindari perjalanan bisnis.
Tes Covid-19, beberapa bentuk karantina, dan pemakaian masker akan terus menjadi kebiasaan pada tahun 2022. Paspor vaksin, yang saat ini sedang diperkenalkan di Australia, China, Uni Eropa, Perancis, Israel, Inggris, dan beberapa bagian Amerika Serikat, akan menyebar luas. Pada tahun 2021, Thailand mulai menerapkan konsep ”sandbox”. Konsep ini memungkinkan wisatawan yang sudah divaksin lengkap dikarantina di sebuah pulau, dan bebas melakukan aktivitas. Setelah 14 hari, wisatawan boleh mengunjungi wilayah lain.
Asia diprediksi menjadi salah satu kawasan yang paling lambat pulih pada 2022.
Negara Asia Tenggara itu menginginkan ketiadaan karantina turis sehingga industri pariwisata pulih lebih cepat. Negara Asia Tenggara lainnya mulai mengikuti konsep ”sandbox” tersebut. Namun, regulasi internasional dan nasional butuh harmonisasi. EIU menyebut kurangnya harmonisasi berpotensi menghambat pemulihan industri pariwisata.
Di Asia Tenggara, khususnya di masa sebelum pandemi Covid-19, industri pariwisata menciptakan lebih dari 42 juta pekerjaan atau 13 persen dari total lapangan kerja. Industri ini menyumbang 12 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada 2020, PDB regional turun 8,4 persen akibat pertumbuhan industri pariwisata yang anjlok.
Dalam laporan yang sama, EIU menyebut perjalanan domestik masih menjadi andalan pemulihan industri pariwisata pada 2022. Belanja wisatawan untuk hotel dan restoran, secara rata-rata global, akan tumbuh 5,3 persen. EIU mengkhawatirkan adanya varian baru Covid-19 yang akan mengancam kembali perjalanan internasional dan domestik.
Diversifikasi
Menyikapi kondisi tersebut, Ketua Umum Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Pauline Suharno berpendapat, pelaku industri pariwisata perlu semakin memahami perilaku wisatawan. Selain itu, pandemi menjadi momentum untuk memperkuat pencitraan layanan perusahaan pariwisata, mulai dari berkampanye di media sosial hingga mengikuti pameran secara virtual.
”Perilaku wisatawan pasti bergeser, terutama kesadaran mereka terhadap kesehatan meningkat. Pelaku industri pariwisata dituntut menawarkan produk perjalanan yang aman. Tantangan menjalankan semua itu adalah potensi terjadi kenaikan ongkos,” ujar Pauline di sela-sela konferensi ”Road to Asian Venture Philanthropy Network Conference and International Events 2022” yang diselenggarakan secara hibrida, Jumat (26/11/2021) sore.
Di masa sebelum pandemi Covid-19, industri pariwisata menciptakan lebih dari 42 juta pekerjaan atau 13 persen dari total lapangan kerja.
Bisnis penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konvensi, dan pameran (MICE) domestik, menurut dia, masih mempunyai peluang. Hanya saja, tantangannya terletak pada konsistensi regulasi pemerintah. Misalnya, perjalanan insentif yang membawa wisatawan dalam kelompok kecil. Mereka tetap harus wajib tes Covid-19, tetapi pernah terjadi ada perubahan kebijakan jenis tes. Padahal, wisatawan sudah berangkat ke destinasi dengan tes berbeda dari kebijakan terbaru.
Tantangan lain bisnis MICE selama pandemi masih sama dengan sebelumnya. Pauline mencontohkan infrastruktur lokasi penyelenggaraan dan transportasi yang belum merata. Hal itu akan memengaruhi tarif paket penyelenggaraan MICE.
Executive Chairman GainingEdge, konsultan MICE, Gary Grimmer berpendapat, pada tahun 2022 implementasi protokol kesehatan tetap harus diutamakan oleh pelaku industri pariwisata. Sebab, pandemi Covid-19 masih akan berlangsung. Pemerintah lintas kementerian/lembaga diharapkan satu suara mendukung pengarusutamaan protokol kesehatan di industri.
”Indonesia bisa mencontoh negara tetangga, seperti Singapura, yang setiap kementerian/lembaga memiliki strategi yang terintegrasi mendukung industri pariwisata untuk menerapkan protokol kesehatan yang benar,” katanya.
Gary menyebut pada tahun 2022 penyelenggaraan MICE secara hibrida masih akan tetap diminati. Ini berarti kapasitas teknologi digital perlu semakin diperkuat. Hal yang tak kalah penting ialah peningkatan mutu sumber daya manusia yang melayani tamu.
Sementara itu, Executive Chairperson Javara Indonesia Helianti Hilman berpendapat, kunci menghadapi ketidakpastian industri pariwisata adalah diversifikasi. Diversifikasi yang ia maksud mulai dari segmen wisatawan, format produk dan jasa, model bisnis, lokasi, hingga pemasaran destinasi wisata.
Dia mencontohkan, destinasi wisata Candi Borobudur di Jawa Tengah. Relief di candi menjelaskan tentang 150 jenis tanaman pangan. Dengan pengumpulan material sesungguhnya di sekitar lokasi candi, material itu kemudian diolah menjadi sajian. Konsep pencitraan dan pemasarannya pun mengusung tema warisan dunia. Cara ini cukup ampuh membuat industri ini mampu bertahan.
”Intinya, kita harus kreatif mendiversifikasi dan harus realistis. Kalau segmen wisatawan mancanegara masih susah digaet, wisatawan domestik harus diandalkan. Mengadopsi teknologi digital juga perlu agar sejalan dengan tren konsumsi, tetapi harus paham pengalaman seperti apa yang dibutuhkan konsumen,” imbuh Helianti.
Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia selama Januari-September 2021 sebanyak 1,19 juta kunjungan. Kunjungan ini turun 67 persen jika dibandingkan dengan periode 2020 yang sebesar 3,59 juta kunjungan.