Akumulasi defisit bulanan karena produksi lebih kecil dibandingkan permintaan dinilai memicu lonjakan harga jagung pakan beberapa bulan terakhir. Para peternak unggas berharap pemerintah mengatasi problem tersebut.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga jagung yang terjadi sejak April hingga saat ini dinilai karena produksi lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhannya. Kondisi itu memberatkan peternak ayam telur dan ayam potong yang memerlukan jagung untuk pakan ternak. Cadangan jagung perlu diperkuat sehingga pasokan dan harga bisa lebih stabil.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi ”Tersandung Data Jagung” yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) secara virtual, Kamis (30/9/2021). Hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Isy Karim, dan Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik (BPS) M Habibullah.
Selain itu, hadir pula Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Perum Bulog Mokhamad Suyamto, Ketua Presidium Pinsar Petelur Nasional (PPN) Yudianto Yosgiarso, Ketua Dewan Pembina Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Tri Hardiyanto, dan Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) atau RNI yang juga Ketua Holding BUMN Kluster Pangan Arief Prasetyo Adi.
Berdasarkan data dari GOPAN, harga jagung pada Januari-Maret 2021 berada di kisaran Rp 4.500-Rp 4.600 per kilogram (kg). Kenaikan harga mulai terjadi April, yakni pada harga Rp 5.172 per kg, lalu melonjak pada Mei pada harga Rp 5.940 per kg. Setelah itu, yakni pada Juni sampai September, harga jagung selalu berkisar di antara Rp 5.800 dan Rp 6.000 per kg.
Pola kenaikan harga jagung itu juga serupa dengan data harga jagung yang dirilis BPS. Pada Januari-Maret 2021, harga jagung di tingkat produsen berkisar Rp 4.900-Rp 4.950 per kg. Pada April 2021, harga jagung mulai terkerek menjadi Rp 5.053 per kg. Harga itu terus meningkat hingga data terakhir yang dimiliki BPS, yakni Juli 2021 yang sebesar Rp 5.253 per kg.
Harga itu sudah lebih tinggi dibandingkan dengan harga acuan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam Peraturan Menterian Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Dalam peraturan itu, harga acuan penjualan jagung di tingkat konsumen adalah ditetapkan Rp 4.500 per kg.
Kenaikan harga jagung terjadi pada periode yang sama ketika terjadi defisit, yakni ketika produksi lebih kecil dibandingkan kebutuhannya. Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian sampai 31 Juli 2021, seperti dikutip Kementerian Perdagangan, defisit neraca bulanan komoditas jagung pipilan kering nasional dengan kadar air 14 persen terjadi sejak Mei hingga akhir September ini.
Defisit jagung pada bulan Mei mencapai 242.214 ton. Sebab, produksinya mencapai 1,09 juta, sementara kebutuhannya 1,33 juta ton. Sementara pada Juni, defisit meningkat menjadi 291.573 ton, lalu pada Juli mencapai 296.116 ton.
Pada Agustus 2021, prognosa menunjukkan, defisit sedikit turun menjadi 188.524 ton. Namun, pada September 2021, defisit kembali meningkat menjadi 295.094 ton karena produksi tercatat 918.158 ton, sementara kebutuhannya mencapai 1,21 juta ton.
”Kenaikan harga jagung ini tentu memberatkan peternak ayam. Sebab, ongkos pakan ternak juga ikut naik. Sementara daya beli masyarakat sedang rendah, jadi kami tidak bisa serta merta menaikkan harga produk hilir peternakan, seperti telur dan ayam potong,” ujar Tri Hardiyanto.
Isy Karim menjelaskan, kenaikan harga komoditas biasanya disebabkan dua hal, yakni jika bukan karena harga komoditas internasional yang sedang naik, berarti karena jumlah pasokannya yang berkurang dan permintaannya tetap. Dengan melihat harga jagung internasional yang tidak mengalami gejolak, kenaikan jagung dalam negeri berarti disebabkan oleh berkurangnya pasokan.
Sejak April 2021, lanjut Isy yang mengutip data Badan Ketahanan Pangan, panen jagung memang sudah berkurang sehingga harga jagung mulai naik. Sebab, pasokan semakin menurun, sedangkan kebutuhannya tetap. Hal ini yang memicu defisit pada bulan-bulan berikutnya hingga saat ini.
”Sejak April 2021 hingga saat ini, pantauan kami menunjukkan, pabrik pakan maupun peternak mandiri terus mengalami kesulitan memperoleh pasokan jagung dengan harga wajar,” ujar Karim.
Pencadangan
Suyamto dari Perum Bulog menjelaskan, sampai saat ini pihaknya belum mendapatkan penugasan dari pemerintah untuk masuk ke pasar untuk menjaga keseimbangan harga jagung. Pihaknya mengakui, tidak seperti beras yang sudah siap tersedia di gudang, Bulog kesulitan mencari jagung untuk pencadangan.
Oke menjelaskan, tidak seperti beras di mana Bulog sudah menyiapkan cadangan di berbagai gudang miliknya, komoditas jagung lebih sulit dicari. Padahal, dalam kondisi seperti ini, intervensi dari Bulog bisa menjaga pasokan sehingga menjaga kestabilan harga. “Cadangan ini yang harus dikuasai,” ujar Oke.
Menurut Arief Prasetyo Adi, apabila sudah resmi beroperasi, pihaknya siap berupaya menyinergikan ekosistem jagung nasional sehingga mendukung kestabilan pasokan dan harga. Salah satunya melalui keberadaan salah anggota holding BUMN kluster pangan, yakni PT Berdikari (Persero), yang sejak tahun 2018 mengembangkan bisnis peternakan ayam.
Sebelumnya, pada Rabu (29/9/2021), Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menegaskan, stok jagung dalam negeri aman. Pemerintah bahkan mengklaim akan kelebihan stok atau surplus 2,85 juta ton jagung pada akhir 2021. Terkait jeritan para peternak ayam, Kementerian Pertanian berencana mendekatkan sentra produksi jagung dengan para peternak agar distribusi pakan lebih lancar.