Kecil, Dampak ”Tapering” The Fed terhadap Pasar Keuangan Indonesia
Pelaku pasar dan masyarakat tidak perlu terlalu mengkhawatirkan gejolak keuangan yang mungkin ditimbulkan dari ”tapering” atau pengetatan kebijakan moneter oleh bank sentral AS.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
Kompas
Gedung Bank Indonesia di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan ekonom meminta pelaku pasar keuangan dan masyarakat untuk tidak khawatir terhadap kemungkinan terjadinya kembali taper tantrum seperti pada 2013. Sebab, cadangan devisa Indonesia saat ini dalam posisi sangat baik untuk menciptakan stabilitas keuangan. Selain itu, bank sentral Amerika Serikat juga selalu mengomunikasikan rencana melaksanakan tapering sehingga membuat pasar lebih siap dalam mengantisipasinya.
Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Raden Pardede memperkirakan, dampak tapering relatif kecil dan tidak akan menimbulkan gejolak besar seperti pada 2013 lalu.
”Bila ditanya bagaimana dampak tapering Amerika Serikat? Saya kira akan relatif kecil dampaknya. Saya tidak terlalu mengkhawatirkan dampaknya ini ke Indonesia,” ujar Raden pada webinar bertajuk ”What Will Happen in 2022-Economic Outlook” sebagai rangkaian acara Wealth Wisdom yang digelar Bank Permata, Sabtu (18/9/2021).
Ia menjelaskan, cadangan devisa Indonesia dalam posisi sangat baik untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan keuangan. Per 31 Agustus 2021, cadangan devisa Indonesia sebesar 144,78 miliar dollar AS. Jumlah ini sudah termasuk tambahan alokasi Special Drawing Rights atau SDR senilai 4,46 miliar SDR yang setara dengan 6,31 miliar dollar AS dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Selain itu, neraca transaksi berjalan juga mencatat hasil yang positif. Ekspor Indonesia terus berkembang hingga bisa menambah cadangan devisa.
Pada pasar obligasi, tingkat imbal hasil (yield) dari obligasi negara untuk 10 tahun berada pada angka 6 persen, jauh lebih tinggi dari imbal hasil di AS yang sekitar 1 persen. Porsi kepemilikan asing di surat utang pemerintah pun kecil.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Ilustrasi dana perbankan
Artinya, lanjut Raden, pengetatan kebijakan moneter dengan mengurangi likuiditas oleh bank sentral AS atau The Federal Reserves (The Fed) tidak akan berdampak besar dan tidak akan menimbulkan gejolak seperti 2013 lalu. Sebab, kepemilikan asing pada pasar obligasi Indonesia itu sudah tidak terlalu besar dan banyak dipegang oleh investor dalam negeri.
”Taper itu ibarat kita pergi ke tukang jahit untuk merampingkan ukuran kita. Tantrum itu menangis. Jadi itu seperti menangis karena dipaksa untuk merampingkan ukuran. Nah kalau postur tubuh ini sudah langsing, mau dirampingkan pun tak perlu paksaan. Jadi tak perlu menangis,” ujar Raden memberikan analogi soal taper tantrum.
Hal senada juga dikemukakan Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede. ”Akan ada taper dari kebijakan pengetatan moneter oleh The Fed, tetapi tanpa tantrum,” ujar Josua dalam webinar bertajuk ”Maintaining Economic Growth Under Uncertainity”, juga dalam rangkaian acara Wealth Wisdom, Sabtu.
Ia mengatakan, komunikasi yang rutin dan jelas dari The Fed soal rencana melakukan pengetatan moneter dan menaikkan tingkat suku bunga acuan telah membuat pasar menjadi lebih siap dan antisipatif terhadap kebijakan itu.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini mengatakan, meski dampaknya diprediksi tidak akan sebesar 2013, tapering dari The Fed tetap perlu diantisipasi dengan hati-hati. Sebab, gejolak keuangan ini bisa saja mengganggu momentum pemulihan ekonomi yang sudah mulai terjadi.
”Pada triwulan kedua kita tumbuh bagus sekali. Triwulan ketiga saya prediksi tetap tumbuh positif secara tahunan walau nilainya tidak sebesar di triwulan kedua, sedangkan di triwulan keempat ekonomi akan kembali bertumbuh lebih cepat lagi. Momentum ini yang harus dijaga,” ujar Hendri.
Suku bunga
Merespons potensi terjadinya tapering, Josua menilai Bank Indonesia (BI) belum perlu terburu-buru menaikkan tingkat suku bunga acuannya. Salah satunya disebabkan inflasi nasional yang hanya 1,59 persen sehingga belum memerlukan kebijakan pengetatan moneter. Di sisi lain, dunia usaha juga memerlukan stimulus pemulihan ekonomi dari tingkat suku bunga acuan yang rendah.
Hal senada juga dikemukakan Raden. Ia mengatakan, meskipun kelak The Fed menaikkan suku bunga, BI belum perlu terburu-buru untuk menaikkan suku bunga. Sebab, cadangan devisa Indonesia dalam posisi sangat baik dan didukung oleh kinerja ekspor yang positif.
”Ruang bagi BI ini sangat luas, ample, lebih dari cukup sehingga BI tidak perlu menaikkan suku bunga,” ujar Raden.