Sebagian besar generasi milenial berusaha mewujudkan impian memiliki rumah dengan menambah penghasilan, menabung uang muka, mengubah gaya hidup, hingga menambah penghasilan.
Oleh
M Puteri Rosalina/Albertus Krisna/Satrio Pangarso/Fransiskus Wisnu
·4 menit baca
Memiliki rumah tapak menjadi impian bagi kaum milenial yang telah berkeluarga. Strateginya tak hanya dengan investasi/menabung, tetapi juga mencari penghasilan tambahan, serta mengubah gaya hidup.
Namun, dari analisis data penghasilan, zona nilai tanah, dan harga properti di kawasan Jabodetabek, generasi Y atau milenial, yang lahir 1980-1995 dan bergaji di bawah Rp 10 juta per bulan, hanya bisa memiliki rumah dalam radius 30-50 kilometer dari pusat Jakarta.
Dari wawancara terhadap milenial yang tinggal di kawasan Jabodetabek tentang pandangan dan strategi mereka mengenai kepemilikan rumah, diketahui ada perbedaan pandangan di antara mereka yang belum menikah dengan yang sudah berkeluarga.
Kebutuhan hidup
Generasi Y yang telah berkeluarga menilai, memiliki rumah sendiri adalah salah satu kebutuhan hidup yang harus dipenuhi setelah menikah. Budi (40), karyawan swasta, menilai rumah harus dimiliki karena menjadi investasi dan bagian dari status pencapaian hidup.
”Masa sudah berumah tangga dan merantau jauh dari kampung halaman, enggak sanggup membeli rumah,” sebut Budi yang memiliki rumah di Bekasi.
Hal senada disebutkan Bondan (31), yang baru setahun menempati rumahnya. Karyawan swasta tersebut menyebutkan, rumah adalah bagian dari kehidupan manusia yang harus dimiliki.
Masa sudah berumah tangga dan merantau jauh dari kampung halaman, enggak sanggup membeli rumah.
Dia menceritakan rasanya cukup puas bisa memiliki rumah sendiri, dibandingkan ketika menyewa rumah. ”Bagaimanapun, rumah milik sendiri, bisa kita rawat, seperti aku merawat istri dan anak,” katanya.
Kebahagiaan Bondan senada dengan penelitian ”Pengaruh Status Kepemilikan Rumah pada Persepsi Kepuasan Berhuni (Rizki dkk, 2014)”. Penelitian ini menyebutkan keluarga yang menghuni rumah dengan status hak milik memiliki kepuasan lebih tinggi ketimbang yang menyewa, menumpang, atau menghuni rumah orangtua.
Menunda
Bagi milenial yang belum berkeluarga, rumah menjadi salah satu impian dan perwujudan kemandirian lepas dari orangtua. Namun, karena harga belum terjangkau, para pekerja muda bergaji setara upah minimum provinsi (UMP) Jakarta ini terpaksa menunda impian.
Evania (27), karyawan swasta di Jakarta Selatan, mendambakan punya rumah sendiri. Ia sudah berselancar di situs jual beli rumah hingga datang ke pameran properti untuk mencari informasi rumah dengan harga sekitar Rp 400 juta.
Namun, pencarian rumah dambaan belum berbuah manis. Sebagian besar rumah yang terjangkau gaji UMP Jakarta ada di daerah penyangga dan belum terakses angkutan massal.
Belum lagi ketidakpastian karena pandemi Covid-19. Ia khawatir terkena pemotongan gaji atau pemutusan hubungan kerja. ”Rencana dan budget belum seiring,” ujarnya. Pilihan paling realistis saat ini adalah indekos atau mengontrak rumah yang terjangkau angkutan umum sembari menabung.
Beda halnya dengan Sekar (28), yang lebih menunda pembelian rumah karena merasa selama belum berkeluarga, rumah belum dibutuhkan. Selama ini gajinya yang di atas UMP Jakarta, mayoritas digunakan untuk investasi.
Dia berpandangan, memiliki rumah itu merepotkan. ”Kalau sewa kan lebih enak, rumah sudah bobrok tinggal ditinggal pergi saja,” ujarnya.
Gaya Hidup
Generasi milenial yang merencanakan membeli rumah mengamini, langkah utama yang harus dilakukan adalah mengubah gaya hidup. Penghasilan yang biasanya digunakan untuk nongkrong di kafe atau membeli berbagai jenis barang fashion digunakan untuk menabung uang muka rumah.
Prita (28) memilih untuk mengubah kebiasaan yang dulu dilakukan sebelum menikah. ”Aku mengorbankan kebahagiaan-kebahagiaan seperti jalan keluar ke kafe, beli sepatu atau baju,” ujarnya ketika ditanya apa yang harus dikorbankan untuk membeli rumah.
Setelah menikah, Prita merasa lebih selektif dalam mengeluarkan uang. Sebagian penghasilannya disisihkan untuk ditabung sebagai modal membayar uang muka pembelian rumah. Sisanya untuk membeli kebutuhan perkakas rumah tangga di rumah kontrakannya.
Aku mengorbankan kebahagiaan-kebahagiaan seperti jalan keluar ke kafe, beli sepatu atau baju.
Langkah yang sama juga dilakukan oleh milenial yang belum berkeluarga, seperti Evania dan Newton (27). Sembari menabung untuk uang muka rumah, mereka memangkas pengeluaran untuk nongkrong dan menahan diri untuk tidak gonta-ganti peralatan elektronik.
Strategi
Meski memiliki hunian dirasa cukup sulit bagi pekerja muda Jakarta, ada beberapa anak milenial yang berhasil mencapai angan tersebut dengan memiliki rumah di kawasan Bodetabek.
Budi contohnya, dengan gaji UMP Jakarta yang delapan tahun lalu sekitar Rp 2,3 juta, ia bisa membeli rumah seharga Rp 200 juta di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi. Namun, Budi mengaku terbantu oleh penghasilan istrinya yang juga bekerja sebagai karyawan.
Selain itu, Budi telah menyiapkan uang muka yang cukup besar, hasil menabung setelah 10 tahun bekerja. Kemudahan dari bank melalui kredit multiguna dengan sertifikat rumah sebagai jaminan dimanfaatkan Budi untuk menutup sisa pembayaran.
Hal yang sama juga dilakukan Anna (30). Selama 7 tahun bekerja, dia menyisihkan penghasilan untuk menabung uang muka pembelian rumah. Kebiasaannya menabung ini sudah dimulai sejak kecil dan terus dilakukan hingga sudah bekerja.
Nilai tabungannya yang cukup besar tersebut cukup membantunya untuk membeli rumah di kawasan Bambu Apus Jakarta Timur beberapa bulan lalu. Dia menyarankan agar warga milenial lainnya juga mempunyai kebiasaan menabung seperti dirinya.
Sebagai milenial yang sudah memiliki rumah, Bondan menyarankan ke sesama generasinya yang telah memiliki penghasilan, segeralah membeli hunian sendiri. Apalagi sekarang banyak kemudahan yang diberikan bank dan pengembang. ”Beli rumah itu harus nekat, yang penting dijalani dulu semua prosesnya sampai selesai,” katanya.