Pengelolaan Kawasan Ekonomi Khusus Perlu Lebih Spesifik
Regulasi dan fasilitas terkait kawasan ekonomi khusus cenderung bersifat umum serta tidak menjawab potensi dan kebutuhan daerah. Kelemahan dalam desain dan tata kelola itu membuat sebagian besar KEK berjalan lambat.
Oleh
BM Lukita Grahadyarin, Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan kawasan ekonomi khusus atau KEK perlu mengacu pada kekuatan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di kawasan terkait. Lambannya pengembangan KEK selama satu dekade ini dinilai merupakan dampak dari pengelolaan KEK yang belum spesifik menjawab potensi dan kebutuhan tiap daerah.
Regulasi dan fasilitas kawasan ekonomi khusus dinilai perlu disiapkan secara spesifik sesuai dengan potensi daerah di setiap kawasan. Mayoritas KEK belum berkembang sesuai dengan rencana.
Hingga kini, dari total 15 KEK yang sudah ada, hanya 4 KEK yang dinilai berjalan sesuai dengan rencana, yaitu KEK Galang Batang, KEK Mandalika, KEK Kendal, dan KEK Sei Mangkei. Sementara 10 KEK lainnya belum berjalan optimal dan satu KEK telah diusulkan dicabut karena berjalan di tempat.
Founder and Chairman Jababeka Group Setyono Djuandi Darmono mengatakan, setiap KEK memiliki kekhasan potensi dan keunggulan sumber daya alam. Agar setiap KEK berkembang sesuai potensinya, diperlukan regulasi dan fasilitas yang khusus sesuai dengan kekuatan daerah tersebut, serta disesuaikan dengan kebutuhan investor.
Pengembangan KEK memerlukan regulasi yang kondusif terhadap iklim investasi serta ditopang fasilitas yang menarik minat investor. Menurut dia, regulasi dan fasilitas terkait dengan KEK selama ini cenderung masih bersifat umum sehingga tidak mampu menarik minat investor.
”Setiap KEK itu harus punya peraturan khusus yang dibuat sesuai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di daerah terkait, juga sesuai kemauan pasar. Kegagalan kita dengan KEK itu karena peraturan kita tidak dibuat khusus sesuai potensi tiap daerah,” kata Darmono dalam diskusi daring dengan Kompas, Selasa (21/9/2021).
Saat ini, Jababeka Group menggarap 3 dari 15 KEK yang ditetapkan pemerintah, yakni KEK Tanjung Lesung, KEK Kendal, dan KEK Morotai. KEK Kendal termasuk dalam kawasan yang berkembang pesat, sementara pengembangan KEK Morotai dan Tanjung Lesung masih di bawah target.
Darmono mencontohkan, KEK Morotai, yang berjarak 2.500 kilometer dari Jakarta, masih sulit berkembang selama 10 tahun terakhir karena hambatan regulasi dan iklim usaha. KEK Morotai yang diarahkan untuk industri perikanan dan pariwisata itu belum berjalan optimal. Sampai saat ini belum ada investor yang masuk dan menggarap industri perikanan tangkap dan industri pengolahan ikan di kawasan tersebut.
Menurut dia, pengembangan industri pengolahan ikan di KEK Morotai memerlukan dukungan kebijakan yang mampu menarik industri skala besar untuk menggarap sektor perikanan tangkap, pengolahan ikan, hingga kesiapan bandar udara internasional serta proses bea dan cukai untuk ekspor perikanan. ”(Kelengkapan) ini semua belum ada,” kata Darmono.
Di sisi lain, peruntukan KEK jangan sampai tumpang tindih dengan KEK lainnya sehingga menghambat investasi. Akibat peruntukan yang tidak bersifat spesifik itu, muncul kecenderungan KEK saling bersaing satu sama lain.
”Jangan sampai kita saling kanibal, antar-KEK bersaing sendiri. Pemerintah harus jelas menentukan peruntukannya, setiap daerah punya kekuatan sendiri,” ujarnya.
Sebelum ini, Dewan Nasional KEK telah melakukan evaluasi terhadap 15 KEK yang sudah berjalan. Melihat pengembangan sebagian besar KEK yang terhambat, Pelaksana Tugas Sekretaris Dewan Nasional KEK Elen Setiadi mengatakan, pemerintah akan lebih selektif dalam menetapkan KEK-KEK baru ke depan. Pasalnya, tidak semua pengusul memiliki kapasitas pendanaan serta jaringan memadai untuk mengembangkan KEK (Kompas, 21/9/2021).
Belum serius
Pengajar di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Achmad Fauzi, menilai, pemerintah belum serius mengembangkan KEK. Meski sudah ada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang membenahi regulasi terkait KEK, persoalan yang ada sudah terlalu kompleks dan membutuhkan pendekatan solusi yang lebih spesifik.
”Tidak cukup kalau pemerintah pusat sampai daerah hanya membuat regulasi dan menetapkan KEK, tetapi tidak ada pendampingan khusus, terutama untuk KEK yang masih sangat baru dan ada di luar Jawa,” kata Fauzi.
Ia menilai, pendekatan pemberian fasilitasi insentif bagi pelaku usaha saat ini masih bersifat umum. Padahal, kebutuhan investor di tiap sektor itu berbeda-beda. Tidak semua investor membutuhkan insentif fiskal untuk menjalankan usahanya. Di beberapa daerah, seperti di luar Jawa, yang menjadi kebutuhan utama adalah ketersediaan infrastruktur.
Menurut dia, pembangunan KEK di luar Jawa belum ditopang fasilitas dan insentif yang memadai. Akibatnya, investor masih tetap memilih Jawa sebagai tujuan investasi. ”Pemerintah tidak konsisten mengembangkan KEK di Jawa, padahal seharusnya tujuan KEK itu untuk pemerataan pembangunan di luar Jawa,” kata Fauzi.
Di sisi lain, pengembangan KEK memerlukan kolaborasi antara pemerintah, kalangan pengusaha, dan perguruan tinggi. Ini menjadi peluang bagi perguruan tinggi untuk memberikan gagasan dan inovasi untuk mengembangkan KEK.
Pengajar di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Eko Sakapurnama, menilai, kontribusi perguruan tinggi diperlukan untuk membangun KEK-KEK baru di Indonesia. Riset dan inovasi perguruan tinggi harus bersinergi untuk membangun keunggulan setiap KEK sehingga terbentuk daya saing yang memiliki diferensiasi.
”Kegagalan dan persoalan sejumlah KEK menjadi tamparan bagi perguruan tinggi, yakni sejauh mana peran kampus dalam membangun KEK,” katanya.