Konsumen sejumlah perumahan murah merugi puluhan juta rupiah karena terbuai penawaran uang muka dan cicilan ringan dengan skema pembayaran tanpa perbankan dari pengembang bermasalah.
Oleh
TIM KOMPAS
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tawaran cicilan ringan dan kemudahan pembayaran menjadi modus pengembang perumahan nakal dalam memperdaya konsumen. Pengembang menawarkan uang muka ringan dan cicilan rendah dengan tenor panjang melalui skema cicilan tanpa bank. Pengembang juga membuat konsumen tergesa memesan unit rumah meski banyak hal yang belum jelas saat bertransaksi.
Investigasi Kompas dengan menelusuri sejumlah perumahan bermasalah di Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sepanjang September 2021, menemukan, para pengembang bermasalah rata-rata menyasar konsumen yang membeli rumah kecil (maksimal bertipe 36). Harga rumah berkisar Rp 140 juta - Rp 250 juta per unit.
Transaksi jual beli rumah ini juga janggal. Konsumen dibuat tak berdaya secara hukum. Tidak ada tanda tangan notaris saat perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Pembeli pun kesulitan memperoleh kejelasan legalitas izin dan kepemilikan tanah dari pengembang. Akibatnya, banyak konsumen rumah tipe kecil ini harus merugi puluhan juta rupiah karena unit yang dibeli tak kunjung dibangun. Uang yang sudah mereka setorkan ke pengembang pun sulit dikembalikan.
Sari (37), warga Depok konsumen perumahan Afara First Hills di Desa Cihideung Ilir, Ciampea, Kabupaten Bogor, salah satunya. Sejak membayar biaya pemesanan akhir 2018, unit rumah yang dipesan tidak kunjung dibangun.
Sari mengaku tertarik membeli rumah di Afara karena murah dan pengembang menawarkan konsep syariah. Dengan skema itu, dia membayangkan proses yang dilewati akan lebih mudah ketimbang melalui perbankan. ”Sudah pernah coba ambil KPR (kredit pemilikan rumah), tapi gagal. Dari BI (Bank Indonesia) checking enggak lolos. Enggak tahu apa salah saya,” ungkap Sari, di Cibinong, Bogor.
"Sudah pernah coba ambil KPR, tapi gagal. Dari BI checking enggak lolos. Enggak tahu apa salah saya,"
Tak ada notaris
Sari sudah mengeluarkan uang hingga Rp 61 juta, yaitu untuk membayar biaya pemesanan Rp 2 juta, uang muka Rp 22,5 juta, jasa notaris Rp 9,5 juta, dan cicilan Rp 27 juta. Pengembang Afara kini tidak diketahui lagi keberadaannya.
Dari dokumen PPJB yang diterima Sari, tak ada tanda tangan notaris. Padahal, dia sudah membayar jasa notaris Rp 9,5 juta sampai penerbitan akta jual beli (AJB). Uang muka dan cicilan rumah disetorkan Sari ke rekening pribadi salah seorang dari manajemen perusahaan.
Saat didatangi akhir September lalu, kantor pemasaran Afara sudah ditinggalkan perusahaan. Seorang penjaga kantor menuturkan, sudah setahun lebih tidak ada perwakilan perusahaan yang datang.
Padahal, saat memasarkan, konsumen dibuat yakin perumahan tersebut sangat diminati. Konsumen Afara lainnya, Ainul, menggambarkan, suasana kantor pemasaran kala itu dipenuhi para pencari rumah. Karena khawatir dengan tingginya animo konsumen, Ainul buru-buru membayar biaya pemesanan untuk mengamankan rumah yang dia incar.
Dari 723 unit yang dijanjikan dibangun, saat ini baru ada 33 rumah di perumahan Afara. Namun, hanya 13 rumah yang sudah dihuni. Salah satu penghuni mengungkapkan, lahan perumahan masih berstatus hak milik adat girik.
PT Afara Mandiri Suryatama, selaku pengembang Afara First Hills, ternyata belum melengkapi seluruh izin perumahan dan belum memiliki seluruh lahan ketika memasarkan rumah. ”Rencana 10 hektar. Lahan yang baru dibebaskan belum 1 hektar. Baru 8.679 (meter persegi), lebih kurang, ya,” ujar komisaris PT Afara Mandiri Suryatama, Maman Setiawan.
Maman juga mengaku sebagai korban karena namanya tiba-tiba dimasukkan sebagai komisaris ketika perumahan sedang dalam masalah. Petinggi manajemen PT Afara Mandiri Suryatama yang lama telah menghilang, termasuk direktur utama yang rekeningnya dipakai untuk menerima uang konsumen.
