Infrastruktur ”BI-Fast” Terbuka bagi Perbankan dan Nonperbankan
Bank Indonesia akan segera mengimplementasikan infrastruktur sistem pembayaran ritel "BI-Fast". Bank Indonesia mengundang perusahaan sistem pembayaran baik bank maupun nonbank untuk berpartisipasi.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia menegaskan, infrastruktur sistem pembayaran BI-Fast terbuka digunakan perbankan dan nonperbankan, seperti perusahaan teknologi finansial bidang pembayaran. Fasilitas infrastruktur ini sudah dipersiapkan untuk memproses 2.000 transaksi per detik atau mencapai sekitar 30 juta transaksi per hari secara real time.
BI-Fast merupakan infrastruktur sistem pembayaran yang dapat memfasilitasi pembayaran ritel menggunakan berbagai instrumen dan kanal pembayaran, seperti ATM dan internet banking, yang dapat dilakukan secara real time dalam kurun waktu 24 jam/7 hari. Sebelumnya, sistem backend untuk memproses atau memfasilitasi pembayaran menggunakan Sistem Kliring Nasional Indonesia (SKNI) dan real time gross settlement (RTGS).
Untuk menjadi peserta BI-Fast, perusahaan sistem pembayaran bank ataupun nonbank wajib memenuhi kriteria umum, seperti aspek kelembagaan, kinerja keuangan, dan kapabilitas. Calon peserta juga harus memenuhi kriteria khusus, seperti kemampuan permodalan dan likuiditas.
Direktur Eksekutif Kepala Departement Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Bambang Kusmiarso dalam konferensi pers, Rabu (3/11/2021), di Jakarta, mengatakan, BI telah menetapkan 22 calon peserta pemakai infrastruktur BI-Fast angkatan pertama yang akan on boarding pada Desember 2021. Semua calon peserta itu berlatar belakang perbankan. Sebagai contoh, Bank Tabungan Negara, Bank Mandiri, dan Bank Central Asia.
Kemudian, BI juga telah menetapkan 22 peserta lagi yang akan on boarding memakai BI-Fast pada Januari 2022. Peserta tersebut terdiri dari 21 perusahaan perbankan serta satu lembaga penyedia layanan jasa kustodian dan penyelesaian transaksi efek.
”BI-Fast bersifat non-mandatory. Meski demikian, kami sudah banyak berkomunikasi dengan perbankan dan setelah angkatan pertama yang akan on-boarding Desember 2021, ternyata banyak perusahaan sistem pembayaran yang berminat,” ujar Bambang.
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Filianingsih Hendarta, menjelaskan, salah satu kelebihan lain infrastruktur BI-Fast dibanding pendahulunya adalah kecepatan penyelesaian transaksi. Dia mengklaim, proses penyelesaian transaksi melalui BI-Fast hanya 25 detik. Artinya, apabila seorang nasabah mengirim uang memakai infrastruktur BI-Fast, dalam 25 detik uang tersebut sudah diterima pihak lain.
”Dengan menggunakan infrastruktur BI-Fast, sudah pasti akan ada kenaikan transaksi. Kalau tidak ikut memakai infrastruktur BI-Fast, perusahaan sistem pembayaran tidak bisa menikmati kecepatan penyelesaian transaksi,” katanya. Meski sudah ada BI-Fast, infrastruktur SKNI ataupun RTGS tetap masih akan ada.
Mengenai kebijakan skema harga BI-Fast, Filianingsih menyebutkan ada enam prinsip penetapan, antara lain menjaga keberlangsungan pelaku industri sistem pembayaran, mendorong kompetisi, serta mengedepankan transparansi. Dari penyelenggara (BI) ke peserta (perusahaan penyelenggara sistem pembayaran), skema harganya Rp 19 per transaksi. Sementara skema harga dari peserta (perusahaan penyelenggara sistem pembayaran) ke nasabah maksimal Rp 2.500 per transaksi. Dengan demikian, apabila perusahaan penyelenggara sistem pembayaran mau menggratiskan ataupun menetapkan biaya transaksi lebih rendah dari Rp 2.500, BI memperbolehkan. Mengenai strategi implementasi BI-Fast, BI akan menerapkan batas maksimal nominal transaksi dilakukan secara bertahap, yakni mulai dari Rp 250 juta per transaksi.
Kelebihan infrastruktur BI-Fast dibanding pendahulunya yaitu adanya fitur proxy address, notifikasi, dan fraud detection system. Proxy address pada BI-Fast digunakan sebagai alias untuk nomor rekening penerima sehingga memudahkan nasabah dalam bertransaksi karena cukup menyebutkan nomor ponsel atau surel. Kepala Departemen Pengelolaan Sistem BI Endang Trianti menjelaskan, terkait keamanan siber, BI telah membangunnya mulai dari bank ke bank hingga bank ke nasabah.
”Ada proaktif manajemen risiko,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) Santoso Liem saat dihubungi secara terpisah, mengatakan, Indonesia membutuhkan peningkatan kualitas layanan sistem pembayaran dan terhubung dengan ekosistem di internasional. Adanya infrastruktur BI-Fast juga menjawab tren transaksi yang serba digital.
Dia menilai infrastruktur BI-Fast sebagai sebuah transformasi sehingga sudah tepat jika BI menerapkannya bertahap, seperti nominal transaksi dan diperuntukkan untuk pembayaran ritel. Dari sisi kepesertaan, implementasi pemakaian infrastruktur BI-Fast membutuhkan investasi dari setiap perusahaan sistem penyelenggara sistem pembayaran. Oleh karena itu, ASPI memahami jika on-boarding BI-Fast pada tahap awal didominasi oleh bank besar.
”Bank telah biasa dengan penilaian risiko operasi dan finansial yang butuh persyaratan kapital secara terstandar. Di industri teknologi finansial kemungkinan juga ada, tetapi mekanismenya beda. Ke depan, pasti banyak perusahaan teknologi finansial berpartisipasi di infrastruktur BI-Fast,” ujar Santoso.