Ekspor Feronikel Sultra Tembus Rekor, Kerawanan Ekonomi Membayangi
Pada November 2020, ekspor Sultra mencatatkan rekor tertinggi. Sebanyak 99 persen di antaranya disumbang ekspor feronikel yang mencapai Rp 5,7 triliun. Namun, di balik rekor ini, kerawanan ekonomi membayangi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Ekspor komoditas besi dan baja dari Sulawesi Tenggara, khususnya feronikel, menembus nilai tertinggi pada November lalu, yakni 406 juta dollar AS atau lebih dari Rp 5,7 triliun. Ini merupakan nilai tertinggi selama tiga tahun terakhir. Meski demikian, dominannya ekspor olahan nikel ini dikhawatirkan berdampak buruk saat terjadi guncangan ekonomi.
Nilai ekspor besi dan baja, terutama feronikel, ini mencapai 99,11 persen dari total nilai ekspor Sultra pada November 2020 yang sebesar 409,97 juta dollar AS. Surianti Toar, Koordinator Fungsi Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Sultra, menyampaikan, nilai total ekspor pada November merupakan capaian tertinggi selama 2020. Bahkan, ini juga merupakan angka tertinggi selama tiga tahun terakhir.
Menurut Surianti, total nilai ekspor pada November 2020 itu meningkat 39,17 persen dibandingkan Oktober 2020 yang hanya 294,59 juta dollar AS. Sementara itu, dibandingkan November 2019 yang hanya 121,78 juta dollar AS, lonjakannya 236,65 persen.
”Jika melihat volume ekspor, memang mengalami peningkatan selama beberapa bulan terakhir. Di November, volumenya mencapai 230,57 juta kilogram,” kata Surianti, melalui rilis virtual, di Kendari, Senin (4/1/2021).
Berdasarkan sektor, industri pengolahan memiliki kontribusi terbesar dalam ekspor, yaitu 99,61 persen atau 408,36 juta dollar AS. Sementara, 0,39 persen adalah kontribusi sektor pertanian. Sektor pertambangan sendiri tidak memiliki kontribusi seiring adanya larangan ekspor bahan baku mentah.
Komoditas ekspor ini, tambah Suranti, sebagian besar dikirim ke China, yaitu mencapai 396,28 juta dollar AS atau 99,66 persen. Adapun sisanya tersebar ke India, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Vietnam.
Tingginya nilai ekspor feronikel beriringan juga dengan meningkatnya nilai impor Sultra. Impor pada November 2020 ini mencapai 130,18 juta dollar AS, atau naik 10,72 persen dibandingkan Oktober sebelumnya.
Dari nilai impor tersebut, 87,87 persen atau senilai 114,38 juta dollar AS merupakan bahan baku penolong, terutama untuk industri pengolahan nikel. Nilai bahan baku penolong ini juga mengalami kenaikan 8,17 persen dibandingkan Oktober sebelumnya.
Tingginya nilai ekspor feronikel Sultra ditopang kenaikan harga nikel dunia. Data Bloomberg, harga nikel sempat mencapai 15.000 dollar AS per ton, atau sekitar Rp 210 juta per ton pada November 2020.
Di Sultra, terdapat sejumlah perusahaan pengolahan nikel skala besar. Selain PT Antam yang merupakan badan usaha milik negara di Kabupaten Kolaka, terdapat dua perusahaan lain, yaitu PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Kabupaten Konawe.
PT VDNI berdiri sejak 2014, yang merupakan anak usaha De Long Nickel Co Ltd yang berasal dari Jiangsu, China. Perusahaan ini berinvestasi puluhan triliun rupiah untuk membangun fasilitas smelter berteknologi modern. Kapasitas produksinya 600.000-800.000 ton nickel pig iron per tahun. Hingga akhir 2018, PT VDNI telah berkontribusi 142,2 juta dollar AS terhadap ekspor RI.
Sementara itu, induk PT OSS adalah Hongkong Xiangyu Hansheng Co. Ltd. dan Singapore Xiangyu Hansheng Pte. Ltd. Perusahaan ini berdiri sejak 2016 di area seluas 398 hektar dengan nilai investasi 2 miliar dolar AS. Sejak 2018, perusahaan ini telah mengajukan izin prinsip untuk membangun fasilitas produksi baja nirkarat 400.000 ton, steel lab 800.000 ton, dan feronikel 800.000 ton.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari Syamsu Anam menjabarkan, kenaikan harga nikel dunia menjadi pengerek tingginya nilai ekspor Sultra. Kenaikan harga ini disumbang perbaikan ekonomi China. ”Momentumnya didorong permintaan baterai dan logam antikarat dunia yang terus meningkat. Dengan otomatis, harga nikel di wilayah ini juga melonjak,” ujarnya.
Meski demikian, ia melanjutkan, tingginya ekspor Sultra dari pengolahan nikel menyimpan kerawanan tinggi. Sebab, ekspor hanya didominasi hasil industri nikel. Tidak hanya itu, impor juga menjadi tinggi guna memenuhi kebutuhan bahan baku penolong untuk produksi nikel.
Jika terjadi guncangan ekonomi, ia melanjutkan, perekonomian Sultra akan terdampak. Hal itu berimplikasi terhadap penggunaan input di Sultra, baik itu tenaga kerja, barang dan jasa pendukung, maupun penerimaan daerah. Sementara, penerimaan asli daerah dari sektor pertambangan terbilang kecil, sekitar Rp 93 miliar pada 2018.
Sebelumnya, daerah ini memiliki catatan buruk terkait kebergantungan terhadap sektor pertambangan. Pada 2014, saat pemerintah memberlakukan larangan ekspor bijih nikel, sektor pertambangan di Sultra goyah. Ekspor dihentikan menyusul rencana pemerintah memajukan industri dalam negeri melalui hilirisasi. Puluhan perusahaan tambang terpukul sehingga menyebabkan puluhan ribu tenaga kerja dirumahkan, bahkan sebagian besar tanpa pesangon.
Selama lebih kurang satu dekade sebelum ditutup, sektor pertambangan moncer dan merajai perekonomian di Sultra. Akan tetapi, goyahnya sektor ini secara seketika membuat sektor lain terdampak, seperti rumah makan, transportasi, jasa keuangan, hiburan, dan perhotelan.
Kajian Syamsu yang mengolah statistik ekonomi dan keuangan daerah dari Bank Indonesia menunjukkan, peranan lapangan usaha pertambangan terhadap perekonomian Sultra terus naik selama tiga tahun terakhir. Pada 2016, berperan 19,85 persen, menjadi 20,97 persen pada 2017, dan pada 2018 di angka 21,05 persen.
Pada saat yang sama, peranan lapangan usaha pertanian stagnan, bahkan cenderung turun. Pada tahun 2016, sektor pertanian berperan 23,50 persen, lalu turun 23,28 persen, dan pada 2018 kembali turun menjadi 23,27 persen.
Oleh karena itu, menurut Syamsu, pemerintah harus mendorong sektor pertanian dan perikanan yang memang menjadi basis ekonomi masyarakat. Dua sektor ini merupakan sektor utama yang menjadi ladang penghidupan warga di semua wilayah. ”Dua sektor ini harus ditingkatkan. Dengan begitu, sektor pengolahan nikel tidak begitu dominan dan masyarakat bisa bertahan dan tidak beralih ke sektor yang dominan,” katanya.