Solusi jangka panjang untuk mencegah musnahnya sawah sebagai sumber pangan di pinggir Danau Poso, Kabupaten Poso, Sulteng, harus dibicarakan bersama agar keadilan bagi semua pihak tercapai.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·5 menit baca
Terendamnya 266 hektar sawah di pinggir Danau Poso, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, terkait dengan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Air Poso 1 tak bisa dibiarkan berlarut. Selain jangka pendek, berbagai pilihan solusi jangka panjang perlu dipertimbangkan, termasuk rekayasa budidaya dan kompensasi lahan.
Sawah yang terendam pasang air Danau Poso tersebar di sedikitnya 13 desa pinggir Danau Poso, antara lain Desa Meko, Desa Salukaia, Desa Buyumpandoli, Desa Dulumai, dan Desa Tokilo. Sebagian besar sawah itu tak lagi diolah. Genangan air masih tersisa di sejumlah lokasi karena sewaktu-waktu pasang bisa datang lagi.
Sawah mulai terendam Mei 2021 bersamaan dimulainya uji coba bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso 1 di Sungai Poso, Desa Saojo, Kecamatan Pamona Utara, Poso. Bendungan berjarak sekitar 13 kilometer dari Danau Poso yang merupakan sumber air aliran Sungai Poso. Bendungan itu diduga memicu naiknya muka air danau yang merendam sawah petani.
Sawah 266 hektar bukan angka kecil dalam banyak segi. Dari sisi petani, kehilangan produksi beras dari 266 hektar sawah dengan dua musim tanam setahun tentu besar dampaknya. Dengan perhitungan 1,5 ton padi per hektar, para petani kehilangan 399 ton padi semusim tanam atau dua kali lipat untuk setahun. Pemiskinan di depan mata, ketahanan pangan juga dalam masalah karena sawah-sawah di pinggir danau salah satu sentra beras di Poso.
Kompensasi yang diurus PT Poso Energy, pemilik PLTA Poso, dengan 10 kilogram beras per are (100 m²) saat ini tentu solusi jangka pandek. Itu pun sebagian petani masih menolak kompensasi yang artinya butuh dialog jujur dan terbuka untuk mempertemukan keinginan berbagai pihak.
Lalu, bagaimana nasib sawah terendam tersebut ke depannya?
Sejumlah opsi bisa dipertimbangkan. Rekayasa budidaya padi salah satunya. Padi apung bisa menjadi pilihan untuk budidaya ke depan. Di Desa Buyumpandoli uji coba padi apung dilakukan PT Poso Energy bekerja sama dengan Dinas Pertanian Poso. Padi ditanam dengan medium rakit.
Saya punya enam anak, sembilan cucu. Kalau tidak ada sawah, mau makan apa. Tetapi, kalau PT Poso Energy mau beli atau terpaksa kami jual, ya, harus dihitung per meter. Biar dari situ kami bisa beli sawah atau lahan lain.
Kepala Dinas Pertanian Poso Suratno menyatakan, dari percontohan itu, sawah 0,5 are menghasilkan 31,9 kg gabah kering panen (GKP). Becermin pada hasil tersebut, untuk 1 hektar berpotensi dipanen 6,38 ton GKP. ”Hasil itu lebih tinggi dari produktivitas padi sawah di desa setempat yang 5,4 ton GKP per hektar,” ujarnya di Poso, Kabupaten Poso, Sulteng, Selasa (5/10/2021).
Namun, tantangan rekayasa itu perlu usaha ekstra untuk merawat. Hal itu bisa menjadi ganjalan karena berarti mengubah perilaku atau kultur bertani masyarakat. Bahkan, banyak petani yang menganggap rekayasa itu sulit dilakukan.
Belum lagi teknologi yang digunakan, semisal rakit yang dipakai. Rakit itu biaya tambahan yang tentu membutuhkan anggaran tak sedikit.
Namun, kata Suratno, sebagai percontohan, rekayasa itu mungkin dikembangkan. Tinggal bagaimana para pihak bisa bekerja sama mewujudkannya, termasuk PT Poso Energy untuk memfasilitasi teknologinya (rakit permanen).
