Antisipasi Lonjakan Harga Minyak dan Gas Bumi Global
Harga komoditas minyak mentah dan gas dunia melonjak signifikan karena kenaikan permintaan yang salah satunya dipicu oleh pemulihan aktivitas ekonomi sejumlah negara.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu mengantisipasi kenaikan harga minyak mentah dan gas bumi di pasar global akhir-akhir ini. Pasalnya, kenaikan harga dua komoditas itu bisa memengaruhi alokasi subsidi energi di Indonesia. Antisipasi yang diambil pemerintah sebaiknya bersifat jangka panjang.
Berdasar laman Bloomberg, harga minyak mentah jenis Brent pada Rabu (29/9/2021) sore tercatat 78,43 dollar AS per barel. Pada perdagangan Selasa (28/9), harga Brent sempat tembus 80 dollar AS per barel atau yang tertinggi sejak 2018. Adapun harga gas alam tercatat 5,69 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU).
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan, lonjakan harga minyak dan gas bumi (migas) biasa terjadi. Ia menilai lonjakan itu bersifat jangka pendek, tidak hanya didorong oleh faktor pasokan dan permintaan, tetapi juga spekulasi. Misalnya, karena tensi hubungan Amerika Serikat dengan China atau Amerika Serikat dengan Rusia. Suasana geopolitik dunia turut memengaruhi harga migas.
”Kenaikan harga komoditas energi tersebut juga berpotensi membengkakkan subsidi energi di dalam negeri. Karena itu, antisipasi Pemerintah Indonesia harus bersifat jangka panjang. Untuk gas bumi, misalnya, impor elpiji bisa digantikan dengan pemanfaatan gas alam lewat pembangunan infrastruktur jaringan gas bumi yang masif,” tutur Moshe saat dihubungi, Rabu.
Naiknya harga komoditas energi, termasuk batubara, saat ini antara lain disebabkan oleh pulihnya ekonomi sejumlah negara dan mulai beroperasinya berbagai sektor industri sehingga menaikkan permintaan komoditas energi. Permintaan energi juga meningkat di sejumlah negara yang mulai memasuki musim dingin.
Lonjakan harga minyak dan gas bumi (migas) biasa terjadi. Ia menilai lonjakan itu bersifat jangka pendek, tidak hanya didorong oleh faktor pasokan dan permintaan, tetapi juga spekulasi.
Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat, solusi atas kenaikan harga migas pada dasarnya tidak ada yang instan. Di sisi hulu harus ada peningkatan produksi migas nasional, sedangkan di sisi hilir perlu percepatan diversifikasi dan konversi energi ke nonmigas dan pengendalian konsumsi agar impor migas berkurang.
”Solusi praktis jangka pendeknya sebetulnya ada, tetapi baru sebatas agar bisa mengurangi tekanan fiskal berupa beban subsidi di APBN, yaitu dengan penyesuaian harga jual bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Namun, langkah ini tidak populer dan perlu dikalkulasi dampak ekonomi dan sosial politiknya,” ujar Pri.
Terkait penyesuaian harga BBM, menurut anggota Komisi VII DPR dari Partai Gerindra, Kardaya Warnika, langkah itu memang bisa mengurangi beban fiskal. Namun, beban masyarakat akan meningkat di tengah impitan ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19. Ia berharap pemerintah berhati-hati terkait kebijakan harga BBM.
”Fluktuasi harga minyak mentah dan gas bumi dunia bak siklus yang selalu terulang. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus punya antisipasi dan strategi jangka panjang. Sebagai contoh, pemerintah perlu memetakan sektor apa yang masih dominan atau membutuhkan minyak dan gas bumi. Contoh lainnya, pemerintah seharusnya segera mengoptimalkan peran energi terbarukan agar tak bergantung pada energi fosil,” ucap Kardaya.
Defisit
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sepanjang Januari-Juni 2021, neraca perdagangan migas Indonesia mengalami defisit hampir 5,7 miliar dollar AS. Defisit terjadi sejak Januari 2021 senilai 668 juta dollar AS, dan berkurang menjadi 443 juta dollar AS pada Februari 2021. Defisit kembali naik pada bulan berikutnya menjadi 1,37 miliar dollar AS. Situasi defisit neraca perdagangan terus berlanjut pada April 2021 dengan 1,06 miliar dollar AS, Mei 2021 sebesar 1,09 miliar dollar AS, dan Juni 2021 senilai 1,06 miliar dollar AS.
Di sisi hulu harus ada peningkatan produksi migas nasional, sedangkan di sisi hilir perlu percepatan diversifikasi dan konversi energi ke nonmigas dan pengendalian konsumsi agar impor migas berkurang.
Berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2022, subsidi energi pada 2022 direncanakan terdiri dari subsidi BBM dan elpiji 3 kilogram sebesar Rp 77,55 triliun, serta subsidi listrik sebesar Rp 56,48 triliun. Secara rinci, besaran subsidi solar ditetapkan sebesar Rp 500 per liter.
Subsidi yang mendapat sorotan adalah subsidi elpiji 3 kg. Pasalnya, mekanisme pendistribusian elpiji jenis ini bersifat terbuka. Siapa pun bisa membeli elpiji bersubsidi tersebut kendati dalam badan tabung tertulis ”Hanya untuk Masyarakat Miskin”. Pemerintah telah merencanakan menerapkan distribusi tertutup elpiji 3 kg mulai tahun depan agar tepat sasaran.
Terkait pendistribusian elpiji bersubsidi ini, Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Pungky Sumadi mengatakan, pemerintah akan mengubah skema subsidi dari berbasis komoditas menjadi berbasis orang atau penerima. Subsidi berbasis penerima akan mengacu pada data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) yang saat ini sedang diperbaiki Kementerian Sosial.
”Pelaksanaan transformasi dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan kesiapan data. DTKS nantinya akan terintegrasi dengan Kartu Sembako. Nantinya penerima Kartu Sembako bisa mendapatkan elpiji 3 kg,” katanya (Kompas, 3/9).