Perlindungan konsumen perumahan di Indonesia sejauh ini masih lemah, terlebih jika telanjur bertransaksi dengan pengembang bermasalah.
Oleh
TIM KOMPAS
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lemahnya perlindungan terhadap konsumen perumahan membuat posisi konsumen masih rentan. Dalam perjanjian pengikatan jual-beli rumah pada umumnya, kewajiban konsumen diatur, tetapi tidak mengatur kewajiban pengembang. Jika kemudian terjadi masalah, tidak ada jaminan uang konsumen dikembalikan.
Walaupun konsumen berhasil membuat pengembang perumahan bermasalah dipenjara lewat jalur hukum pidana, uang yang sudah disetorkan konsumen tetap belum tentu kembali. Masalah akan bertambah pelik jika konsumen bertransaksi dengan cara membayar atau mencicil langsung ke pengembang, karena tanpa keterlibatan bank melalui kredit pemilikan rumah atau KPR.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal Edy Halim mengatakan, jika terdapat konsumen yang membeli rumah kepada pengembang bermasalah dan akhirnya berujung wanprestasi, hak konsumen tetap tidak akan kembali meskipun kasus tersebut dibawa ke ranah pidana. ”Meskipun sudah dilakukan penindakan hukum, pertanyaanya apakah hak konsumen itu terpulihkan? Proses pemulihan hak konsumen di Indonesia itu masalah besar dan sistemik,” ujar Rizal Edy Halim pada Sabtu (18/9/2021).
Menurut Rizal, lemahnya perlindungan terhadap konsumen ini hampir terjadi di semua kasus pelanggaran hak konsumen, tidak hanya di sektor properti. Namun, sejauh ini persoalan sektor properti selalu menjadi salah satu yang tertinggi dalam kanal pengaduan konsumen.
”Meskipun sudah dilakukan penindakan hukum, pertanyaanya apakah hak konsumen itu terpulihkan? Proses pemulihan hak konsumen di Indonesia itu masalah besar dan sistemik.”
Untuk itu, kata Rizal, perlu ada terobosan hukum agar penanganan hukum dapat berpihak ke konsumen. Di Brasil, contohnya, penanganan pengaduan konsumen berbasis mitigasi risiko karena diawasi banyak pihak sehingga jika ada persoalan muncul langsung dengan cepat dapat tertangani.
Wanprestasi
Investigasi Kompas sepanjang September 2021 memotret kesulitan konsumen perumahan bermasalah untuk mendapatkan kembali uang yang sudah dibayarkan kepada pengembang. Sejumlah konsumen lima perumahan (salah satunya apartemen) di Bogor, Depok, dan Bekasi memesan hunian dengan skema cicilan langsung kepada pengembang, bukan dengan KPR. Skema tersebut di tiga perumahan dinamakan skema syariah.
Eva, salah seorang guru sekolah swasta, turut menjadi korban wanprestasi perumahan Grand Mulia Mekarwangi (GMM) di Kemang, Kabupaten Bogor. Meski sudah membayar biaya pemesanan dan uang muka sebesar Rp 26 juta pada 2016, rumah seharga Rp 100 juta yang dia pesan belum juga dibangun.
Eva sudah berusaha mengajukan pengembalian dana kepada PT Integra Sinar Abadi selaku pengembang GMM. Alih-alih uangnya kembali, beberapa manajemen justru menghilang dari kantor pemasaran. Berbagai upaya juga sudah Eva lakukan, mulai dari menyewa pengacara hingga melapor ke BPKN. Hasilnya tetap saja nihil.
Salah satu yang membuat posisi Eva lemah dalam mendapatkan kembali haknya adalah tidak adanya perjanjian tertulis yang dia dapatkan setelah pelunasan uang muka. ”Surat perjanjian enggak ada. Kita berpikiran positif saja waktu itu. Enggak bakalan kena tipu atau gimana-gimana,” katanya.
Selain itu, di dalam kuitansi pembayaran yang dia terima ternyata tercantum dua nama perusahaan yang berbeda. Dalam kuitansi pembayaran tanda jadi pada 29 Maret 2016, misalnya, tertera nama PT Gangsar Mulia Abadi di bagian kop. Sementara cap yang digunakan adalah milik PT Integra Sinar Abadi.
