Usaha Pengguna QRIS Meningkat Drastis di Sulut, tetapi Transaksi Rendah
Jumlah unit usaha di Sulawesi Utara yang menggunakan kode respons cepat standar Indonesia atau QRIS meningkat pesat sepanjang 2021. Namun, beberapa pengusaha mengeluhkan rendahnya transaksi dengan QRIS.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Jumlah unit usaha di Sulawesi Utara yang menggunakan kode respons cepat standar Indonesia atau QRIS sebagai salah satu metode pembayaran meningkat pesat sepanjang 2021. Namun, beberapa pengusaha mengeluhkan masih rendahnya transaksi dengan QRIS.
Dihubungi dari Manado, Rabu (3/11/2021), Asisten Manajer Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Sulut Nanda Perdana, yang membidangi sistem pembayaran, mengatakan, pada akhir Oktober sudah ada 111.438 unit usaha yang menyediakan QRIS sebagai salah satu metode pembayaran. Angka ini juga mencakup institusi penghimpun derma sosial, termasuk rumah-rumah ibadah.
Terjadi peningkatan sebesar 166,57 persen dibandingkan keadaan per 1 Januari 2021. Kala itu, hanya 41.803 unit usaha yang menggunakan QRIS. Jumlah itu sudah jauh melampaui target yang ditetapkan BI Sulut pada awal 2021, yaitu mendigitalkan 86.800 unit usaha hingga 31 Desember 2021.
QRIS paling banyak dipakai di Manado dengan sebaran di 46.200 unit usaha, disusul dengan Minahasa di kisaran 10.300. Adapun Bolaang Mongondow Timur dan Bolaang Mongondow Selatan menjadi daerah yang paling sulit menerima metode pembayaran itu karena jumlah penggunanya belum menyentuh angka 1.000.
Menurut Nanda, kelompok terbesar pengguna QRIS adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), mengingat jumlahnya mencapai 292.122 unit pada awal 2021. ”Selain itu, nilai transaksi mereka juga cenderung kecil sehingga lebih mudah menggunakan QRIS,” katanya.
Capaian dalam upaya mendigitalkan transaksi sehari-hari masyarakat Sulut ini, kata Nanda, dimungkinkan berkat koordinasi dengan penyelenggara sistem jasa pembayaran (PJSP) dompet elektronik, baik perbankan maupun nonbank, serta pemerintah daerah. Hal ini memungkinkan BI menjangkau calon-calon pengguna QRIS, seperti UMKM binaan bank ataupun yang bermitra dengan ojek daring.
”Kami juga menggandeng Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) sehingga QRIS bisa dipakai di toko-toko ritel besar. Kami juga bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan untuk meng-QRIS-kan pasar. Di Manado sudah ada Pasar Bersehati dan Pasar Segar. Selanjutnya kami menyasar Pasar Tanawangko di Minahasa,” ujar Nanda.
Upaya ini diiringi sosialisasi kepada para pedagang mengenai fleksibilitas QRIS yang dapat menerima pembayaran dari dompet elektronik mana pun. Di samping itu, QRIS dapat membantu pelaku usaha menjaga catatan keuangan. Transaksi juga lebih cepat.
Kafe Nuseum of Tanta Mien di Manado adalah salah satu yang merasakan keuntungan dari pemakaian QRIS yang mulai populer di kalangan pelanggannya yang mayoritas pemuda. Reza (26), penanggung jawab kafe itu, mengatakan, nilai transaksi QRIS dalam sehari bisa mencapai Rp 700.000. Jumlah itu hampir setara dengan transaksi tunai dan debit. ”Ini memudahkan sekali. Kalau kafe sedang ramai, bayar jadi lebih cepat,” katanya.
Kendati begitu, tak sedikit pula yang belum mengetahui hanya diperlukan satu NMID (national merchant identification) untuk segala dompet elektronik. Selain ketidaktahuan, jarangnya pelanggan yang ingin membayar menggunakan QRIS tersebut menyebabkan para pelaku usaha merasa asing dengan metode pembayaran tersebut.
Petugas dari bank selalu bilang (QRIS) mesti dipajang. Tetapi, buat apa? Tidak pernah ada yang bayar pakai itu.
Toko oleh-oleh Miens Souvenir adalah contohnya. Rocky, kepala bagian administrasi toko oleh-oleh itu, baru mengetahui bahwa QRIS terbitan BNI yang ada di kasir bisa menerima pembayaran dari GoPay. Karena belum yakin, ia memotret tanda keberhasilan pembayaran di ponsel salah seorang pelanggan yang menggunakan GoPay.
”Kami belum terlalu tahu karena di sini hampir tidak ada pelanggan yang bayar pakai QRIS. Paling banyak pakai debit karena nilai transaksinya besar, sampai jutaan rupiah,” kata Rocky.
Karena jarang mendapat pelanggan yang menggunakan QRIS, Apotek MyLife Farma di Manado bahkan sudah tak lagi memakai QRIS terbitan salah satu bank swasta yang telah dimiliki. Ledy (32), asisten apoteker di sana, menyatakan alasan yang serupa dengan Rocky.
Sementara itu, Rina Ulyas (36), pedagang pakaian di Pasar Segar Manado, bahkan sudah memiliki tiga kode QRIS, masing-masing dari Bank Mandiri, BRI, dan LinkAja. Namun, tak ada satu pun yang pernah terpakai, termasuk LinkAja yang baru ia dapat Februari lalu pada hari peluncuran digitalisasi pasar modern tersebut oleh BI Sulut. Kini, ia hanya menyimpan ketiganya di dalam laci.
”Petugas dari bank selalu bilang (QRIS) mesti dipajang. Tetapi, buat apa? Tidak pernah ada yang bayar pakai itu. Jadi, saya tidak tahu cara kerjanya bagaimana, malah kelihatannya ribet. Lagipula, lebih nyaman pakai tunai biasa. Uangnya bisa langsung dipakai beli kebutuhan dagang,” kata Rina.
Nanda mengakui, proses sosialisasi belum sepenuhnya berhasil. Sementara itu, adanya satu pedagang yang memiliki lebih dari satu QRIS disebabkan, salah satunya, oleh upaya bank-bank menerbitkan QRIS sebanyak mungkin dengan menyasar para pedagang yang menjadi nasabahnya.
Karena itu, BI akan terus bekerja sama dengan PJSP untuk terus berupaya memasyarakatkan pemahaman yang lebih baik soal QRIS. ”Perbankan juga bisa lebih banyak menyasar daerah-daerah yang penggunaan QRIS-nya masih rendah, seperti Bolaang Mongondow Timur dan Selatan,” kata Nanda.
Sosialisasi dan edukasi dipercaya dapat mendorong volume transaksi QRIS di Sulut seiring dengan peningkatan jumlah penggunanya. Untuk sementara, data total transaksi dengan QRIS di Sulut masih belum dapat dirilis.