Pungutan Pascaproduksi Perikanan Mulai Berlaku 2022
Pemerintah akan menerapkan pungutan hasil perikanan pascaproduksi mulai tahun depan. Mekanisme ini dianggap lebih adil ketimbang pungutan praproduksi.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan akan menerapkan pungutan hasil perikanan pascaproduksi untuk kapal perikanan tangkap mulai tahun 2022. Jenis penerimaan negara bukan pajak atau PNBP yang dipungut pascaproduksi itu akan menggantikan skema pungutan praproduksi yang hingga kini menuai polemik.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini menjelaskan, penarikan pungutan hasil perikanan pascaproduksi yang meliputi nilai produksi dan jumlah produksi dinilai lebih jelas dan lebih adil bagi pelaku usaha ketimbang PNBP praproduksi yang mengandung unsur perkiraan.
”Pungutan hasil perikanan pascaproduksi lebih jelas dan adil, sesuai jumlah ikan yang ditangkap, di mana didaratkan, dan harganya pada saat itu. Bisa terjadi, dalam satu hari nilai produksinya akan berbeda-beda karena harga ikan yang didaratkan bisa berbeda pada pagi dan sore hari,” kata Zaini dalam diskusi yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), membahas topik PNBP secara daring, Selasa (9/11/2021),
Pungutan hasil perikanan (PHP) diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sebagai tindak lanjut, KKP menerbitkan aturan turunan berupa Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen-KP) Nomor 97 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Ikan yang merupakan revisi Kepmen-KP No 86/2021 dan Kepmen-KP No 98 Tahun 2021 tentang Produktivitas yang merevisi Kepmen-KP No 97/2021.
Berdasarkan ketentuan itu, tarif PHP praproduksi saat ini berlaku untuk kategori kapal penangkapan ikan berukuran di atas 5 gros ton (GT) hingga 60 GT sebesar 5 persen, kapal di atas 60 GT-1.000 GT dikenai 10 persen, dan kapal di atas 1.000 GT sebesar 25 persen. Adapun tarif pascaproduksi ditetapkan untuk ukuuan kapal sampai dengan 60 GT sebesar 5 persen dan kapal di atas 60 GT sebesar 10 persen.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengemukakan, kontribusi sektor kelautan dan perikanan ke produk domestik bruto senilai Rp 450 triliun. Namun, PNBP yang diterima negara hanya Rp 600 miliar pada 2020. KKP telah menargetkan PNBP perikanan tangkap tahun ini meningkat menjadi Rp 960 miliar dan pada 2024 diharapkan mencapai Rp 12 triliun.
Menurut Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Kurnia Chairi, hingga awal November 2021, realisasi PNBP perikanan tangkap tercatat baru Rp 450 miliar dari target tahun Rp 960 miliar tersebut.
Sebanyak 80 persen dari PNBP akan dialokasikan ke pemerintah daerah, dan 20 persen menjadi penerimaan pusat. Dari porsi pemerintah pusat itu, sebanyak 58 persen dikembalikan ke nelayan berupa pemenuhan sarana prasarana dan kegiatan sektor perikanan.
”Kontribusi sektor perikanan terhadap produk domestik bruto perlu dioptimalkan. PDB perikanan cukup besar, tetapi PNBP masih cukup rendah,” kata Kurnia.
Wakil Ketua Komite Perikanan Apindo Hendra Sugandhi mengemukakan, pemberlakuan PHP pascaproduksi berpotensi membebani pelaku usaha kapal perikanan skala kecil. Hal ini karena dalam ketentuan PP No 85/2021 tidak diatur batas bawah ukuran kapal yang dikenai PHP pascaproduksi. Pungutan 5 persen diberlakukan bagi kapal penangkapan ikan sampai dengan ukuran 60 gros ton. ”(Aturan) ini memicu multitafsir bahwa kapal di bawah 5 GT juga wajib membayar PNBP,” katanya.
Sistem kontrak
Selain penerapan PNBP pascaproduksi, pemerintah juga bertahap memberlakukan sistem kontrak penangkapan ikan. Konsep penangkapan terukur yang berbasis kuota itu akan diterapkan pada seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI mulai tahun 2022. Sistem kontrak dinilai lebih memberikan kepastian berusaha.
”Sistem kontrak masih dalam kajian dan akan dilakukan uji coba dalam waktu dekat. Dalam sistem kontrak, berlaku ikatan antara pemerintah dan pelaku usaha sehingga memberikan kepastian investasi yang mengikat dua pihak,” kata Zaini.
Secara terpisah, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Ari Purbayanto berpendapat, sistem kontrak perikanan hanya efektif dilakukan jika ditopang oleh infrastruktur, sistem pengawasan, pendataan, dan observer perikanan yang memadai. Apabila sarana pendukung belum memadai, pembukaan sistem kontrak dikhawatirkan memicu pelanggaran.
Pemberian konsesi penangkapan ikan untuk industri perikanan hingga 10-20 tahun wajib ditopang oleh pengawasan sumber daya manusia, kesiapan teknologi, dan kepatuhan terhadap pelaporan hasil tangkapan. Persoalannya, pendataan dan pelaporan hasil tangkapan masih belum optimal sehingga dapat terjadi penyalahgunaan konsesi dan penangkapan berlebih.
”Selama sarana pendukung belum memadai, sistem bagi hasil lebih aman dibandingkan sistem kontrak. Ini berbahaya,” katanya.