Benahi Kelembagaan untuk Perkuat Posisi Petani dan Nelayan
Upaya menggapai kedaulatan pangan memerlukan konsolidasi pelaku usaha skala kecil melalui korporasi usaha. Kelembagaan petani dan nelayan juga perlu dibenahi guna mengatasi keterbatasan dan meningkatkan daya tawar.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah mengembangkan lumbung pangan atau food estate untuk mencapai kedaulatan pangan nasional perlu diimbangi dengan pembenahan kelembagaan petani dan nelayan. Upaya membangun kedaulatan pangan selama ini dinilai belum mampu melepaskan petani dan nelayan dari jerat kemiskinan.
Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri, mengatakan, saat ini sektor pangan nasional masih dihadapkan pada impor bahan pangan dan persoalan kemiskinan produsen. Hampir 40 persen petani dan nelayan masih terjerat kemiskinan. Sementara itu, sebagian bahan pangan masih diimpor karena kebutuhan konsumsi yang lebih besar dibandingkan produksinya.
Ia menambahkan, Indonesia memiliki potensi besar untuk mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan. Potensi produksi lestari perikanan Indonesia, misalnya, mencapai 115,63 juta ton per tahun atau terbesar di dunia. Namun, tingkat pemanfaatan perikanan tangkap dan budidaya baru 23,33 juta ton pada 2020 atau 20,18 persen dari potensi.
Upaya mendorong produksi pangan memerlukan sejumlah langkah terpadu hulu-hilir, meliputi revitalisasi usaha, ekstensifikasi lahan pertanian dan perikanan sesuai daya dukung wilayah, diversifikasi pangan, serta pembangunan lumbung pangan. Di sisi lain, diperlukan pula penerapan teknologi sistem pertanian, pembangunan berkelanjutan, serta pembenahan sistem manajemen rantai pasok.
”Jangan seperti dulu, kita fokus membantu petani dan nelayan dalam produksi, tetapi pasar kedodoran sehingga produk ikan dan bawang, misalnya, busuk karena hambatan pasar. Petani dan nelayan sulit sejahtera,” kata Rokhmin dalam webinar ”Food Estate: Mewujudkan Kedaulatan Pangan untuk Kesejahteraan Petani dan Nelayan” yang diadakan Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Rabu (20/10/2021).
Pendiri dan Ketua Koperasi BUMR Paramasera, Bogor, Agus Somamihardja, menyebutkan, industri pangan Indonesia masih bergantung pada impor. Tahun 2019, nilai impor pangan mencapai Rp 123,5 triliun untuk kebutuhan pangan sehari-hari, di antaranya gandum 10,6 juta ton senilai 2,7 miliar dollar AS atau 46 persen dari total impor pangan, gula pasir 4,09 juta ton senilai 1,36 miliar dollar AS (18 persen), dan kedelai 2,58 juta ton senilai 1,06 miliar dollar AS (11 persen).
Selain itu, impor buah-buahan mencapai 724.000 ton atau senilai 1,48 miliar dollar AS, sayur-sayuran 770.000 ton senilai 770,1 juta dollar AS, beras sejumlah 444.000 ton atau setara 184,4 juta dollar AS, dan daging sapi 262.000 ton atau 829 juta dollar AS. Adapun ikan juga didapat melalui impor, seperti ikan lemuru dan ikan pindang.
Sementara itu, petani di Indonesia rata-rata hanya menguasai kepemilikan lahan 0,3 hektar per orang dan 96 persen nelayan merupakan nelayan kecil. Efek penguasaan lahan yang sempit dan kapal kecil yang mendominasi perairan menyebabkan petani dan nelayan kecil sulit mengakses manajemen, teknologi, ataupun pembiayaan. Akibatnya, produktivitas sulit bersaing, rantai pasok tidak efisien, dan bergantung pada tengkulak. Nelayan saat ini hanya menikmati setengah dari harga pasar akibat tata niaga yang panjang.
Upaya mendorong kedaulatan pangan memerlukan konsolidasi dari pelaku usaha skala kecil melalui korporasi usaha atau koperasi. Pembenahan kelembagaan petani dan nelayan pun diperlukan, selain inovasi di tengah keterbatasan lahan. Penguatan kelembagaan juga diyakini mampu mengurai rantai pasar yang panjang dan ketergantungan terhadap tengkulak.
”Program pemerintah sampai saat ini hanya program, tetapi tidak memberdayakan orang. Tidak ada inovasi kelembagaan atau korporasi usaha tani. Koperasi perlu diperkuat agar petani dan nelayan memiliki posisi tawar,” ujarnya.
Koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI Ariza Patria menuturkan, pemenuhan pangan rakyat sangat strategis dan menyangkut jatuh bangun negara. Pemenuhan pangan dalam negeri juga penting untuk mengantisipasi kebutuhan pangan yang semakin tinggi.
Laporan Organisasi Pangan Dunia (FAO) tahun 2020 menyoroti potensi krisis pangan global dengan perlunya meningkatkan produktivitas pangan dan pertanian. Di tengah pandemi Covid-19, semakin banyak negara eksportir pangan yang mengurangi ekspor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
”Indonesia perlu menyikapi potensi krisis pangan dengan tidak berpikir instan dan membuka keran impor untuk pemenuhan pangan dalam negeri,” katanya.
Indonesia perlu menyikapi potensi krisis pangan dengan tidak berpikir instan.
Ariza menambahkan, kebijakan lumbung pangan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional memerlukan modal, teknologi, dan sumber daya untuk memenuhi sumber pangan secara terintegrasi. Oleh karena itu, diperlukan partisipasi luas masyarakat agar ketahanan pangan menjadi gerakan nasional.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) TB Haeru Rahayu mengatakan, peran perikanan dalam pemenuhan pangan nasional sangat tinggi. KKP tengah memprioritaskan kebijakan penangkapan ikan terukur di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI. WPP RI akan terbagi atas tiga zona, yakni zona industri perikanan (fishing industry), zona nelayan lokal, dan zona perlindungan laut.
Selain itu, zona industri perikanan juga dikembangkan untuk perikanan budidaya sebagai sumber ekonomi selain penangkapan ikan. WPP RI tengah digarap untuk beberapa komoditas unggulan perikanan budidaya laut. ”Kecenderungan penangkapan ikan sudah semakin stagnan sehingga budidaya bisa menjadi substitusi,” ujarnya.
Pemanfaatan itu di antaranya WPP RI 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan) untuk komoditas kerapu, kakap, bandeng, bawal. WPP RI 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara) untuk kerapu dan lobster. Selain itu, WPP RI 716 (Laut Sulawesi) serta 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik) untuk kerapu dan rumput laut.