Aktivitas industri nasional menggeliat lagi pascapelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat. Namun, sejumlah kendala perlu diselesaikan guna mengatasi problem deindustrialisasi sekaligus mengoptimalkan peran sektor ini.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja industri manufaktur mulai membaik setelah melambat pada periode Juli-Agustus 2021. Kendati demikian, masih ada sejumlah kendala yang perlu segera dibenahi agar industri manufaktur dapat memainkan peran lebih besar dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional.
Purchasing Managers Index/PMI Manufaktur Indonesia mencapai level 52,2 pada September 2021. Angka itu melonjak dari 43,7 pada Agustus 2021. Angka indeks di atas 50 menunjukkan bahwa industri mengalami ekspansi sekaligus menggambarkan optimisme pelaku industri.
Indeks PMI sudah merosot sejak Juli 2021 ketika varian Delta Covid-19 mulai merebak di Indonesia. Saat itu, IHS Markit melaporkan, indeks PMI Manufaktur mencapai level 40,1 atau menunjukkan fase kontraksi. Pada Agustus 2021, meski sedikit membaik, PMI Manufaktur Indonesia ada di angka 43,7 yang berarti kinerja industri masih terkontraksi.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita melihat capaian itu sebagai bukti ketangguhan dunia industri di tengah pandemi Covid-19. Sejak awal, pemerintah sudah memprediksi bahwa kontraksi sektor manufaktur hanya akan terjadi selama pengetatan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). ”Menurunnya kasus Covid-19 dan pelonggaran PPKM mendorong kembali kegiatan industri,” ujarnya, Jumat (1/10/2021).
Ia meyakini, melalui kebijakan pemberian izin operasional dan mobilitas kegiatan industri (IOMKI), keberlanjutan kinerja industri dapat dijaga di tengah pandemi. Dengan pemberian IOMKI serta menurunnya kasus harian Covid-19, sektor industri diyakini dapat mengoptimalkan peran sebagai motor pemulihan ekonomi nasional.
Meski indeks kembali membaik, secara umum pengembangan industri manufaktur menghadapi tantangan dengan adanya gejala deindustrialisasi dini atau penurunan peran industri manufaktur yang signifikan.
Peran sektor manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun sejak 2015. Sebagai perbandingan, pada tahun 2008, kontribusi sektor pengolahan terhadap PDB nasional masih di angka 27,8 persen. Tahun 2020, peranannya menurun pada level 19,8 persen.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Agraria, Tata Ruang dan Kawasan Sanny Iskandar mengatakan, idealnya, industri manufaktur dapat memberi kontribusi hingga 30 persen lebih terhadap PDB. Namun, akhir-akhir ini, kondisi tersebut terus menurun.
Menurut dia, masih ada beberapa persoalan dasar yang perlu diatasi agar reindustrialisasi dapat dijalankan dan deindustrialisasi dini dapat dicegah. Beberapa kendala yang dibenahi adalah kualitas sumber daya manusia (SDM), efektivitas utilitas industri antara lain melalui harga gas dan listrik yang lebih terjangkau, serta regulasi dan birokrasi yang tumpang tindih.
”Kalau faktor-faktor itu dibenahi, itu akan memengaruhi upaya reindustrialisasi dan mendorong transformasi ekonomi berjalan lebih baik,” katanya.
Menurut Sanny, kondisi industri manufaktur saat ini tidak bisa dijadikan indikasi kemajuan industri. Lepas dari pengaruh pandemi Covid-19, indikator kemajuan industri adalah pertumbuhan stabil yang terus meningkat dari tahun ke tahun. ”Oleh karena itu, kita tidak boleh lengah, meski saat ini mulai membaik lagi. Kendala-kendala yang ada harus dibenahi,” ujar Sanny.
Pengembangan kawasan
Terkait hal itu, Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Eko Cahyanto mengatakan, kehadiran kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus sebenarnya penting karena dapat mendorong penyebaran industri bernilai tambah.
Akan tetapi, pemerintah masih perlu mempercepat pengembangan kawasan-kawasan tersebut. Selain pembangunan infrastruktur, fasilitas insentif khusus di tiap kawasan untuk menarik investor menjadi salah satu yang sedang diupayakan pemerintah.
Eko mencontohkan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) bagi industri seharga 6 dollar AS per metrik british thermal unit (MMBTU) yang saat ini dinanti pelaku industri. ”Sebenarnya ada beberapa investor yang sudah berkomitmen masuk ke beberapa KEK (kawasan ekonomi khusus). Tetapi, mereka masih bertanya-tanya apakah akan mendapat harga gas 6 dollar AS atau tidak?” kata Eko.
Kebijakan itu sedang diusulkan Kementerian Perindustrian agar diperluas ke berbagai sektor industri. Saat ini, baru tujuh sektor industri yang mendapatkan harga gas bersubsidi, yaitu industri pupuk, oleokimia, keramik, petrokimia, baja, kaca, dan sarung tangan karet. Ke depan, harga gas itu diharapkan bisa diterapkan juga di 13 sektor industri lain, bahkan ke seluruh industri secara merata.
Menurut Eko, fasilitas untuk pengembangan industri tidak cukup hanya di awal ketika investor memutuskan beroperasi, tetapi berkelanjutan agar bisa mendorong daya saing industri.
”Industri itu butuh daya saing, ketika mereka masuk, pertimbangannya bukan hanya berapa capital expenditure (capex) atau modal awal yang harus mereka keluarkan untuk memulai investasi, melainkan berapa besar operasional expenditure (opex) yang akan keluar sepanjang mereka beroperasi nanti,” katanya.
Beberapa kendala pengembangan industri, ujarnya, sudah mulai diatasi dengan kebijakan deregulasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, menurut Eko, implementasi efektif dari UU Cipta Kerja juga masih terdampak pandemi Covid-19.
”Investasi kita naik, tetapi semua masih wait and see, masih menunggu akan seperti apa pandemi ini. Covid-19 berpengaruh ke segala konteks, jadi kita perlu sabar sebentar sembari mengevaluasi dan berbenah,” katanya.