Sejumlah opsi
Manajer Lingkungan, Kehutanan, dan Corporate Social Responsibility PT Poso Energy Irma Suriani menyatakan, rekayasa tersebut butuh sosialisasi intensif jika ingin diaplikasikan. Sejumlah tempat di Pulau Jawa sudah lama menerapkan budidaya padi apung.
Rekayasa lain agar petani bisa mengolah lagi sawah terendam membangun pintu air di titik-titik pasang. Pintu air bisa membendung pasang danau, walakin tak bisa sepenuhnya mengatasi masalah. Dinas Pertanian Poso bekerja sama dengan Universitas Tadulako, Palu, merancang teknik tersebut. Paket perencanaan kegiatan sudah disiapkan.
Dari warga atau petani, opsi paling pesimistis adalah ganti rugi atau kompensasi sawah yang terendam itu dengan lahan baru atau bentuk lain. Ini barangkali jalan keluar terbaik dari yang terburuk (minus mallum) mengingat kemungkinan besar pasang bisa saja lebih besar ke depan, baik karena perpaduan curah hujan tinggi atau pemanfaatan maksimal air Sungai Poso di bendungan PLTA Poso 1 hingga elevasi 512,2 meter di atas permukaan laut (mdpl). Pemanfaatan dalam uji coba selama ini di level 511,7 mdpl. Level normal Danau Poso 509,2 mdpl.
”Bagi saya, sawah itu penting, tidak untuk dijual. Saya punya enam anak, sembilan cucu. Kalau tidak ada sawah, mau makan apa. Tetapi, kalau PT Poso Energy mau beli atau terpaksa kami jual, ya, harus dihitung per meter. Biar dari situ kami bisa beli sawah atau lahan lain,” kata Ambrawati Rantelore (61), petani Desa Toinasa, Kecamatan Pamona Barat, yang masih menolak kompensasi dari perusahaan.
Hal sama juga diutarakan Rita Potai (38), warga Desa Salukaia, Pamona Barat, yang telah menerima kompensasi 10 kg beras per are. Dengan tak jelas sampai kapan sawah tak bisa diolah, ganti rugi lahan menjadi solusi. Harga yang ditetapkan tentu harus cocok untuk semua pihak.
Menurut Irma, PT Poso Energy belum memikirkan kompensasi lahan dengan lahan baru atau skema ganti rugi. Ia mengklaim umumnya petani masih bertahan dengan kondisi saat ini, bahkan berencana menjadikan sawahnya kolam ikan. Pihaknya pun telah berencana untuk membentuk kelompok usaha dengan pendampingan sampai kelompok mandiri.
Namun, perusahaan tetap terbuka terhadap kemungkinan tersebut. Intinya didasarkan atas kesepakatan dengan warga. Setelah dikompensasi pun lahan itu menjadi milik negara, bukan milik PT Poso Energy karena statusnya jadi lahan musnah. Selain itu, lahan-lahan sebagian besar masih bagian dari badan sungai (sempadan), rentang 100 meter dari garis pantai.
Bagi Direktur Institut Mosintuwu Lian Gogali, solusi atas masalah kerugian petani hanya bisa dibayar dengan kembali bersawah. Mengolah sawah bagi masyarakat pinggir Danau Poso bukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi, melainkan juga sosiokultural. Di sawah orang berinterasi dengan akrab, gembira, dan intens. Dari hasil panen padi jugalah masyarakat menggelar acara syukur panen atau padungku dalam kebudayaan Poso.
Untuk itu, jalan tengah pemanfaatan Sungai Poso yang berasal dari Danau Poso untuk bendungan PLTA Poso 1 diatur sesuai dengan siklus tanam petani. Dalam tiga bulan ketika jadwal musim tanam, misalnya, Sungai Poso dimanfaatkan seminimal mungkin agar tak menimbulkan pasang. ”Kami pikir ini bisa dilakukan. Petani tidak rugi, PLTA juga tetap beroperasi. Ini malah akan didukung petani,” ujarnya.
Berbagai opsi tersebut layak untuk dipertimbangkan. Setiap kemungkinan yang hendak diambil harus dibicarakan matang dengan mengedepankan dialog dan partisipasi semua pemangku kepentingan. Jangan ada yang dikorbankan. Apalagi menyangkut kehidupan petani dan ketahanan pangan yang jelas-jelas sedang dan patut diperjuangkan.