Sempat menuai polemik, rencana impor 1 juta ton beras ditunda dan akhirnya dibatalkan di tengah keyakinan produksi cukup baik tahun ini. Namun, situasi yang dihadapi petani tak benar-benar baik karena harga tak optimal.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Produksi beras nasional tahun 2021, sesuai data yang dirilis Badan Pusat Statistik, cukup menggembirakan. Sebab, meski luas panen padi turun 141.950 hektar dari 10,66 juta hektar tahun lalu menjadi 10,52 juta hektar tahun ini, produksi beras justru berpotensi naik, yakni dari 31,33 juta ton menjadi 31,69 juta ton.
Kenaikan itu, antara lain, ditopang oleh produktivitas lahan yang cenderung naik karena hujan yang cukup melimpah sepanjang tahun ini. Selain fenomena La Nina yang membuat kebutuhan pengairan tercukupi, serangan hama tanaman relatif tidak ganas sehingga tidak signifikan mengganggu produksi tahun ini.
Situasi itu memupus kekhawatiran pemerintah yang sebelumnya berencana mengimpor 1 juta ton beras pada 2021. Sebanyak 500.000 ton di antaranya akan dialokasikan untuk cadangan beras pemerintah (CBP) dan sisanya untuk kebutuhan Perum Bulog. Dengan demikian, pemerintah bisa mengantongi setidaknya 1-1,5 juta ton cadangan beras (iron stock) dan cukup berwibawa untuk mengintervensi pasar.
Rencana impor yang ”bocor” saat rapat kerja Kementerian Perdagangan 2021, Kamis (4/3/2021), itu segera menyulut reaksi publik. Kalangan petani menyesalkannya karena rencana impor tersiar di tengah puncak panen tahun ini. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), luas panen dan produksi padi nasional tahun 2021 mencapai puncaknya pada Maret, yakni dengan 1,79 juta hektar dan produksi 9,67 juta ton gabah kering giling (GKG).
Wacana impor pun riuh di ruang publik. Penolakan datang dari sejumlah kalangan. Tak hanya petani, protes juga datang dari sejumlah akademisi, organisasi kemasyarakatan, dan kepala daerah. Impor diyakini bakal menekan harga gabah dan kesejahteraan petani. Presiden Joko Widodo akhirnya ”turun tangan”, Jumat (26/3/2021), dengan memastikan tidak akan mengimpor beras setidaknya hingga Juni 2021. Presiden meminta perdebatan soal impor diakhiri karena merugikan petani.
Tiga bulan kemudian, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memastikan pemerintah tidak akan mengimpor beras tahun ini. Sebab, BPS memperkirakan produksi beras tahun 2021 akan lebih tinggi dibandingkan dengan 2020, sementara stok beras nasional diyakini akan mencukupi kebutuhan.
Petani tertekan
Terlepas dari kepastian itu, polemik impor semestinya bisa dihindari jika keputusan diambil dengan pertimbangan yang kokoh. Jika menilik data produksi beberapa tahun terakhir, keputusan impor 1 juta ton semestinya tidak perlu ada, apalagi sampai menguras energi untuk berpolemik di ruang publik. Sebab, produksi beras mencapai 33,9 juta ton tahun 2018, lalu 31,31 juta ton pada 2019, dan 31,33 juta ton tahun 2020, selalu di atas kebutuhan nasional yang rata-rata 29 juta ton per tahun.
Situasi harga juga tidak mencerminkan kekurangan pasokan sehingga mendesak kebutuhan impor. Apalagi, ada anomali yang terjadi hampir dua tahun ini, yakni kasus harga gabah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP). BPS mencatat, kasus harga gabah di bawah HPP terjadi 19 bulan berturut-turut hingga Oktober 2021, situasi yang jarang terjadi sebelumnya. Hal itu mengindikasikan ketidakseimbangan pasar sekaligus tertekannya kesejahteraan petani padi.
Data nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan menguatkan hal itu. Dengan NTP yang ”konsisten” di bawah 100, sejak Februari 2021 hingga Oktober 2021, petani tanaman pangan jelas merugi dan kesejahteraannya turun. Sebab, ongkos yang harus dibayarkan lebih tinggi ketimbang harga yang mereka terima.
Kepastian batalnya impor beras tahun ini tentu positif bagi petani. Setidaknya, harga jual hasil panennya tidak tertekan lebih dalam. Namun, di luar impor yang batal itu ada problem yang mendesak diselesaikan bersama, yakni soal harga jual dan kesejahteraan petani yang tertekan. Kasus harga gabah di bawah HPP sepanjang 19 bulan berturut-turut dan NTP di bawah titik impas sepanjang 10 bulan berturut-turut adalah alarm yang tidak bisa dianggap remeh.
Setelah memastikan produksi cukup, pemerintah punya pekerjaan rumah yang tak kalah penting, yakni menjamin usaha petani menghasilkan keuntungan. Sebab, tanpa keuntungan yang memadai, usaha tani dipastikan tidak akan langgeng. Jika hal itu terjadi, ketahanan pangan kita ke depan bakal semakin rapuh. Usaha menyejahterakan petani sejatinya merupakan ikhtiar membangun kemandirian pangan di masa depan.