Waspadai Berlanjutnya Pandemi dan Perlambatan Ekonomi Dunia di 2022
APBN 2022 mesti bisa menjadi instrumen utama untuk menggerakkan pertumbuhan, memperkuat daya tahan ekonomi, dan mengakselerasi daya saing, khususnya di sisi ekspor dan investasi.
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo meminta semua pihak untuk mewaspadai tantangan di tahun 2022, yakni potensi berlanjutnya pandemi Covid-19 dan perlambatan ekonomi dunia. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022 mesti bisa menjadi instrumen utama untuk menggerakkan pertumbuhan, memperkuat daya tahan ekonomi, dan mengakselerasi daya saing, khususnya di sisi ekspor dan investasi.
Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pun diminta agar dipercepat. ”(Untuk) APBN artinya setiap kementerian dan lembaga harus konsentrasi mempercepat realisasi ini. Kemudian Mendagri melihat APBD-APBD yang serapan anggarannya masih kecil, juga, berikan perhatian, tekankan pada mereka (pemerintah daerah) bahwa APBD ini penting untuk pertumbuhan ekonomi kita,” kata Presiden Jokowi saat menyampaikan pengantar pada sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (17/11/2021).
Kepala Negara menuturkan, realisasi dana perlindungan sosial baru mencapai 77 persen dari daftar isian penggunaan anggaran (DIPA). Selanjutnya, program padat karya baru mencapai 67 persen. Adapun dukungan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan korporasi baru mencapai 60 persen.
Menurut Presiden Jokowi, diperlukan pula penajaman dan efisiensi belanja. Belanja-belanja rutin yang tidak perlu diminta segera dihilangkan dan menggesernya untuk belanja-belanja yang produktif. ”Dan pastikan, ini penting untuk awal 2022, Januari 2022, anggaran sudah bisa dieksekusi. Artinya, di bulan-bulan ini kita akan mempersiapkan administrasi agar di awal tahun, di bulan Januari, sudah bisa dieksekusi,” katanya.
Baca juga : Serapan Anggaran Masih Rendah, Realisasi Komitmen Pemda Dinantikan
Investasi pun diminta agar segera didorong untuk direalisasikan. Komitmen investasi memang banyak. Tetapi terkadang, kalau tidak dikawal, diikuti, dan dimonitor, komitmen-komitmen tersebut lama direalisasikan. ”Kita harus ingat bahwa APBN itu hanya berkontribusi kurang lebih 15 persen terhadap PDB kita. Artinya, memang yang lebih banyak adalah swasta, investasi, dan BUMN. Kontribusinya lebih gede,” ujar Kepala Negara.
Di kesempatan tersebut, Presiden Jokowi juga menuturkan pertemuannya dengan Sheikh Mohamed bin Zayed dengan Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum yang telah diketahui komitmen investasinya 44,6 miliar dollar AS. Komitmen investasi ini diminta juga agar betul-betul dikawal, diikuti, dan ditindaklanjuti sehingga menetas atau terealisasi.
Baca juga : Indonesia Cetak Kesepakatan Investasi Baru
”Kemudian juga komitmen investasi sebesar 9,29 miliar dollar AS dalam rangka transisi energi dan ekonomi hijau, atas pertemuan kita dengan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan para CEO Inggris juga agar dikawal dan ditindaklanjuti. Ini juga bukan angka yang kecil,” kata Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi mengatakan, saat ini bola ada di Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, juga Menteri BUMN yang terkait dengan hal tersebut harus betul-betul berkonsentrasi agar semua komitmen investasi dapat terealisasi.
”Mengenai pengembangan ekonomi hijau dan transisi energi ke renewable energy, energi baru terbarukan, betul-betul harus menjadi komitmen kita bersama. Dan, harus kita pastikan berjalannya investasi itu untuk menggeser pembangkit batu bara dan menggantikannya dengan energi baru terbarukan. Baik itu pengembangan kendaraan dan baterai listrik, serta juga pembangunan green industrial park di Kalimantan Utara yang juga menggunakan energinya dari hydro power itu betul-betul bisa direalisasikan dan dimulai,” katanya.
