Masyarakat kerap terpincut promo rumah murah yang tidak jelas juntrungannya di media sosial. Hal itu ternyata kerap berujung wanprestasi yang merugikan mereka di kemudian hari.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
Masyarakat kerap terpincut dengan promo rumah murah yang tidak jelas juntrungannya di media sosial (medsos). Situasi itu kerap berujung pada kasus wanprestasi yang merugikan konsumen. Perlu kewaspadaan agar tidak terjerat rayuan rumah murah, tetapi ternyata bermasalah di kemudian hari.
Investigasi harian Kompas selama September 2021 di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, menemukan, medsos adalah platform yang sering calon konsumen gunakan untuk mendapat informasi rumah. Cara itu pula yang dilakukan SN (34) saat menemukan perumahan murah di Kabupaten Bogor. Pada 2016, dia mendapati sebuah perumahan tipe 36 seharga Rp 120 juta di Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor.
Harga murah serta tenor cicilan panjang tanpa bunga memikat SN meski lahan perumahan belum terbangun seutuhnya. SN akhirnya memantapkan diri bertransaksi cicilan uang muka Rp 25 juta selama satu tahun.
Lunasnya cicilan uang muka pada 2017 ternyata tidak dibarengi progres pembangunan. SN bersama puluhan konsumen lain lalu menuntut uang kembali karena pembangunan mangkrak. Namun, permintaan konsumen itu tak pernah terwujud hingga kini.
”Saya berharapnya memang uang kembali, ya, meski baru DP dan belum akad. Sebab, biar beberapa tahun sudah lewat, uang puluhan juta itu masih besar nilainya. Keluarga butuh,” ungkap SN, Selasa (7/9/2021).
Eem (43), konsumen sebuah perumahan bermasalah di Ciampea, Kabupaten Bogor, juga terpincut membeli rumah karena sebuah iklan medsos pada 2018. Dia tertarik skema pembayaran tanpa bank yang ditawarkan pengembang, yakni mencicil langsung kepada pengembang setiap bulan tanpa dikenakani bunga. Nominal cicilannya juga terhitung terjangkau bagi karyawati toko baju di Jakarta Barat ini.
Saya berharapnya memang uang kembali, ya, meski baru DP dan belum akad. Sebab, biar beberapa tahun sudah lewat, uang puluhan juta itu masih besar nilainya. Keluarga butuh.
Seusai mengecek ke lokasi perumahan, Eem bergegas membayar uang pemesanan senilai Rp 2 juta kepada pengembang mulai 2018. Sepekan kemudian, dia membayar uang muka Rp 22,5 juta dan selanjutnya jasa notaris Rp 9,5 juta. Setelah itu, Eem mulai mencicil Rp 1,8 juta per bulan.
Hingga setahun kemudian, rumah seharga Rp 250 juta itu belum juga dibangun. Lahan perumahan masih berupa ladang jagung. Eem lantas menghentikan cicilan pada bulan ke-12 dan meminta pengembalian dana senilai Rp 54 juta. Namun, uang tersebut tak kunjung dia dapat sampai sekarang.
”Harapan saya, tentu uang saya kembali. Sebab, itu hasil kerja keras saya selama bekerja. Saya pengin punya rumah. Anak saya udah gede, pengin punya kamar buat dia,” jelasnya.
Pengalaman serupa dialami Ariesta Sitepu (43), konsumen apartemen bermasalah di Depok, Jawa Barat. Ariesta mendapat informasi awal dari teman medsosnya yang seorang pegawai pemasaran apartemen pada 2017. Harga murah sekitar Rp 200 juta dan kecocokan lokasi membuatnya mantap membeli hunian itu.
Walakin, pada 2019 Ariesta yang rutin mendatangi kantor pengembang tiba-tiba tidak lagi mendapat informasi terkait kelanjutan pembangunannya. Pembangunan di lokasi apartemen itu juga tak berjalan saat dikunjungi pada September 2021.
”Kalau memang tidak bisa dilanjutkan pembangunan itu, tolong (pengembang) refund. Sudah hampir dua tahun pandemi, saya perlu dana untuk keluarga saya,” katanya.
Ketua Umum Himpunan Perumahan Rakyat (Himperra) Harry Endang Kawidjaja menilai, promo iklan perumahan di medsos sulit terawasi. Hal ini menjadi celah pengawasan yang luput dilakukan regulator, khususnya pemerintah daerah.
”Sekarang ada pemasaran online lagi, siapa yang mengawasi ini? Mestinya lihat di lapangan. Kalau enggak ada sama sekali kegiatan perumahan itu, pasti orang yang pesan online juga mikir. Kalau begitu bisa berjalan, akan tetap ada korban, tetapi jauh lebih sedikit,” ungkap Harry.
Menurut Harry, perlu ada edukasi di tingkat pemda, termasuk sampai kelurahan, untuk mengawasi potensi perumahan bermasalah. Dia berharap pengawasan bisa masuk sampai ke tingkat pengembang.
Secara terpisah, Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor Ajat Rochmat Jatnika menuturkan, selama ini memang belum ada mekanisme pengawasan yang berjalan hingga ke tingkat pengembang.
”Pengawasan saya mungkin nanti akan lebih masuk ke developer (pengembang). Biasanya kami enggak masuk ke ranah itu. Hanya ke developernya, kamu punya izin enggak? Seperti itu, justru nanti akan didorong ke situ,” jelasnya.
Direktur Rumah Umum dan Komersial Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Fitrah Nur menyatakan, literasi publik terkait perumahan masih menjadi tugas besar. Sosialisasi diperlukan agar masyarakat paham akan hak dalam membeli rumah.
Fitrah menilai, sosialisasi mestinya berjalan secara berjenjang, mulai dari provinsi ke tingkat kabupaten atau kota, lalu turun ke masyarakat. ”Jadi, jenjang itu enggak cukup berjalan untuk sekarang ini, masih belum. itu PR kami, jadi kami berusaha, upayanya lebih besar,” jelasnya.