Investasi yang dilirik UEA, antara lain, hilirisasi batubara, industri kesehatan, infrastruktur, dan proyek pembangunan ibu kota negara baru. Komitmen itu harus diarahkan ke sektor yang berdampak ganda bagi perekonomian.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mengantongi komitmen investasi senilai 44,6 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 637 triliun dari Uni Emirat Arab yang targetnya akan direalisasikan bertahap. Pemerintah diharapkan bisa mengawal komitmen itu serta mengarahkannya ke sektor-sektor yang berdampak ganda bagi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Komitmen investasi itu merupakan hasil dari kunjungan pemerintah ke Uni Emirat Arab (UEA) dan pertemuan dengan sejumlah investor asal UEA di perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia COP 26 di Glasgow, Skotlandia.
Total nilai investasi yang dijanjikan adalah 44,6 miliar dollar AS atau sekitar Rp 637 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.300 per dollar AS. Dari jumlah itu, 18 miliar dollar AS atau Rp 256,9 triliun akan diinvestasikan ke Lembaga Pengelola Investasi, Indonesia Investment Authority (INA).
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan, rencana investasi itu bertahap untuk rentang 2021-2024. Pemerintah menargetkan setidaknya 8 miliar dollar AS atau Rp 114,19 triliun sudah dapat direalisasikan tahun depan. ”Tidak ada artinya kalau hanya komitmen, tapi tidak diimplementasikan. Kami rencanakan ini sampai tahun 2023 atau paling lambat 2024 semua sudah direalisasikan,” katanya, Jumat (11/11/2021).
Beberapa sektor yang dilirik investor asal UEA adalah hilirisasi tambang yang bernilai tambah. Misalnya, proyek hilirisasi batubara menjadi dimethyl ether (DME), metanol, dan produk olahan lainnya untuk menggantikan elpiji yang selama ini masih bergantung pada impor.
Komitmen investasi untuk proyek hilirisasi ini senilai 13 miliar-15 miliar dollar AS atau berkisar Rp 185 triliun-Rp 213 triliun dari Air Products and Chemicals Inc (APCI) serta akan bekerja sama dengan beberapa perusahaan swasta nasional dan badan usaha milik negara.
Selain itu, ada pula komitmen investasi di industri kesehatan untuk memproduksi obat Covid-19 dan obat-obatan lain serta investasi di sektor infrastruktur dalam bentuk pengembangan pelabuhan melalui kerja sama dengan PT Pelindo (Persero).
Ada juga rencana investasi itu diarahkan untuk pembangunan ibu kota negara baru. Dari total komitmen Rp 637 triliun itu, Rp 256,9 triliun diinvestasikan di INA. Sebanyak Rp 114,19 triliun atau 8 miliar dollar AS sudah jelas peruntukannya, sementara Rp 142,67 triliun atau 10 miliar dollar AS sisanya masih bersifat tentatif untuk dimasukkan ke proyek pembangunan ibu kota.
”Angkanya berapa belum disepakati, saat ini komunikasi masih berlangsung intens. Tetapi, dari total komitmen itu, yang mungkin masuk ke proyek ibu kota negara baru adalah 10 miliar dollar AS itu,” kata Bahlil.
Jemput bola
Untuk mengawal investasi dari UEA, Bahlil mengatakan pemerintah akan lebih proaktif dan menerapkan strategi ”jemput bola”. ”Pemerintah akan mendatangi dan seluruh perizinannya akan diurus. Urusan mereka (investor) tinggal membawa teknologi, modal, dan pasar. Kita tidak bisa lagi berpikir di belakang meja, sekarang polanya menjemput bola,” ujarnya.
Sampai September 2021, realisasi investasi di Indonesia mencapai 73,3 persen atau Rp 659,4 triliun dari target tahun 2021 senilai Rp 900 triliun. Pemerintah masih harus mengejar sisa target investasi senilai Rp 240,6 triliun lagi pada triwulan IV-2021 ini. Untuk 2022, pemerintah menargetkan realisasi investasi yang lebih ambisius, yakni Rp 1.200 triliun.
Menurut peneliti Center of Industry Trade and Investment di Institute for Development of Economics and Finance, Ahmad Heri Firdaus, ketertarikan UEA untuk berinvestasi didorong oleh transformasi ekonomi yang sedang dilalui negara itu. Sebelum ini, realisasi investasi dari UEA selalu minim. UEA hanya bercokol di urutan 20 besar investor di Indonesia.
Ke depan, UEA tidak akan mengandalkan minyak sebagai tumpuan utama ekonominya dan mulai mengembangkan sektor lain. ”Mereka memang sedang gencar menjajaki peluang investasi di sejumlah negara. Bukan hanya Indonesia, melainkan juga ke China dan Malaysia,” ujarnya.
Pemerintah diharapkan dapat mengawal dengan aktif komitmen investasi dari UEA. ”Kalau kita lengah, UEA bisa saja berbelok ke negara lain di ASEAN, sementara mereka tetap bisa berjualan di Indonesia sebagai pasar,” kata Heri.
Agar memberikan efek ganda pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, rencana investasi bernilai besar itu harus diarahkan ke sektor-sektor yang bernilai tambah dan bersifat padat karya.
”Ini tergantung bagaimana pemerintah mengarahkannya. Kita harus memastikan bahwa di satu sisi mereka untung dengan berinvestasi di sektor-sektor itu, di sisi lain, dampaknya bagi kita pun optimal. Kalau hanya berkutat di sektor jasa, tidak akan optimal,” katanya.
Koordinator Wakil Ketua Umum Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta W Kamdani mengatakan, minat investor UEA untuk berinvestasi di Indonesia memang sedang naik. Kunci untuk mengikat komitmen mereka adalah keaktifan pemerintah dalam menindaklanjuti.
Pemerintah perlu membuktikan berbagai aspek kemudahan berusaha yang selama ini gencar dipromosikan saat penjajakan investasi. Seiring dengan itu, pemerintah juga diharapkan sudah punya sejumlah proposal proyek yang prospektif dan siap untuk dijalankan.
Ia berharap ada konsistensi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di lapangan. ”Kalau kita proaktif menjemput bola, sigap menawarkan proyek yang investment ready, memastikan tidak ada bottleneck di lapangan, dan membuktikan janji kemudahan berusaha itu, kami cukup yakin komitmen investasi itu bisa terealisasi,” ujar Shinta.