Pada 2021 ini, Eva sempat menyambangi kembali perumahan GMM untuk mencari tahu kejelasan proses pengembalian uangnya. Di sana dia bertemu dengan Herdis Jaelani yang mengaku sebagai perwakilan dari PT Integra Sinar Abadi.
Dalam pertemuan tersebut Herdis menawarkan dua opsi kepada Eva. Pertama, dia akan mengembalikan uang Eva pada akhir 2021. Kedua, Eva diminta membeli unit rumah lain di GMM melalui pembayaran tunai bertahap tanpa bunga. Rumah yang dihargai sebesar Rp 150 juta itu nantinya akan langsung dipotong dengan uang Rp 26 juta milik Eva.
”Awalnya ditawarin, Bu Eva uangnya bakal kembali Desember katanya. Kalau memang mau cepat, katanya Bu Eva ambil rumah lagi aja di sini,” katanya.
Meski mengaku sempat nyaris tertarik dengan tawaran kedua, Eva akhirnya berubah pikiran. Alasannya karena legalitas tanah di perumahan Grand Mulia Mekarwangi itu masih belum jelas. Dia menyatakan hanya akan membeli rumah tersebut jika legalitasnya sudah komplet. Jika sampai akhir tahun belum ada kejelasan, dia akan meminta uangnya kembali.
Kompas sempat menemui Herdis Jaelani di kantor pemasaran GMM pada akhir September 2021. Herdis membenarkan bahwa PT Gangsar Sinar Abadi dulunya adalah mitra dari PT Integra Sinar Abadi. Namun, dia mengaku tidak mengetahui detail kerja sama tersebut.
Sementara itu, menyoal legalitas tanah di perumahan GMM, Herdis mengaku semuanya sudah bersertifikat atas nama PT Integra Sinar Abadi. Hanya Herdis tidak bisa menunjukkan sertifikat asli tersebut karena tidak disimpan di kantor pemasaran.
Herdis memastikan, pihaknya akan mengembalikan seluruh dana konsumen GMM setelah sisa unit rumah di GMM laku terjual. Ada sekitar 80-an konsumen yang mengajukan pengembalian dana. Untuk meyakinkan konsumen bahwa pihaknya akan bertanggung jawab, sejak pertengahan 2020 Herdis hampir setiap hari berada di kantor pemasaran GMM. ”Ya, mulai menghadapi problem untuk kita bereskan satu per satu. Kalau ada uang pasti saya kasih,” kata Herdis.
Memberatkan konsumen
Staf Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Rio Priambodo, menilai, lemahnya perlindungan konsumen perumahan tecermin pada rumusan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) rumah yang dibuat sepihak oleh pengembang, yang menguntungkan pengembang dan memberatkan konsumen. Padahal, praktik semacam itu dilarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam Pasal 18 Ayat 1 diamanatkan, pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada perjanjian jika, antara lain, pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang diserahkan konsumen.
Berdasarkan Pasal 5 Ayat 2 dalam PPJB tersebut, jika pembeli hingga tenggat yang ditentukan belum juga bisa melunasi keseluruhan sisa harga jual-beli rumah, pengikatan batal demi hukum serta pengembang tidak bisa diwajibkan mengembalikan uang yang sudah dibayarkan pembeli.
Celakanya, jika pengembang belum bisa menyelesaikan pembangunan sesuai jadwal serah terima atau spesifikasi bangunan tidak sesuai, penyelesainnya hanya dengan musyawarah mufakat. Tidak ada sanksi bagi pengembang.
Koordinator Pengaduan dan Hukum YLKI Sularsi menambahkan, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah. Hak-hak konsumen, termasuk jika membatalkan pembelian rumah, diamankan dengan permen itu.
Kondisi terkini, permen tersebut dicabut dan ketentuan terkait PPJB diatur dalam Peraturan Pemerintah 12/2021 tentang Perubahan atas PP 14/2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Salah satu bentuk pengamanan hak konsumen ketika pembelian rumah dibatalkan terlihat dari Pasal 22L Ayat 3 dan 4 pada PP tersebut. Uang konsumen yang hangus bukan semua yang sudah dibayarkan, tetapi maksimal 10 persen dari harga transaksi. ”Ini tidak direalisasikan, padahal dalam peraturan perundang-undangan sudah jelas,” ujar Sularsi. (JOG/FRD/DIV/ILO)