Pungutan hasil perikanan untuk kapal perikanan tangkap yang semula meningkat hingga 500 persen dikoreksi menjadi maksimal 114 persen. Koreksi itu mengakomodasi data dari pelaku usaha yang dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP mengoreksi harga patokan ikan, produktivitas, dan komposisi hasil tangkapan ikan yang menjadi komponen tarif pungutan hasil perikanan. Dengan demikian, pungutan hasil perikanan untuk kapal perikanan tangkap yang semula meningkat hingga 500 persen dikoreksi menjadi maksimal 114 persen.
Pungutan hasil perikanan (PHP) diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ketentuan ini menggantikan PP No 75/2015. Penetapan tarif PHP per gros ton (GT) kapal dihitung berdasarkan produktivitas kapal, harga patokan ikan, dan ukuran kapal.
Adapun komponen harga patokan ikan diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri No 86/2021 tentang Harga Patokan Ikan untuk Penghitungan Pungutan Hasil Perikanan, sedangkan produktivitas diatur dalam Keputusan Menteri No 87/2021 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan. Tarif baru PHP itu berlaku untuk kategori kapal berukuran di atas 5 GT yang memperoleh izin dari pemerintah pusat.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini mengemukakan, revisi atas pungutan hasil perikanan sudah mengakomodasi masukan para pelaku usaha. Dalam rancangan perubahan itu, kenaikan PHP yang semula mencapai 500 persen diturunkan menjadi maksimal 114 persen, setelah mengkaji ulang seluruh komponen, termasuk perubahan harga patokan ikan (HPI) dan produktivitas kapal.
”Seluruhnya (masukan) sudah diakomodasi. Hampir seluruh tarif pungutan sudah diturunkan dan diharapkan mulai berlaku pekan depan,” kata Zaini, saat dihubungi, Kamis (14/10/2021), di Jakarta.
Dalam rancangan perubahan itu, kenaikan PHP yang semula mencapai 500 persen diturunkan menjadi maksimal 114 persen, setelah mengkaji ulang seluruh komponen, termasuk perubahan harga patokan ikan (HPI) dan produktivitas kapal.
Zaini mengemukakan, penetapan PHP hanya berlaku untuk kapal ikan yang mendapat izin dari pemerintah pusat, yakni kapal yang beroperasi lebih dari 12 mil. Pungutan itu tidak berlaku untuk kapal penangkapan ikan yang izinnya diterbitkan pemerintah daerah. Hingga saat ini, terdata hampir 200 kapal yang sedang memperpanjang izin dengan mengacu tarif baru PHP.
Direktur Perizinan dan Kenelayanan KKP Ridwan Mulyana menambahkan, kajian data HPI bersumber dari 124 pelabuhan perikanan di 34 provinsi dengan mengacu pada harga di tingkat produsen (nelayan). Koreksi terhadap harga patokan ikan, produktivitas, dan komposisi hasil tangkapan telah mengakomodasi data dari pelaku usaha yang dapat dipertanggungjawabkan. Harga patokan akan dievaluasi setiap tahun.
”Hampir 80 persen HPI terkoreksi turun. Komponen HPI dan produktivitas kapal hanya berlaku untuk pungutan PNBP praproduksi, tetapi tidak berlaku untuk PNBP pascaproduksi. Mulai tahun 2023, penerapan pungutan PNBP akan beralih ke pascaproduksi,” ucap Ridwan.
Penyesuaian HPI, menurut Ridwan, telah sesuai rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan, mengingat harga terakhir ditetapkan pada 2011 oleh Kementerian Perdagangan. Harga patokan 10 tahun lalu itu dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. ”Akan jadi masalah kalau kita menetapkan HPI dengan harga yang tidak relevan dan riil,” katanya.
Wakil Ketua Umum Bidang Kelautan dan Perikanan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kabupaten Pati Subaskoro mengemukakan, meski HPI telah diturunkan, sebagian komponen produktivitas ikan hasil tangkapan justru lebih tinggi sehingga penurunan tarif PHP masih belum sesuai dengan harapan pelaku usaha.
Koreksi terhadap harga patokan ikan, produktivitas, dan komposisi hasil tangkapan telah mengakomodasi data dari pelaku usaha yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ketua Bidang Pengembangan Usaha Perikanan dan Investasi Dewan Pengurus Pusat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Wanto Asnim menambahkan, pihaknya akan mempelajari perubahan komponen produktivitas dan HPI dalam revisi tersebut. ”Kami akan pelajari dan berkoordinasi dengan HNSI di seluruh daerah, apakah (revisi) ini masih memberatkan atau tidak,” katanya.
Wanto juga menyoroti kerancuan regulasi PNBP perikanan tangkap yang mencantumkan pungutan hasil perikanan itu berlaku untuk kapal ikan berukuran di atas 5 GT. Namun, tidak dicantumkan bahwa kapal-kapal berukuran 5-30 GT yang izinnya bukan dari pemerintah pusat tidak dikenakan PNBP.
Ketua II Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) Dwi Agus Siswa Putra menilai, PP No 85/2021 membuka peluang lebih luas terhadap usaha kapal berukuran 60-1.000 GT. Meski demikian, akan muncul persoalan dalam penghitungan produktivitas, di mana semakin banyak kapal, maka sulit terjadi peningkatan produksi ikan. Di sisi lain, ia menilai penerapan PP No 75/2015 selama ini terbukti mampu mendorong peningkatan PNBP signifikan meski kapal-kapal ikan yang beroperasi itu diluar kapal eks asing.