Industri Manufaktur Menjadi Kunci Pemulihan Ekonomi
Pemerintah akan memanfaatkan momentum ekspansi sektor manufaktur setelah terdampak pandemi Covid-19. Jika pertumbuhan pada sektor manufaktur bisa terjaga, pertumbuhan ekonomi nasional bisa optimal.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional yang sekaligus Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, sektor industri manufaktur menjadi kunci peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasalnya, sektor ini berkontribusi hampir 20 persen terhadap ekonomi nasional.
Industri manufaktur patut menjadi perhatian karena memiliki daya ungkit serta efek berganda terhadap ekonomi nasional. Pertumbuhan sektor manufaktur pada triwulan III-2021 tercatat lebih tinggi dari petumbuhan ekonomi nasional. Pada periode tersebut, sektor pengolahan tumbuh 3,68 persen, sementara pertumbuhan ekonomi berada di level 3,51 persen.
”Bila pertumbuhan sektor manufaktur bisa terjaga, pertumbuhan ekonomi nasional bisa berada di atas potensinya sekaligus pada waktu yang sama bisa ikut mendorong pertumbuhan di sektor-sektor lainnya,” kata Suharso dalam webinar peluncuran buku Kajian Manufaktur Indonesia yang disusun Bappenas bersama Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Rabu (17/11/2021).
Untuk mendorong industri manufaktur terus tumbuh, menurut Suharso, ada sejumlah tantangan yang harus diatasi. Tantangan tersebut adalah mengurangi impor bahan baku dan menggantinya dengan produk dalam negeri. Apabila itu berhasil direalisasikan, produk manufaktur Indonesia akan memiliki daya saing yang lebih tinggi.
Industri manufaktur patut menjadi perhatian karena memiliki daya ungkit serta efek berganda terhadap ekonomi nasional. Pertumbuhan sektor manufaktur pada triwulan III-2021 tercatat lebih tinggi dari petumbuhan ekonomi nasional.
Secara keseluruhan, lanjut Suharso, upaya untuk meningkatkan bahan baku lokal mesti ditindaklanjuti dengan upaya penguatan sektor hulu, baik dari segi kesiapan tenaga kerja, infrastruktur, logistik, maupun skema perdagangan internasional yang menguntungkan industri dalam negeri. Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diharapkan bisa mengatasi hambatan investasi akibat tumpang tindihnya regulasi.
Berdasarkan kajian Bappenas, total kebutuhan investasi tahun 2022 untuk mendorong diversifikasi produk manufaktur sebesar Rp 5.835,5 triliun-Rp 6.057,7 triliun. Kebutuhan ini bisa dipenuhi dari investasi pemerintah, BUMN, dan swasta.
Revitalisasi industri
Ekonom Senior ERIA Dionisius A Narjoko memaparkan, upaya revitalisasi industri manufaktur perlu memperhatikan aspek pengembangan, baik dari sisi penawaran maupun permintaan. Sisi penawaran berfokus pada peningkatan produktivitas, sedangkan sisi permintaan berfokus pada penciptaan pasar baru.
Untuk dapat meningkatakan produktivitas, kebijakan pemerintah perlu lebih mendorong dan mempromosikan penelitian dan pengembangan industri untuk menciptakan nilai tambah, serta mengembangkan tenaga kerja terampil untuk mempermudah proses adaptasi terhadap momentum revolusi industri.
Upaya untuk meningkatkan bahan baku lokal mesti ditindaklanjuti dengan upaya penguatan sektor hulu, baik dari segi kesiapan tenaga kerja, infrastruktur, logistik, dan skema perdagangan internasional yang menguntungkan industri dalam negeri.
”Di samping itu, peningkatan produktivitas juga memerlukan akses energi yang lebih terjangkau dan lebih berkelanjutan secara jangka panjang,” ujar Narjoko.
Sementara itu, untuk mengembangkan sisi permintaan, pemerintah perlu mendorong aktivitas manufaktur Indonesia agar mampu berpartisipasi dalam rantai nilai global. Caranya ialah menyubsidi biaya logistik serta mendorong aglomerasi industri menggunakan insentif fiskal.
”Aktivitas manufaktur di seluruh dunia telah bergerak ke arah penerapan jaringan rantai nilai global. Sayangnya, partisipasi Indonesia belum terhubung dengan baik ke jaringan produksi global,” kata Narjoko.
Selain itu, pengembangan aspek permintaan pada industri manufaktur juga bisa didorong pemerintah dengan memperluas fasilitas pembiayaan ekspor. Pasalnya, kegiatan ekspor cukup berisiko sehingga kerap menjadi faktor hambatan bagi lembaga keuangan konvensional dalam menyalurkan pembiayaan.
Dalam kesempatan yang sama, dosen dan peneliti Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran, Maman Setiawan, mengatakan, keterbatasan infrastruktur untuk riset serta pengembangan produk menjadi hambatan sektor swasta terhubung dalam rantai pasok global.
”Belajar dari pengalaman China. Pemerintah China memberikan dukungan perbaikan kualitas dan standardisasi internasional agar perusahaan domestik dapat semakin terlibat dalam perdagangan internasional,” ujarnya.