Batubara bisa diolah menjadi dimetil eter pengganti elpiji dan metanol. Strategi ini dinilai efektif untuk mengantisipasi turunnya permintaan batubara global.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proyek hilirisasi batubara di Indonesia harus dilakukan secara terencana dan terintegrasi. Gasifikasi batubara, yang menjadi program hilirisasi, menjadi dimetil eter dan metanol untuk mengantisipasi turunnya permintaan di masa mendatang seiring desakan penghapusan batubara sebagai sumber energi primer.
Permintaan batubara global diperkirakan turun hingga 25 persen pada 2035 dan 40 persen pada 2050. Masa kejayaan batubara sebagai sumber energi primer semakin berkurang karena tekanan gerakan lingkungan, seperti mempercepat penghentian operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Namun, program hilirisasi batubara tak mudah direalisasikan.
“Gasifikasi batubara, misalnya. Wacana hilirisasi sudah mengemuka sejak 2006, tetapi hingga 15 tahun kemudian tetap tidak berjalan lancar,” ujar praktisi pertambangan Irawan Poerwo dalam webinar “Strategi Hilirisasi Industri Metalurgi untuk Daya Saing Bangsa”, Jumat (12/11/2021).
Menurut Irawan, peluang penggunaan batubara di luar sumber energi primer memerlukan konsep yang terencana dan terintegrasi antara tambang dengan industri. Konsep ini harus melibatkan tambang-tambang berskala kecil.
“Konsumen gasifikasi batubara berada di Jawa. Ini pun harus diperhatikan saat pembuatan perencanaan karena berkaitan dengan pengangkutan dan efisiensi operasional produksi,” imbuhnya.
Masa kejayaan batubara sebagai sumber energi primer semakin berkurang karena tekanan gerakan lingkungan, seperti mempercepat penghentian operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Berdasar nilai kalori batubara Indonesia, menurut Ketua Kelompok Kerja Konservasi Mineral dan Batubara Donny P Simorangkir di acara yang sama, batubara Indonesia didominasi kalori menengah (59 persen) dan kalori rendah (31 persen). Batubara tersebut memiliki prospek yang baik untuk dijadikan bahan baku program hilirisasi.
Akan tetapi, produksi batubara nasional masih berorientasi ekspor. Batubara masih dipandang sebagai komoditas untuk menaikkan penerimaan negara. Padahal, harga batubara terbilang fluktuatif mengacu harga pasar global dan berpotensi membuat neraca perdagangan Indonesia negatif.
“Perlu optimalisasi nilai batubara (dalam program hilirisasi) dengan menyelaraskan industri di hulu sampai hilir sembari memperhatikan penggunaan tingkat komponen dalam negeri,” ucap Donny.
Tutup defisit
Di acara yang sama, pengajar pada Program Studi Teknik Metalurgi, Institut Teknologi Bandung, Nurulhuda Halim, mengatakan, program hilirisasi batubara di Indonesia berpotensi menutup defisit neraca perdagangan migas. Salah satu produk migas yang menyumbang defisit pada neraca perdagangan adalah impor elpiji, metanol, atau amonium sulfat.
Dengan hilirisasi batubara, seperti program gasifikasi, lanjut Nurulhuda, defisit tersebut bisa diatasi. Gasifikasi batubara menjadi dimetil eter mampu menggantikan peran elpiji. Apalagi, konsumsi elpiji di Indonesia terus naik dari tahun ke tahun dan sebagian besar diperoleh dari impor.
Akan tetapi, produksi batubara nasional masih berorientasi ekspor. Batubara masih dipandang sebagai komoditas untuk menaikkan penerimaan negara.
“Nilai impor bahan baku elpiji, yakni propana dan butana, mencapai 2,5 miliar dollar AS pada 2020. Dalam Grand Strategi Komoditas Mineral dan Batubara, dimetil eter ditargetkan menggantikan elpiji secara menyeluruh pada 2030 melalui gasifikasi batubara dan konversi menjadi metanol. Usulan kami, Indonesia harus mulai fokus ke program ini lewat percepatan operasi pabrik gasifikasi,” ujar Nurulhuda.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia berpendapat, sebelum menerapkan program hilirisasi, pemerintah mesti mengkaji betul dampak positif dan negatifnya. Pasalnya, tidak semua perusahaan pemegang izin usaha pertambangan batubara memiliki umur cadangan batubara yang panjang.
“Arah dari tren global saat ini adalah pengurangan emisi gas rumah kaca dan mendorong pemanfaatan energi bersih. Pemerintah Indonesia memiliki sejumlah komitmen, antara lain COP 26, RUPTL 2021-2030, dan pajak karbon. Apabila mau komitmen hilirisasi batubara, seperti gasifikasi, ini perlu kajian positif-minusnya,” ucap Hendra.
Pemerintah sudah menetapkan proyek gasifikasi batubara sebagai proyek strategis nasional. PT Bukit Asam Tbk, salah satu BUMN, yang pertama kali menginisiasi proyek tersebut dengan menggandeng sejumlah perusahaan, seperti Pertamina dan Air Products. Air Products adalah perusahaan pemilik teknologi gasifikasi asal Amerika Serikat. Bukit Asam menargetkan proyek ini beroperasi komersial pada 2024 dengan produksi 1,4 juta ton dimetil eter.
Untuk merangsang perusahaan tambang batubara melirik gasifikasi, pemerintah memberikan insentif royalti nol persen. Royalti nol persen diberikan terhadap volume batubara yang digunakan untuk gasifikasi. Adapun volume batubara yang tidak dipakai untuk proyek gasifikasi dikenai royalti sesuai ketentuan berlaku.