Konsumen ritel semakin menuntut kepuasan dan pengalaman belanja yang lebih personal. Transformasi ritel ke ekosistem digital dinilai dapat dikelola untuk memenuhi harapan pasar tersebut.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Digitalisasi telah membawa layanan semakin personal. Peritel dituntut mampu memanfaatkan teknologi digital untuk memahami kebutuhan pasar secara spesifik dan menciptakan kustomisasi massal, yakni menawarkan produk dan jasa sesuai dengan keinginan individu dalam skala besar.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey berpendapat, tren globalisasi dan digitalisasi mengemuka dalam 10 tahun terakhir. Meskipun demikian, layanan daring tidak serta-merta menghilangkan kemauan masyarakat untuk datang berbelanja ke toko.
Menurut Roy, era digital telah membawa konsumen semakin menghendaki personalisasi pengalaman dalam berbelanja. Hasil survei ”Ecommerce Personalization Benchmark Report 2021” menyebut, sebanyak 77 persen konsumen menginginkan pengalaman personal (personal experience). Selain itu, pembeli semakin intens melakukan perbandingan produk sebelum memutuskan belanja. Produk yang memperoleh respons dan tinjauan baik oleh konsumen, serta terjangkau, akan semakin dipilih mereka.
Untuk memberikan layanan lebih personal, peritel perlu mengetahui profil konsumen, kebutuhan konsumen, hingga berkomunikasi dengan konsumen. Digitalisasi harus dikelola untuk mengetahui profil, merekap kebutuhan dan kebiasaan belanja konsumen, serta berkomunikasi langsung dengan konsumen.
”Konsumen akan merasa diperhatikan dan dihormati sehingga menimbulkan pengalaman (belanja) yang lebih personal,” katanya dalam webinar ”Hari Ritel Nasional Tahun 2021: Integrasi Digitalisasi pada Ritel Modern”, Kamis (18/11/2021).
Sebanyak 7 dari 10 peritel sudah bermanifestasi dan investasi untuk memenuhi ekspektasi konsumen terhadap pengalaman belanja yang lebih personal. Peritel yang tidak menerapkan itu dinilai bakal tertinggal. Tantangan yang muncul, masih banyak pelaku ritel di sejumlah wilayah yang terkendala digitalisasi karena keterbatasan akses internet.
Ketua Umum Ikatan Saudagar Muslim Indonesia (ISMI) Ilham Habibie mengemukakan, digitalisasi mendorong peritel untuk lebih memahami pasar secara mikro. Tren digitalisasi ritel kian mengarah pada pelayanan yang lebih relevan terhadap keinginan dan kebutuhan pembeli. Dengan teknologi, peritel dapat melakukan kustomisasi massal.
”Digitalisasi ritel adalah bagaimana melibatkan dan memberdayakan pelanggan serta memberikan jasa yang baik dan kepuasan. Kita sudah bisa melakukan kustomisasi secara massal yang pada masa lalu sulit dilakukan,” katanya.
Salah satu bentuk kustomisasi massal terlihat di industri mode, di mana beberapa jenama yang telah mendunia mampu memproduksi hingga 7.000 desain atau produk baru per minggu yang disesuaikan dengan permintaan pasar, serta dikirim dalam waktu cepat ke sejumlah negara.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Jimmy Gani mengemukakan, perusahaan ritel dituntut untuk terus beradaptasi dengan teknologi digital. Konvergensi layanan daring dan luring (O2O) diperlukan dalam menyambut masa normal baru.
Digital Business General Manager Alfamart Viendra Primadia menyebutkan, perusahaan yang berawal dari layanan toko ritel itu telah mulai menggarap layanan digital sejak 2013. Hingga saat ini, perusahaan telah memiliki lima aplikasi untuk memenuhi target pasar yang berbeda-beda, seperti konsumen, mitra toko atau warung, serta kerja sama dengan penyedia platform e-dagang. Aplikasi itu antara lain Alfapop, Alfamikro, dan Alfagift.
Digitalisasi dinilai memerlukan sistem yang mudah beradaptasi dan melihat peluang dengan berbasis pada kekuatan bisnis perusahaan. Pengembangan layanan digital telah membawa manfaat terhadap jaringan toko-toko Alfamart di Indonesia. Tantangannya adalah memastikan promosi yang ditawarkan lewat layanan luring sejalan dengan daring.
Saat ini, Alfamart memiliki 15.000 toko di 24 provinsi di Indonesia dengan produk yang dipasarkan mencapai 4.000 barang. Jumlah konsumen mencapai 4,5 juta orang per hari. Selain itu, pihaknya juga melayani 100.000 warung, toko kelontong dan kios, pedagang asongan, dan horeka.
Sumber daya dan teknologi dipadukan sehingga aplikasi mampu memberikan manfaat bagi toko-toko jaringan Alfamart.
”Ada beberapa aplikasi yang kami kembangkan dalam bisnis digital. Toko kami adalah kekuatan kami. Sumber daya dan teknologi dipadukan sehingga aplikasi mampu memberikan manfaat bagi toko-toko jaringan Alfamart,” ujarnya.
Sementara itu, pusat perbelanjaan AEON Mall Tanjung Barat yang terintegrasi dengan Southgate Residence mulai beroperasi, Kamis. Pembangunan mal itu dilakukan melalui kerja sama operator pusat perbelanjaan AEON Mall asal Jepang dengan pengembang Sinar Mas Land.
CEO Retail and Hospitality Sinar Mas Land Alphonzus Widjaja mengemukakan, pusat perbelanjaan baru itu diharapkan meningkatkan perekonomian ritel di Indonesia. AEON Mall dinilai memiliki fokus pada digitalisasi dan eco-friendly untuk kenyamanan konsumen.