Untuk itu, jika ditagih pengembalian dana oleh konsumen, Maman akan menjelaskan baik-baik bahwa konsumen dulu menyetorkan uang kepada manajemen yang lama. ”Bapak salah nagih ke saya. Saya pun korban,” kata Maman.
Salah kelola
Masih di Kabupaten Bogor, salah seorang konsumen perumahan Villa Puncak Ciomas di Kecamatan Tamansari, ES, mengaku tertarik membeli rumah tipe 27/60 karena pengembang menawarkan konsep cicilan tanpa bank dengan harga murah (Rp 141 juta). ES sudah membayar Rp 19 juta yang terdiri dari uang muka Rp 10 juta, tanda jadi Rp 2,5 juta, dan cicilan Rp 1 jutaan per bulan sebanyak enam kali.
Setelah enam kali mencicil, setiap kali berkunjung ke lokasi, dia tidak melihat ada kemajuan pembangunan rumahnya. Padahal, serah terima unit semestinya dilakukan Desember 2019 sesuai dengan PPJB. Namun, PPJB yang ditandatangani ES tanpa tanda tangan dan cap notaris.
Perumahan Villa Puncak Ciomas telah berubah nama menjadi Grand Delima Ciomas. Pengelolanya berganti dari PT Mahakarya Almeera Mughnii Development menjadi PT Delima Prima Propertindo.
Eks General Manager PT Mahakarya, Martinus, mengakui jika manajemen sebelumnya telah salah mengelola keuangan sehingga berujung wanprestasi. Proyek kemudian dikelola PT Delima. Martinus kini di jajaran manajemen PT Delima.
Dia mengatakan, konsumen Villa Puncak Ciomas nantinya akan menerima pengembalian dana jika semua rumah di Grand Delima Ciomas sudah terjual.
Di Kabupaten Bekasi, konsumen perumahan Grand Madani Village (GMV) di Desa Sukamekar, Kecamatan Sukawangi, juga terjebak tawaran pengembang untuk membeli rumah tanpa melalui bank. Salah seorang konsumen, Yogi, mengaku memesan dua rumah sejak 2019 dan kini tidak jelas pembangunannya. Padahal, dia sudah membayar Rp 68 juta ke pengembang untuk biaya pemesanan dan uang muka.
Kantor pemasaran GMV sudah tidak aktif beroperasi. Hanya ada seorang warga setempat yang dipekerjakan untuk menjaga kantor. Warga itu mengarahkan konsumen ke kantor PT Madania Nusantara Fikr, pengembang GMV di Depok.
Di lokasi perumahan GMV, baru ada sepuluh rumah yang berdiri. Pengembang sempat membuat site plan sebanyak 1.460 rumah. Sebagian besar lahan di dalam area perumahan GMV masih berupa lahan pertanian. Di salah satu lahan tertancap papan pengumuman yang menyatakan lahan tersebut milik warga dan tidak dijual.
Manajer Legal PT Madania Nusantara Fikr Yoga Priyo Widodo menjelaskan, pihaknya meminta waktu untuk dapat mengembalikan dana semua konsumen. ”Karena, kan, kondisi saat ini lagi seperti ini (pandemi). Ya, itu akan kami selesaikan, tetap,” ucap Yoga.
Secara terpisah, Ketua Komite Arsitektur dan Hunian Islami Masyarakat Ekonomi Syariah Ari Tri Priyono menuturkan, ada pengembang mengaku syariah, tetapi justru melanggar prinsip syariah. Mereka, antara lain, menawarkan perumahan yang belum jelas legalitas tanah dan perizinannya. ”Nilai Islam tidak diterapkan secara sungguh-sungguh (oleh pengembang), tetapi malah memakai kata-kata syariah sebagai gimik untuk sekadar merekrut orang,” tutur Ari.
"Nilai Islam tidak diterapkan secara sungguh-sungguh (oleh pengembang), tetapi malah memakai kata-kata syariah sebagai gimik untuk sekadar merekrut orang,"
Menurut Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas, saat ini banyak warga yang mulai meninggalkan praktik riba. Dia menduga, ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mengeksploitasi kata syariah untuk meraup keuntungan dari kalangan tersebut. ”Mereka juga mengeksploitasi ketidaktahuan konsumen tentang akad-akad syariah,” ujarnya.
Sebenarnya ada pengembang perumahan dengan konsep pembayaran syariah yang kredibel. Menurut salah seorang pengembang perumahan dengan konsep pembayaran syariah, Hadiana, sebelum melakukan akad, konsumen harus bisa memastikan legalitas lahan dan perizinan proyek.