Risiko global
Berkaitan dengan risiko-risiko global, Presiden Jokowi meminta mewaspadai perlambatan ekonomi di China. Hal ini betul-betul mesti dilihat karena ekspor Indonesia ke China terbilang besar. ”Kemudian, risiko tapering off dari Amerika (Serikat) betul-betul dilihat dampak dan apa yang harus kita siapkan serta lakukan. Kemudian, yang terakhir, berkaitan dengan inflasi global; dampaknya akan seperti apa semuanya itu harus kita kalkulasi dan di mana yang harus kita antisipasi,” ujarnya.
Baca juga : Mendag: ”Supercycle” Komoditas Diperkirakan Berakhir September 2022
Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut juga meminta agar mewaspadai terjadinya fenomena siklus super komoditas (commodity supercycle). Hal ini karena, sekarang harga komoditas unggulan ekspor Indonesia melonjak tinggi. ”Ini, umumnya, hanya berlangsung 18 bulan. Jadi, langkah-langkah antisipasi untuk itu harus diberikan dengan menguatkan industri pengolahan yang berorientasi ekspor,” ujar Presiden Jokowi.
Saat memberikan keterangan pers terkait hasil sidang kabinet paripurna, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, sidang kabinet membahas perkembangan ekonomi terkini dan pelaksanaan APBN 2021. Selain kasus Covid-19 yang masih menjadi fokus, pemerintah juga melihat pemulihan ekonomi dan tantangan yang terjadi.
Sampai saat ini, pemulihan ekonomi di triwulan IV-2021 diperkirakan akan meningkat cukup kuat. ”(Hal ini) terutama ditunjang dengan beberapa indikator, seperti consumer confidence index yang meningkat, retail sales index yang meningkat, PMI manufaktur juga meningkat atau recover sesudah mengalami penurunan akibat (varian) Delta,” kata Sri Mulyani.
Baca juga : Pertumbuhan Industri Manufaktur Belum Ideal dan Merata
Menkeu Sri Mulyani menuturkan, ekspor impor Indonesia juga menunjukkan pertumbuhan sangat tinggi, yakni 50 persen.
”Untuk pasar keuangan, kita juga melihat bahwa yield dari surat berharga kita sudah mengalami perbaikan, dengan spread yang menurun dari US Treasury. Tadinya, pada awal Juli 2021, spread-nya 512 bps atau basis poin sekarang menurun menjadi 449 (bps),” katanya.
Nilai tukar rupiah, indeks harga saham juga mengalami perbaikan. Namun, pemerintah juga memahami bahwa ada tantangan yang mesti diwaspadai. Pertama, kecenderungan inflasi atau kenaikan harga. Hal ini karena terlihat di sejumlah negara, seperti Eropa, Amerika, RRC, dan bahkan beberapa emerging market, seperti Meksiko dan Korea, terjadi kenaikan harga produsen.
Harga produsen ini kemudian bisa menyebabkan kenaikan pada harga di tingkat konsumen atau yang kemudian diukur menjadi inflasi.
”Inilah yang kemudian akan kita waspadai. Untuk Indonesia sendiri kita lihat harga di tingkat produsen juga mengalami kenaikan 7,3 persen. Kalau di Eropa kenaikannya bahkan mencapai 16,3 persen, China 13,5 persen, Amerika Serikat 8,6 persen, Korea 7,5 persen,” ujar Sri Mulyani.
Kenaikan harga produsen ini, menurut Menkeu Sri Mulyani, harus diwaspadai agar tidak mendorong kenaikan inflasi pada tingkat konsumen. Kedua, pemerintah juga melihat dengan kenaikan inflasi dimungkinkan terjadi tapering off atau kebijakan The Federal Reserve (Bank Sentral AS) yang akan disesuaikan dengan adanya kenaikan inflasi yang sangat tinggi, yaitu di atas 6 persen di AS.
