Impor Sultra Capai Nilai Tertinggi, Batubara Mendominasi
Impor Sultra mencapai titik tertinggi pada September 2021, yang mencapai Rp 5,3 triliun. Selain angka yang tinggi, dominannya impor bahan mineral utamanya batubara bitumen menjadi pertanyaan banyak pihak.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Nilai impor Sulawesi Tenggara pada September 2021 menyentuh angka tertinggi dalam tiga tahun, yaitu 384 juta dollar AS atau sekitar Rp 5,3 triliun. Impor didominasi bahan baku penolong, khususnya batubara berkalori khusus, yang mencapai setengah dari nilai impor tersebut. Tingginya impor batubara dipertanyakan di tengah masih banyaknya produksi dalam negeri.
Dalam rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Sultra pada Senin (1/11/2021), total impor mencapai 384 juta dollar AS. Nilai ini merupakan yang tertinggi di 2021, bahkan selama tiga tahun terakhir. Volume impor juga tinggi, yaitu mencapai 1.438 juta kilogram.
Nilai impor ini bahkan lebih tinggi dibanding ekspor di periode yang sama. Pada September 2021, nilai ekspor sebanyak 347 juta dollar AS, di mana 99 persen di antaranya berasal dari industri pengolahan. Neraca perdagangan Sultra mengalami defisit 36 juta dollar AS seiring tingginya impor.
”Impor mengalami kenaikan sebanyak 248 persen jika dibandingkan bulan sebelumnya atau 238 persen jika dibandingkan periode yang sama pada 2020 lalu,” kata Kepala BPS Sultra Agnes Widiastuti, dalam rilis virtual, Senin siang.
Impor yang masuk ke Sultra, tutur Agnes, sebagian besar adalah bahan baku penolong, yaitu senilai 369 juta dollar AS atau lebih dari 96 persen dari total impor. Nilai bahan baku penolong ini tumbuh hampir tiga kali lipat dibanding bulan sebelumnya. Sekitar empat persen produk impor adalah barang modal dan bahan makanan.
Akan tetapi, berdasarkan data BPS, dari impor bahan baku penolong ini, sebagian adalah bahan bakar mineral, seperti batubara bitumen. Impor bahan ini mencapai 186 juta dollar AS, disusul besi dan baja sebanyak 149 juta dollar AS. Selebihnya adalah mesin-mesin, belerang, kapur, dan berbagai produk kimiawi.
”Pangsa impor utama yaitu Australia, Afrika Selatan, dan Tiongkok. Ketiga negara ini mendominasi sebanyak 92,21 persen pangsa impor Sultra,” kata Agnes.
Tingginya impor pada September 2021, menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari Syamsu Anam, menunjukkan semakin kuatnya industri pengolahan di wilayah ini. Pengolahan mineral, khususnya smelter (peleburan) nikel yang sebagian telah beroperasi, terus berkembang dari waktu ke waktu.
Industri ini, tutur Syamsu, membutuhkan bahan penolong untuk pengolahan biji nikel menjadi barang setengah jadi. Tingginya impor bahan baku tersebut seperti menunjukkan persiapan besar yang akan dilakukan perusahaan ke depannya.
”Tapi, yang mengejutkan, kenapa bahan baku mineral seperti batubara harus diimpor juga? Kita punya banyak batubara dengan kualitas bagus. Meski harus diolah lagi untuk digunakan di smelter, bukan jawaban sampai harus melakukan impor,” katanya.
Sebagian tungku smelter di wilayah ini memang membutuhkan batubara berkalori tinggi untuk menciptakan panas. Sayangnya, batubara yang digunakan bukan produk dalam negeri, sehingga tidak menambah perputaran modal dalam negeri.
Jadi, kondisi ekspor-impor kita yang terlalu bertumpu pada industri pengolahan tidak akan berdampak banyak pada masyarakat luas.
”Seharusnya dengan kerja pengolahan yang tinggi, bahan baku didukung dengan produk lokal. Ini ada yang belum terhubung dari hulu ke hilirnya, dan pemerintah harusnya mencari jalan untuk pemanfaatan produk dalam negeri,” ujar Syamsu.
Tingginya impor bahan baku penolong ini, kata dia, tentu tidak tiba-tiba dan ada perencanaan kerja yang lebih besar ke depannya. Hal itu menunjukkan potensi mineral di wilayah ini akan terus dikembangkan.
Sayangnya, selama beberapa tahun terakhir, pengolahan nikel yang menjadi andalan Sultra belum memiliki industri turunan. Barang setengah jadi dari smelter pengolahan nikel tetap dikirim ke luar negeri untuk diolah menjadi berbagai produk. Produk tersebut nantinya diimpor kembali untuk dimanfaatkan di dalam negeri.
”Jadi, kondisi ekspor-impor kita yang terlalu bertumpu pada industri pengolahan tidak akan berdampak banyak pada masyarakat luas. Selain industri turunan yang dikerjakan tenaga kerja lokal, perlu juga diperkuat industri utama di wilayah ini, khususnya pertanian dan perikanan. Dua hal ini menjadi tulang punggung ekonomi bagi 2,7 juta masyarakat di Sultra,” jelas Syamsu.
Dalam lima tahun terakhir, struktur ekspor Sultra terus mengalami pemusatan pada produk industri pengolahan dan didominasi oleh produk besi dan baja. Sementara itu, produk pertanian perikanan konsisten mengalami penurunan.
Meski begitu, tingginya ekspor Sultra dari pengolahan nikel menyimpan kerawanan tinggi. Sebab, ekspor hanya didominasi hasil industri nikel. Tidak hanya itu, impor juga menjadi tinggi guna memenuhi kebutuhan bahan baku penolong untuk produksi nikel.
Jika terjadi guncangan ekonomi, perekonomian Sultra akan terdampak. Hal itu berimplikasi terhadap penggunaan input di Sultra, baik itu tenaga kerja, barang dan jasa pendukung, maupun penerimaan daerah. Sementara, penerimaan asli daerah dari sektor pertambangan terbilang kecil, sekitar Rp 93 miliar pada 2018.
Di Sultra, terdapat sejumlah perusahaan pengolahan nikel skala besar. Selain PT Antam yang merupakan badan usaha milik negara di Kabupaten Kolaka, terdapat dua perusahaan lain yang memiliki produksi nikel setengah jadi dalam kapasitas besar, yaitu PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Kabupaten Konawe.
PT VDNI berdiri sejak 2014 merupakan anak usaha De Long Nickel Co Ltd yang berasal dari Jiangsu, China. Perusahaan ini berinvestasi puluhan triliun rupiah untuk membangun fasilitas smelter berteknologi modern. Kapasitas produksinya 600.000-800.000 ton nickel pig iron per tahun. Hingga akhir 2018, PT VDNI telah berkontribusi 142,2 juta dollar AS terhadap ekspor Indonesia.
Sementara itu, induk PT OSS adalah Hongkong Xiangyu Hansheng Co. Ltd. dan Singapore Xiangyu Hansheng Pte. Ltd. Perusahaan ini berdiri sejak 2016 di area seluas 398 hektar dengan nilai investasi 2 miliar dollar AS. Sejak 2018, perusahaan ini telah mengajukan izin prinsip untuk membangun fasilitas produksi baja nirkarat 400.000 ton, steel lab 800.000 ton, dan feronikel 800.000 ton.