Seiring pandemi Covid-19, tren pariwisata mulai berubah. Faktor kesehatan dan keberlanjutan menjadi pertimbangan utama wisatawan mengunjungi destinasi pariwisata.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
KOMPAS/Ferganata Indra Riatmoko
Warga melintasi gerbang kawasan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran di Desa Nglanggeran, Patuk, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, Selasa (26/10/2021). Obyek wisata andalan Kabupaten Gunung Kidul tersebut terus dibenahi dan akses menuju tempat tersebut kelak akan dipermudah dengan adanya jalur alternatif Sleman-Gunung Kidul yang tengah dibangun.
JAKARTA, KOMPAS — Pembukaan kembali destinasi pariwisata secara bertahap dipercaya dapat memulihkan industri jasa pariwisata Indonesia. Kebijakan ini juga berpotensi membangkitkan kembali minat investasi di sektor pariwisata kendati tidak bisa terealisasi dalam waktu singkat.
Chairman Bali Hotels Association Jean Hélière mengatakan, sebelum pandemi Covid-19, Bali mengelola 60-65 persen penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konvensi, dan pameran (MICE) nasional dan sisanya MICE taraf internasional. Bali selalu menjadi rujukan pelaksanaan MICE yang tidak kalah menarik dengan negara lain, seperti Singapura. Hadirnya penyelenggaraan MICE membantu meningkatkan okupansi kamar hotel di Bali hingga sedikitnya 70 persen per tahun.
”Selama pembatasan sosial pandemi Covid-19 secara ketat membuat tingkat okupansi kamar hotel di Bali anjlok sampai menjadi 10 persen. Kalaupun kini mulai ada pelonggaran, pelaku industri pariwisata di Bali harus tunggu kepercayaan pasar, apalagi pasar internasional,” ujar Jean saat menghadiri webinar ”Is Now The Right Time to Invest in Indonesian Tourism?”, Rabu (10/11/2021), di Jakarta.
Sejak pelonggaran pembatasan sosial, ia menceritakan, sejauh ini Bali banyak dikunjungi wisatawan domestik atau wisatawan Nusantara, termasuk beberapa penyelenggaraan MICE yang digagas instansi pemerintahan. Menurut dia, kondisi tersebut berdampak positif memperbaiki tingkat okupansi kamar hotel menjadi 30-35 persen meski masih jauh di bawah kondisi sebelum pandemi.
Sejak pelonggaran pembatasan sosial, ia menceritakan, sejauh ini Bali banyak dikunjungi wisatawan domestik atau wisatawan Nusantara, termasuk beberapa penyelenggaraan MICE yang digagas instansi pemerintahan.
Menarik investasi masuk ke Bali, lanjutnya, bukan sekadar bergantung pada kuantitas kunjungan wisatawan serta tingkat okupansi kamar. Ada berbagai faktor lain yang memengaruhi, seperti tren gerakan hijau atau pembangunan berkelanjutan. ”Banyak orang berbicara lingkungan, seperti ketersediaan air bersih, pengurangan pemakaian plastik, hingga keberlanjutan pangan lokal. Komunitas masyarakat Bali sebenarnya mulai fokus ke isu-isu seperti itu juga,” katanya.
Direktur Pembangunan Asia Tenggara di IHG Hotels and Resorts Nathalia Wilson menambahkan, sejumlah hotel yang ada di Indonesia saat ini tengah menjaga likuiditas mereka. Ada pula sejumlah hotel yang masih tutup atau bahkan gulung tikar. Dari sisi pembangunan hotel, pengembang lambat untuk memulai kembali proyek yang sudah lama direncanakan ataupun proyek baru.
Dilihat dari segi pembiayaan, suku bunga pinjaman memang lebih rendah. Namun, lembaga keuangan masih menghindari risiko penyaluran kredit untuk investasi sektor perhotelan. Jika memilih memakai jalur kerja sama atau joint venture, kebanyakan investor membutuhkan waktu lebih lama untuk mencocokkan tujuan investasi. Opsi lainnya adalah merger dan akuisisi. Akan tetapi, opsi ini terkendala oleh aset yang tertekan akibat pandemi.
Dukungan pemerintah
Sesama negara di Asia Tenggara, seperti Thailand, juga sudah membuka kembali untuk kunjungan wisatawan mancanegara. Mereka memiliki produk pariwisata kesehatan (wellness) yang semakin dioptimalkan saat pandemi Covid-19 untuk merespons tren perilaku wisatawan yang memburu produk ini.
Menarik investasi masuk ke Bali bukan sekadar bergantung pada kuantitas kunjungan wisatawan serta tingkat okupansi kamar. Ada berbagai faktor lain yang memengaruhi, seperti tren gerakan hijau atau pembangunan berkelanjutan.
Petugas melakukan penyemprotan disinfektan di wahana rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) di kawasan wisata Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara, Jumat (10/9/2021). Kawasan rekreasi Taman Impian Jaya Ancol menjadi salah satu dari 20 destinasi wisata yang direkomendasikan beroperasi kembali dalam uji coba pembukaan kawasan rekreasi berdasarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 1072 Tahun 2021 tentang PPKM Level 3 yang ditandatangani Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 6 September 2021.
”Indonesia sebenarnya memiliki produk pariwisata senada dan berbasis kearifan lokal, seperti jamu. Seberapa siap industri pariwisata wellness Indonesia bersaing dengan negara lain yang memiliki produk sejenis. Dengan kata lain, pembukaan kembali kunjungan turis memang mampu memikat kembali minat investasi, tetapi ada berbagai tantangan, seperti persaingan dengan negara lain,” tutur Nathalia.
Chief Executive Officer Panorama Group Budi Tirtawisata berpendapat, untuk menarik minat investasi pariwisata, investor membutuhkan dukungan pemerintah. Salah satu bentuknya adalah pemerataan infrastruktur dasar di lokasi destinasi pariwisata.
”Apalagi pemerintah sedang ingin memajukan desa wisata. Pemerataan infrastruktur dasar menjadi krusial. Di luar itu, kami tetap optimistis industri pariwisata Indonesia masih menarik bagi investor karena Indonesia punya potensi pertumbuhan ekonomi yang bagus, kaya budaya, dan bonus demografi,” ujar Budi.
Sementara itu, Infrastructure and Tourism Director PwC Indonesia Hendri Hendrawan mengatakan, saat ini merupakan momentum yang tepat untuk berinvestasi di industri pariwisata Indonesia. Namun, investor perlu memperhatikan pentingnya diversifikasi produk wisata serta memanfaatkan tren wisata terkini yang bergerak menuju pariwisata berkelanjutan.
”Berinvestasi di industri pariwisata juga perlu mencermati tren digitalisasi yang berlangsung sejak sebelum pandemi. Wisatawan generasi milenial kini punya porsi besar dan memprioritaskan penggunaan teknologi digital untuk mencari kebutuhan akomodasi,” kata Hendri.