Hampir separuh industri komponen otomotif di Tanah Air diperkirakan terdampak oleh peralihan penggunaan kendaraan konvensional ke kendaraan listrik. Para pelaku industri bersiap untuk menghadapi perubahan tersebut.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transisi ke penggunaan kendaraan listrik akan mendisrupsi industri otomotif dan komponen otomotif konvensional. Pelaku industri pun mulai bersiap beralih menuju elektrifikasi dari sekarang meski pangsa pasar kendaraan listrik di Indonesia masih terhitung kecil. Transisi diharapkan tetap berlangsung secara bertahap dan alamiah.
Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) memprediksi, elektrifikasi kendaraan akan berdampak pada nyaris separuh dari industri komponen mobil dan motor yang ada saat ini. Estimasinya, lebih dari 47 persen industri komponen akan mengalami disrupsi akibat peralihan dari kendaraan konvensional menuju elektrik.
“Ada yang bisa bertahan, ada yang akan hilang sama sekali, ada juga yang harus mengubah sedikit atau meredesain komponen-komponennya. Yang jelas, kurang lebih 47 persen anggota kami harus sangat waspada dan menyiapkan diri mulai dari hari ini,” kata Ketua Umum GIAMM Hamdhani Zulkarnaen Salim dalam diskusi Quo Vadis Industri Otomotif Indonesia di Era Elektrifikasi yang diadakan Forum Wartawan Industri secara daring, Jumat (15/10/2021).
Beberapa kelompok komponen kendaraan yang akan terganti akibat elektrifikasi, antara lain, mesin kendaraan (engine), tangki bensin (oil supply), dan katup exhaust yang berfungsi mengatur keluarnya gas buang sisa pembakaran dari mesin kendaraan.
Sementara, kelompok komponen yang tidak tergantikan tetapi perlu penyesuaian, antara lain seperti rem (brake), komponen-komponen elektronik, drivetrain yang berfungsi menyalurkan tenaga dari mesin ke roda kendaraan, serta AC dan kompresornya.
Terakhir, kelompok komponen konvensional yang masih akan digunakan pada kendaraan listrik, seperti roda dan ban, sistem kemudi (steering system), suspensi, aki, interior-eksterior mobil, serta sistem penerangan (lighting).
Hamdhani mengatakan, meski beberapa komponen akan tergantikan, industri melihatnya sebagai peluang baru. Akan ada jenis komponen lain yang bisa dikembangkan, seperti baterai listrik, inverter yang berfungsi mengubah arus listrik searah (DC) menjadi arus bolak-balik (AC), serta pengisi daya (charging station). “Kami melihat ini sebagai peluang, bukan kendala,” katanya.
Saat ini, pangsa pasar kendaraan listrik memang masih sangat kecil di Indonesia. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, penetrasi pasar kendaraan listrik dalam negeri belum mencapai 1 persen terhadap total penjualan mobil di dalam negeri.
Per September 2021, pangsa pasar kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) hanya 0,1 persen (611 unit) terhadap total penjualan kendaraan bermotor sebanyak 627.537 unit. Sementara, pangsa pasar untuk kendaraan hibrida (hybrid electric vehicle) 0,3 persen dengan total penjualan 1.737 unit.
Menurut Ketua V Gaikindo Shodiq Wicaksono, daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia untuk kendaraan bermotor adalah Rp 300 juta. Sementara, saat ini, harga kendaraan listrik BEV atau hibrida di pasaran masih di atas Rp 600 juta. Di sisi lain, penetrasi pasar juga masih kecil karena infrastruktur pengisian daya listrik juga masih terbatas. “Oleh karena itu, sebenarnya sekarang potensi pasarnya masih sedikit,” kata Shodiq.
Saat ini, industri sedang berusaha mencari teknologi termutakhir yang dapat mengembangkan baterai listrik dengan harga lebih murah. Pasalnya, saat ini, harga baterai listrik masih 40-60 persen dari harga kendaraan lsitrik itu sendiri.
Shodiq mengatakan, riset dan pengembangan (research and development) yang kuat untuk memproduksi baterai listrik yang efisien dan murah dapat mendukung nilai keekonomian dan daya tarik pasar terhadap kendaraan listrik.
Lebih lanjut, transisi elektrifikasi diharapkan tetap berjalan alamiah dan bertahap agar tidak membawa disrupsi yang merugikan industri komponen otomotif. Ia memberi contoh transisi mobil manual menuju otomatik, serta kendaraan konvensional menuju kendaraan bermotor hemat energi (LGCG/low cost green car) yang dinilai berlangsung alamiah.
“Kita harus memikirkan bagaimana meminimalisir perubahan struktur ini, agar industri komponen dan suplier komponen dalam negeri bisa mengikuti perubahan dengan smooth, tanpa harus rugi besar,” katanya.
Sementara itu, untuk mendorong harga kendaraan listrik yang lebih terjangkau dan menarik bagi masyarakat, pemerintah pun akan memberi insentif dalam bentuk pembebasan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan listrik.
Skema Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2021 mengatur, ke depan, kendaraan BEV akan dikenakan PPnBM 0 persen. Sementara kendaraan lain seperti kendaraan hibrida akan dikenakan kenaikan PPnBM secara bertahap.
“Lewat skema ini, jelas terlihat keberpihakan pemerintah untuk segera mendorong perubahan kendaraan menuju arah elektrifikasi,” kata Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Sony Sulaksono.
Pemerintah menargetkan industri dalam negeri bisa memproduksi kendaraan listrik baterai (BEV) sendiri sebanyak 600.000 unit (roda empat) dan 2,45 juta unit (roda dua) pada tahun 2030. Produksi kendaraan listrik itu diharapkan mampu menurunkan kadar emisi karbon dioksida sebesar 2,7 juta ton (roda empat) dan 1,1 juta ton (roda dua).
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, sebagai pemantik, pemerintah akan menyerap produksi kendaraan listrik untuk penggunaan di instansi pemerintahan. Targetnya, pada 2030, pemerintah akan membeli 535.000 unit kendaraan listrik yang terdiri dari 135.000 unit kendaraan roda empat dan 400.000 unit kendaraan roda dua.