”Ini, secara historis, biasanya kenaikan Federal Funds Rate ini bisa menimbulkan potensi guncangan dari sisi capital flows ke emerging country dan juga kemudian menimbulkan ekses dari sisi nilai tukar. Dan, bahkan, bisa saja di negara berkembang atau negara emerging, seperti yang kita lihat di Argentina dan Turki, terjadi kenaikan inflasi dan depresiasi dari currency-nya yang sangat dalam,” katanya.
Secara historis, biasanya kenaikan Federal Funds Rate ini bisa menimbulkan potensi guncangan dari sisi capital flow ke emerging country dan juga kemudian menimbulkan ekses dari sisi nilai tukar.
Menkeu Sri Mulyani menuturkan, hal ini bisa berpotensi menimbulkan ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan. Jadi, Indonesia juga harus berhati-hati dan waspada terhadap kemungkinan dinamika global yang berasal dari potensi tapering off ini. ”Indonesia, dengan fondasi ekonomi yang terus kita perkuat, kita berharap akan memberikan kesiapan yang lebih baik dalam menghadapi kemungkinan dinamika global tersebut,” ujarnya.
Pemulihan ekonomi
Pemulihan ekonomi Indonesia di triwulan III-2021 sudah cukup menunjukkan bahwa seluruh sisi; permintaan, konsumsi, investasi, ekspor, dan impor mengalami pembalikan dan pemulihan. Demikian pula dari seluruh sektoral, baik itu perdagangan, manufaktur, pertambangan, konstruksi, akomodasi, transportasi, pertanian, maupun informasi serta komunikasi juga mengalami pembalikan dan pemulihan di triwulan III-2021 meskipun Indonesia dihadapkan pada varian Delta yang cukup berat.
”Untuk itu, dari sisi pelaksanaan APBN 2021, Bapak Presiden menginstruksikan kepada seluruh kementerian/lembaga untuk berfokus pada pelaksanaan dan penyelesaian anggaran tahun 2021. (Hal) ini terutama karena sampai dengan akhir Oktober ini, kita lihat untuk belanja pemerintah pusat yang sudah tumbuh 5,4 persen dibandingkan tahun lalu masih akan tumbuh lebih tinggi lagi di 10,4 persen,” kata Sri Mulyani.
Belanja kementerian/lembaga memang mengalami kenaikan cukup signifikan, yakni 14,8 persen, meskipun didominasi untuk belanja yang berhubungan dengan Covid-19 dan belanja bantuan sosial. Transfer keuangan ke daerah dan Dana Desa terlihat masih mengalami kendala, dari sisi pertumbuhannya negatif 7,9 persen. ”Dan, kalau bisa diselesaikan dalam 1,5 bulan, kemungkinan dia akan flat dibandingkan tahun lalu,” ujarnya.
Di sisi total pendapatan negara tahun 2021, hingga akhir Oktober, menunjukkan pertumbuhan penerimaan yang cukup kuat, yaitu 18,2 persen, setelah tahun lalu mengalami kontraksi 15,3 persen. Penerimaan pajak tumbuh 15,3 persen, (adapun) tahun lalu kontraksinya 18,8 persen.
”Jadi, ini rebound dan recover penerimaan. Untuk bea cukai, tahun lalu tumbuh 5,5 persen, tahun ini naik 25,5 persen. Dan, penerimaan negara bukan pajak yang tahun lalu kontraksi 16,3 persen, tahun ini tumbuh 25,2 persen,” kata Sri Mulyani.
Melihat hal tersebut, Menkeu Sri Mulyani menuturkan, pemerintah berharap akhir tahun 2021 defisit akan mengecil. Defisit di UU APBN disebutkan Rp 1.006,4 triliun atau 5,7 persen dari PDB. Tahun ini pemerintah memperkirakan defisit akan mengecil, yaitu ke Rp 873,6 triliun atau pada kisaran 5,2 persen hingga 5,4 persen dari PDB. Hal ini adalah perkembangan positif dari struktur APBN.
