RI Butuh Perusahaan Pelayaran Nasional yang Mampu Topang Ekspor-Impor
Sebanyak 80 persen pengapalan komoditas ekspor dan impor Indonesia masih menggunakan kapal-kapal asing. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan perusahaan pengapalan nasional yang mampu menopang ekspor dan impor.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia membutuhkan perusahaan pelayaran nasional berskala internasional yang mampu menopang ekspor dan impor. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia dari kapal-kapal asing dan memangkas defisit neraca jasa transportasi barang secara bertahap.
Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan, selama ini, 80 persen pengapalan komoditas ekspor dan impor Indonesia masih menggunakan kapal-kapal asing. Tidak mengherankan, saat terjadi krisis pelayaran global akibat imbas pandemi Covid-19 dan perang dagang Amerika Serikat-China, Indonesia turut terkena dampaknya.
”Biaya pengapalan antarsamudera (ocean freight) naik empat hingga sembilan kali lipat. Ekspor menjadi tersendat, baik lantaran kelangkaan kontainer atau harus menunggu kapal-kapal kontainer yang memuat barang-barang impor maupun diminta menunda pengiriman oleh pembeli,” kata Sobur ketika dihubungi di Jakarta, Senin (4/10/2021).
HIMKI mencatat, biaya pengapalan satu kontainer kapasitas 40 feet (kaki) dari Indonesia ke Amerika Serikat per Agustus 2021 sebesar 21.500 dollar AS. Padahal, pada Agustus 2020, biayanya hanya 4.000 dollar AS. Kenaikan biaya pengapalan juga terjadi untuk rute Indonesia ke Eropa, Timur Tengah, Jepang, Korea Selatan, dan Australia.
80 persen pengapalan komoditas ekspor dan impor Indonesia masih menggunakan kapal-kapal asing.
Adapun Indeks Pengapalan Peti Kemas Global (Global Container Freight Index) menunjukkan dalam kurun waktu setahun ini biaya pengiriman peti kemas global melonjak drastis. Per 1 Oktober 2021, rata-rata biaya pengiriman peti kemas 40 kaki sebesar 10.517 dollar AS. Biaya pengapalan itu meningkat 467,42 persen secara tahunan.
Sepanjang Januari-Oktober 2021, rata-rata biaya pengapalan kontainer tertinggi terjadi pada 10 September 2021, yakni sebesar 11.109 dollar AS. Biaya pengapalan itu meningkat 525,99 persen secara tahunan.
Peningkatan biaya pengapalan kontainer yang terjadi sejak awal triwulan IV-2020 itu berpotensi membuat defisit transaksi berjalan Indonesia pada tahun ini semakin melebar. Hal itu mulai tecermin pada triwulan I dan II-2021 yang defisitnya masing-masing sebesar 1,1 miliar dollar AS (0,4 persen dari produk domestik bruto/PDB) dan 2,2 miliar dollar AS (0,8 persen dari PDB).
Kontribusi defisit transaksi pembayaran itu salah satunya disebabkan oleh defisit neraca perdagangan jasa, terutama jasa transportasi barang ekspor dan impor. Bank Indonesia mencatat, defisit jasa transportasi pada triwulan II-2021 meningkat menjadi 1,6 miliar dollar AS dari 1,4 miliar dollar AS pada triwulan sebelumnya.
Peningkatan defisit itu terutama disebabkan meningkatnya pembayaran jasa pengapalan atas impor dari 1,9 miliar dollar AS pada triwulan I-2021 menjadi 2,1 miliar dollar AS pada triwulan II-2021. Peningkatan defisit jasa transportasi itu tertahan penerimaan jasa pengapalan atas ekspor yang meningkat menjadi 600 juta dollar AS pada triwulan II-2021 dari 500 juta dollar AS pada triwulan sebelumnya.
Untuk menjaga ketersediaan kontainer sakaligus menekan defisit transaksi berjalan ke depan atau jangka panjang, lanjut Sobur, pemerintah perlu memiliki perusahaan pelayaran nasional yang mampu menopang ekspor dan impor Indonesia. Untuk jangka pendek, pemerintah diharapkan bisa mendorong badan usaha milik negara (BUMN) untuk memberi insentif kepada swasta nasional untuk mendirikan operator pelayaran jalur utama (main line operator/MLO) di Indonesia.
”Perusahaan MLO ini dapat menjamin ketersediaan kontainer karena bisa menyewa atau mengambil slot leasing kapasitas kapal dan kontainer untuk kebutuhan eksportir Indonesia,” ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman juga berpendapat senada. Indonesia membutuhkan perusahaan pelayaran komoditas ekspor dan impor berbendera Merah Putih yang dapat menggantikan peran kapal-kapal asing secara bertahap.
Memang tidak akan serta merta bisa segera menggantikan peran kapal-kapal asing, tetapi hal itu perlu segera dilakukan. Apalagi Indonesia tengah menggarap tol laut sehingga perusahaan pengapalan komoditas ekspor dan impor ini juga ke depan bisa terintegrasi dengan rute-rute pelayaran barang di dalam negeri.
Indonesia membutuhkan perusahaan pengapalan komoditas ekspor dan impor berbendera Merah Putih yang dapat menggantikan peran kapal-kapal asing secara bertahap.
Adapun terkait dengan kelangkaan kontainer, Adhi menuturkan, pemerintah telah berkomitmen menyediakan 3.500-3.800 kontainer bagi eksportir makanan-minuman olahan. Namun, jumlah kontainer itu masih belum cukup lantaran eksportir makanan-minuman olahan membutuhkan rata-rata 8.000 kontainer per bulan.
”Saat ini, kami tengah melobi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk agar mendapatkan harga kargo pesawat yang relatif terjangkau untuk mengekspor makanan-minuman,” katanya.
Sementara itu, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berkomitmen untuk mengatasi hambatan logistik ekspor dan impor, seperti kelangkaan kontainer, kenaikan biaya pengapalan kontainer, dan tidak tersedianya ruang muat di kapal. Salah satunya adalah dengan mewacanakan pengembangan Indonesian Shipping Enterprises Alliance (Indonesian SEA).
Melalui siaran pers, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan, Indonesian SEA merupakan sebuah aliansi perusahaan pelayaran nasional. Aliansi perusahaan ini dibentuk agar perusahaan-perusahaan pelayaran nasional dapat mengangkut kargo ekspor yang selama ini lebih banyak didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing.
”Dengan adanya Indonesian SEA, ke depan, para pelaku usaha dan industri dapat mengurangi ketergantungan terhadap MLO asing. Perusahaan pelayaran nasional juga dapat melayani pengapalan komoditas ekspor sehingga dapat meningkatkan peran Indonesia di kancah pelayaran internasional,” ujar Budi.
Kemenhub juga akan mengembangkan media komunikasi digital Shipping Enterprises Alliance Communication Media (SEACOMM) bagi perusahaan pelayaran (penyedia ruang muat kapal) dan eksportir (pemilik barang). Dengan SEACOMM, mereka dapat bertukar informasi terkait ketersediaan ruang muat, kuantitas dan jenis produk ekspor, serta asal produk ekspor. Sistem ini akan diintegrasikan di dalam sistem induk Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.