Dalam beberapa tahun terakhir, persoalan perumahan selalu mendominasi pengaduan konsumen ke sejumlah lembaga. Posisi konsumen perumahan yang rentan dalam kontrak dan minim pemahaman soal properti rawan menjadi korban.
Oleh
TIM KOMPAS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masalah wanprestasi perumahan mendominasi kanal-kanal aduan milik lembaga perlindungan konsumen. Banyaknya jumlah aduan itu turut menandai ada persoalan yang terus berulang dan perlu pembenahan.
Sengketa perumahan menjadi aduan terbanyak yang dihimpun Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Ada 2.722 aduan konsumen yang masuk selama rentang tahun 2007 hingga pertengahan 2021. Sebanyak 524 aduan atau sekitar seperlima dari total aduan itu terjadi pada 2020 di masa pandemi Covid-19.
Masalah perumahan juga tercatat dalam urutan lima besar sektor yang paling sering diadukan di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Pengaduan konsumen pada sektor perumahan selama 2020, misalnya, didominasi masalah pembangunan mangkrak dan sulitnya pengembalian uang (refund).
Secara terpisah, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat 361 aduan dari konsumen perumahan selama periode 2015-2019. Dari total aduan itu, 141 aduan dari konsumen disertai somasi dan menuntut refund kepada pengembang.
Koordinator Pengaduan dan Hukum YLKI Sularsi mengungkapkan, pada umumnya terdapat tiga hal yang terkait pengaduan konsumen perumahan, yakni pada saat proses konstruksi, proses pengelolaan, dan persoalan jaminan hukumnya. ”Tiga hal ini yang menjadi titik lemah baik untuk rumah tapak maupun rumah susun,” kata Sularsi, September silam.
Persoalan dalam proses konstruksi terjadi salah satunya karena perizinan yang bermasalah atau lahan masih dalam sengketa sehingga kemudian pembangunan mangkrak. Ada juga persoalan lain saat pemesanan unit jika memilih skema pembayaran langsung ke pengembang. ”Kalau installment langsung ini minim banget sisi perlindungan konsumennya,” ucap Sularsi.
”Kalau installment langsung ini minim banget sisi perlindungan konsumennya.”
Ketua BPKN Rizal Edy Halim menyebutkan, konsumen dari beragam kalangan tetap bisa terjerat persoalan perumahan. Meski regulasi perumahan tiap tahun makin ketat, tetapi persoalan wanprestasi pengembang terus berulang. Pada banyak kasus, Rizal menemui konsumen terjebak transaksi dengan pengembang yang belum memiliki legalitas secara utuh, tetapi tidak disadari konsumen sampai terjadi masalah pembangunan.
Konsumen dirugikan
Begitu pula dalam klausul perjanjian transaksi, konsumen kerap terjebak dalam posisi yang dirugikan secara sepihak. ”Sering kali masyarakat tidak mengecek lagi kelengkapan legalitas dan lainnya karena telanjur senang saat beli rumah. Padahal, detailnya klausul perjanjian jual belinya kerap menjadi masalah,” jelas Rizal.
Sejumlah aduan ke lembaga perlindungan konsumen kerap disertai kesepakatan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) yang memberatkan konsumen. Sementara, kewajiban pengembang apabila melanggar perjanjian tidak diatur.
Situasi semacam itu dialami Ipong, konsumen perumahan di Kabupaten Bogor. Dalam lembar PPJB yang dia terima, disebutkan bahwa serah terima unit pada Desember 2019. Namun, dalam klausul perjanjian tidak disebutkan secara jelas konsekuensi pengembang jika melanggar janji pembangunan.
Ketika perumahan tidak ada kejelasan pembangunan hingga 2020, Ipong tidak mendapat informasi dari pengembang. Dia justru mendengar dari konsumen lain bahwa ada masalah kepemilikan lahan. ”Kalau rumahnya enggak bisa lanjut, saya cuma berharap uang bisa kembali,” ujarnya.
Ariesta Sitepu (43) mengalami persoalan serupa dengan pengembang apartemen di Depok. Dia membeli unit apartemen pada 2017, tetapi hingga 2019 tidak ada progres pembangunan. Ariesta melayangkan somasi kepada pengembang serta melapor ke YLKI, tetapi hingga Oktober 2021 tak mendapat kejelasan.
Anggota Staf Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, Rio Priambodo, menuturkan, proses advokasi antara konsumen dengan pengembang acap kali tersendat. Ada sebagian pengembang yang tidak merespons upaya advokasi YLKI. Upaya mediasi terkait permintaan pengembalian dana juga kebanyakan mandek meski mencapai kata sepakat. (DIV/JOG/FRD/ILO)