”Untuk pelaksanaan akhir tahun ini, Bapak Presiden meminta seluruh kementerian/lembaga fokus pada penyelesaian APBN, terutama belanja-belanja yang bisa memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemulihan ekonomi. (Belanja) ini terutama belanja di bidang bantuan sosial yang masih akan ada penyelesaian sampai akhir tahun, bantuan kepada dunia usaha, termasuk belanja dalam rangka untuk membayar klaim dari pasien yang memang meningkat cukup tinggi untuk Covid-19 ini,” ujar Sri Mulyani.
Dukungan
Terkait penanganan pasien, pemerintah melihat sudah ada 713.900 pasien yang klaimnya akan dibayar oleh negara. Pemerintah juga tetap memberikan insentif Rp 1,26 juta kepada tenaga kesehatan di pusat dan di daerah melalui APBD.
”Untuk program perlindungan sosial, selain yang sudah dilakukan seperti PKH (program keluarga harapan), kartu sembako, bantuan sosial tunai, kepada 10 juta KPM dan BLT Desa, kita juga akan terus mendukung dengan program lain, termasuk meng-address isu kemiskinan ekstrem yang memang perlu untuk diperhatikan,” ujarnya.
Pemerintah juga akan mendukung program-program prioritas, termasuk yang tadi diputuskan dalam Komite PEN di bawah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
”Ada anggaran untuk pariwisata, yaitu bantuan kepada pelaku di bidang pariwisata dengan bantuan produktif atau bantuan tunai Rp 600.000 untuk tiga kali pembayaran. Targetnya, siapa yang akan mendapatkan, kriterianya, dan lokasi penerima akan ditetapkan oleh Menteri Parekraf sehingga diharapkan bisa dieksekusi pada akhir bulan ini atau awal bulan depan,” ujarnya.
Di tahun 2021, pemerintah juga akan menyelesaikan pembiayaan investasi, terutama untuk BUMN-BUMN yang mendapatkan penugasan pemerintah untuk menyelesaikan proyek-proyek strategis nasional dan infrastruktur yang fundamental atau penting.
”Seperti Hutama Karya yang akan mendapatkan PMN untuk tahun 2021 ini tambahan dari Rp 6,2 (triliun) menjadi sekitar Rp 25 triliun. Dan, untuk Waskita Karya juga akan ada tambahan Rp 7,9 triliun,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menuturkan, pada tahun ini dan tahun depan, pemerintah bersama Bank Indonesia tetap bersinergi mengawal pemulihan ekonomi. Kerja sama dengan BI ini telah, menyebabkan beban pemerintah secara fiskal mengalami keringanan atau penurunan dengan penghematan bunga utang hingga Rp 29 triliun per tahun. ”Ini karena adanya SKB dari Bank Indonesia dengan Kementerian Keuangan untuk bisa mendukung program-program yang berhubungan dengan Covid-19,” katanya.
Sri juga menyampaikan, Presiden Jokowi telah menginstruksikan kepada seluruh kementerian dan lembaga untuk menyiapkan pelaksanaan APBN 2022. ”Secara highlight saja, tahun depan kita akan belanja Rp 2.714,2 triliun. Dan, ini, belanja pemerintah pusat mencapai Rp 1.944 triliun, sedangkan belanja pemerintah daerah Rp 769,6 triliun. Kita akan menyerahkan DIPA kepada seluruh kementerian/lembaga sehingga mereka bisa melaksanakan,” katanya.
Selain itu, Presiden Jokowi juga menginstruksikan agar seluruh kementerian/lembaga memberikan atau melakukan pencadangan pada 2022. Sehingga, kalau sampai terjadi adanya situasi yang dihadapi dengan varian Delta di Juli-Agustus 2021, mereka tidak perlu melakukan pemfokusan kembali yang membuat disrupsi di dalam pelaksanaan anggaran.
”Namun, seluruh kementerian/lembaga sudah mencadangkan paling tidak 5 persen dari anggarannya kalau seandainya harus melakukan perubahan untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan akibat Covid-19 ini,” katanya.