Pengelolaan perikanan yang berkelanjutan menjadi tuntutan, tidak hanya untuk memenuhi tuntutan pasar dunia, tetapi juga untuk ketahanan pangan nasional.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Pengelolaan sektor pangan yang berkelanjutan kian menjadi isu global. Di sektor kelautan dan perikanan, pasar menuntut produk perikanan yang berasal dari praktik-praktik ramah lingkungan.
Kebutuhan global terhadap produk perikanan berkelanjutan, antara lain, tecermin dari nilai jual yang lebih tinggi atas produk-produk perikanan yang memiliki sertifikasi ekolabel. Sertifikasi internasional untuk perikanan ramah lingkungan dan berkelanjutan ini mampu menaikkan posisi tawar dan harga jual produk perikanan di pasar global.
Dari data Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia, sertifikasi ekolabel dari Marine Stewardship Council (MSC) tahun 2020 terhadap nelayan yang menangkap tuna satu per satu dengan pancing ulur (hand line) dan huhate (pole and line) mampu menaikkan nilai jual 10-20 persen lebih tinggi ketimbang tangkapan dengan alat tangkap pukat cincin (purse seine). Bahkan, 56 persen konsumen boga bahari (seafood) dunia diyakini mau membayar lebih untuk makanan laut yang tersertifikasi.
Sertifikasi MSC telah didapatkan Indonesia secara terbatas untuk nelayan tuna di wilayah Bitung (Sulawesi Utara), Banda (Maluku Tengah), serta Maumere dan Larantuka (Nusa Tenggara Timur) setelah melalui proses hampir tujuh tahun. Jumlah kapal pancing ulur dan huhate yang memperoleh sertifikasi MSC terdiri dari 307 kapal pancing ulur dan 73 kapal huhate dengan bobot kapal kisaran 1-94 gros ton (GT). Selain itu, ada juga sembilan perusahaan penangkapan dan pengolahan tuna yang juga telah mengantongi sertifikat. Produk tuna berlabel MSC itu diekspor perdana ke Jepang pada 26 Januari 2021.
Sertifikasi internasional untuk perikanan ramah lingkungan dan berkelanjutan ini mampu menaikkan posisi tawar dan harga jual produk perikanan di pasar global.
Potensi mengisi pasar perikanan dunia masih terbuka lebar. Sejauh ini, Indonesia baru mengisi sekitar 3 persen dari pasar ikan dunia yang nilainya sudah mencapai 162 miliar dollar AS per tahun.
Di sisi lain, kepedulian global terhadap isu ketahanan pangan terus meningkat pada masa pandemi. Beberapa negara mulai menahan ekspor untuk kecukupan pangan dalam negeri. Singapura, misalnya, fokus berinovasi untuk memenuhi 30 persen kebutuhan pangan dalam negeri pada tahun 2030.
Tantangan di Indonesia
Indonesia terus mendorong pembangunan sektor pangan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dalam beberapa tahun terakhir, antara lain melalui konsep ekonomi hijau dan ekonomi biru. Kedua prinsip pembangunan ini memiliki arah serupa, yakni upaya pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat harus selaras dengan keberlanjutan ekologi.
Di sektor perikanan, meski produk ramah lingkungan menjanjikan imbal hasil pasar yang lebih luas, penerapan prinsip perikanan berkelanjutan masih menghadapi tantangan. Perikanan berkelanjutan mensyaratkan pendataan yang akurat, penerapan standar ramah lingkungan, serta ketertelusuran produk dari produsen hingga unit pengolahan.
Perikanan berkelanjutan mensyaratkan pendataan yang akurat, penerapan standar ramah lingkungan, serta ketertelusuran produk dari produsen hingga unit pengolahan.
Faktanya, dengan komposisi 96 persen nelayan Indonesia merupakan nelayan skala kecil dan mayoritas pembudidaya ikan juga berskala kecil, akses untuk memperoleh sertifikasi ekolabel masih terbatas. Untuk memenuhi sejumlah persyaratan internasional itu dibutuhkan pendampingan yang konsisten terhadap pelaku usaha mulai dari hulu hingga hilir.
Proses sertifikasi ekolabel yang mensyaratkan tata kelola perikanan berkelanjutan juga cenderung memakan waktu lama hingga bertahun-tahun dan membutuhkan biaya besar. Tak dimungkiri, pemberian label atau sertifikasi internasional juga masih diorganisasi lembaga atau organisasi internasional tertentu.
Kementerian Kelautan dan Perikanan mengadopsi strategi ekonomi biru dalam tiga program prioritas hingga tahun 2024, yakni perikanan tangkap terukur dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan, pengembangan perikanan budidaya berbasis riset untuk peningkatan ekspor, dan pembangunan kampung-kampung perikanan budidaya berbasis kearifan lokal.
Konsistensi, kolaborasi, dan inovasi menjadi kunci mencapai perikanan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi yang sejalan dengan upaya menjaga laut bagi generasi mendatang harus ditopang kesadaran bersama, tidak hanya untuk menyikapi tuntutan pasar global, tetapi juga untuk mencapai ketahanan dan kemandirian pangan. Keseriusan semua pihak dinantikan.