Industri yang terintegrasi memperkuat Indonesia. Ekosistem yang terbangun membuat Indonesia mampu menjadi produsen kendaraan listrik yang ramah lingkungan. Investasi hulu ke hilir ini sangat terbuka.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus membuka peluang bagi investasi di industri hulu-hilir kendaraan berbasis listrik. Investasi yang terintegrasi diharapkan menjadikan Indonesia memiliki posisi kuat untuk membangun ekosistem rantai pasok global untuk baterai dan kendaraan listrik.
Tak hanya terbuka pada investasi yang memproduksi sepeda motor dan mobil listrik, pemerintah juga terbuka pada investasi industri penyediaan listrik energi baru terbarukan (EBT), industri bahan baku, komponen, dan investasi industri daur ulangbaterai listrik.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan dalam webinar ”Investment of Electric Vehicle (EV) in Indonesia” yang diselenggarakan Intelligent Transport System (ITS) Indonesia, Rabu (17/11/2021), di Jakarta, mengatakan, ”Semua itu merupakan komitmen kita terhadap perubahan iklim. Potensi nikel yang besar dan logam lain serta ada ambisi serius untuk mewujudkan industri kendaraan listrik dari hulu ke hilir. Investasi hijau yang terintegrasi menjadi fondasi utama.”
Pemerintah Indonesia juga bertekad mengurangi emisi. Pada pertemuan G-20 di Bali mendatang, pemerintah akan menyiapkan sepeda motor listrik. Penyiapan infrastruktur juga sedang dilakukan, termasuk mobil resmi G-20 akan mempergunakan teknologi listrik. Pemerintah berjanji memberikan insentif-insentif menarik untuk berinvestasi di teknologi kendaraan listrik.
Permintaan domestik dan global terhadap baterai listrik meningkat seiring peningkatan penjualan kendaraan listrik. Awal tahun 2024, kata Luhut, Indonesia diharapkan sudah bisa memproduksi baterai ion-NMC 811 sebagai teknologi terbaru yang penggunaan bijih nikelnya paling banyak.
Produksi baterai ini akan dikaitkan dengan komitmen green product. Di Kalimantan Utara, pemerintah akan menggunakan tenaga hidro dan solar panel. Namun, produksinya tidak mencukupi karena permintaannya mencapai 70 gigawatt-hour (GWh). Padahal, produksinya diperkirakan baru mampu mencapai 30 GWh. Tahun 2030, Eropa akan meminta produk-produk yang disuplai dengan energi baru terbarukan (EBT).
”Memang, semua ini kesalahan kita berpuluh-puluh tahun. Sekarang kita perbaiki. Awalnya, banyak kritik. Mengapa tidak menggunakan tenaga orang Indonesia? Lha, memang enggak ada. Kita tidak pernah memperhatikan pembangunan politeknik yang berkualitas,” kata Luhut.
Direktur Utama Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho menjelaskan, kesepakatan mendorong industri kendaraan listrik telah disampaikan dalam pertemuan G-20. Tanpa sadar, kendaraan berbasis bahan bakar minyak (BBM) akan mengeluarkan emisi 5 ton per tahun.
Sebaliknya, apabila menggunakan kendaraan listrik, terlebih berbasis energi terbarukan, emisi yang dikeluarkan bisa di angka nol. Oleh karena itu, implementasi ekosistem baterai kendaraan listrik sangat penting di Indonesia. ”Perkembangan di dunia akan kebutuhan baterai EV sangat besar, dari rata-rata per tahunnya bisa 26 persen pada tahun 2020-2025,” kata Toto.
Menurut Toto, semua kendaraan berkaitan dengan baterai EV, hybrid, hingga heavy duty menggunakan baterai untuk sistem kelistrikannya. Tahun 2020, suplai baterai Li-Ion mencapai 470 GWh, sedangkan permintaannya mencapai 242 GWh. Permintaan itu akan semakin besar. Melihat kebutuhan baterai untuk kendaraan listrik sangat besar, inilah yang dapat diisi Indonesia untuk berperan menjadi pemain global untuk produksi baterai.
Berdasarkan kajian IBC, ada tiga segmen besar kebutuhan baterai EV tahun 2035. Pertama, kendaraan roda empat EV yang diprediksi mencapai hampir 400.000 unit per tahun yang yang harus disuplai baterainya. Kedua, kendaraan roda dua EV yang memiliki pasar sangat besar, yakni hampir 3 juta unit per tahun.
Segmen selanjutnya adalah ESS, baterai yang digunakan untuk menyuplai sistem energi. Baterai ini berfungsi untuk melakukan penyimpanan energi terhadap pembangkit energi-energi terbarukan, seperti solar, tenaga angin, dan geotermal.
”Investasi yang dilakukan untuk masuk pada aspek baterai memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Kalau harus mengambil dari hasil pertambangan kita, membutuhkan langkah-langkah panjang, yakni dari bijih nikel, diproses katoda dan anoda hingga proses manufaktur baterai, bahkan recycling menjadi hal penting untuk menjaga sustainability,” ujar Toto.
Beberapa waktu lalu, peletakan batu pertama proyek perdana industri baterai di Asia Tenggara sudah dilakukan Presiden Joko Widodo. Hyundai dan LG memulai pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik dengan nilai investasi 1 miliar dollar AS di Indonesia. Pabrik itu diharapkan sudah berproduksi tahun 2023. Investasi industri recycling baterai di Morowali pun diperkirakan berdampak besar bagi keberlanjutan lingkungan.
Luhut menilai, investasi yang masif diperlukan untuk infrastruktur stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). Investor diharapkan masuk membangun SPKLU di Bali karena Bali diharapkan menjadi daerah yang didorong percepatan penggunaan sepeda motor dan mobil listrik. Dalam 3-4 tahun, kemungkinan penggunaan BBM fosil dikurangi supaya Bali menjadi pulau ramah lingkungan.
Direktur Pemasaran PT Hyundai Motors Indonesia Erwin Djajadiputro menjelaskan, sejak tahun 2019, Hyundai sudah berkomitmen mendirikan pabrik kendaraan listrik di Indonesia. Bukan hanya perakitan, melainkan juga manufakturnya. Saat ini, pabriknya sudah selesai dan akan memproduksi model sport utility (SUV), multipurpose vehichle (MPV), dan mobil listrik, dengan kapasitas produksi 250.000 unit per tahun.
Nilai investasinya mencapai 1,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 15 triliun) yang terbagi dalam tahap pertama senilai 702 miliar dollar AS dan tahap kedua senilai 847 miliar dollar AS. Tahun 2022, Hyundai akan mulai memproduksi mobil listrik.
”Bicara mobil listrik, sebenarnya baterai adalah jantungnya. Kemudian, dari baterai inilah diubah untuk menggerakkan motor listrik untuk memperlambat kecepatan rotasi motor dan juga menyalurkan tenaga ke roda kendaraan,” jelas Erwin.
Erwin menegaskan, untuk berfokus pada produksi baterai, Hyundai Motor Group bersama dengan LG Energy Solution telah memutuskan untuk berinvestasi di Indonesia. Nilai investasinya mencapai 1,1 miliar dollar AS. Pabriknya dibangun di lahan seluas 33 hektar dan mulai dibangun tahun 2023. Produksi baterai secara massal akan dimulai tahun 2024.
Menurut Erwin, pabrik ini diperkirakan akan memproduksi baterai cell sekitar 10 GWh per tahun. Jumlah produksi baterai ini bisa dikonsumsi oleh sekitar 150.000 kendaraan listrik.