Hunian Terintegrasi dengan Konektivitas Tetap Diminati
Pengembangan kawasan hunian yang terintegrasi dengan konektivitas publik (”transit oriented development”/TOD) masih diminati oleh pengembang properti. Pengembangan kawasan seperti ini sejalan dengan tren kota kompak.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hunian yang terintegrasi dengan konektivitas atau transit oriented development (TOD) berpeluang menjadi lokasi tempat tinggal yang diminati selama dan pascapandemi Covid-19. Namun, pandemi mendorong penyesuaian desain dan ukuran hunian TOD.
Head of Research and Consultancy Savills Indonesia Anton Sitorus, saat dihubungi, Kamis (16/9/2021), di Jakarta, mengatakan, sejak 1990-an, perencanaan kota-kota di dunia mengarah ke kota terpadu (compact city). Konsep perencanaan kota seperti ini mendukung gagasan keberlanjutan lingkungan. Pusat bisnis hingga hunian beserta moda transportasinya terintegrasi.
”Pengembangan TOD membantu banyak aspek kehidupan pekerja, bukan semata-mata mengenai kemudahan dan kenyamanan bekerja. Ada tidaknya pandemi Covid-19, TOD tetap menjanjikan di masa depan. Hanya saja, kritiknya terletak pada harga jual atau sewa huniannya yang semestinya tidak ditentukan oleh pengembang, melainkan pasar,” ujar Anton.
Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Andy Simarmata sepakat bahwa hunian TOD masih akan tetap menarik dan dicari warga. Akan tetapi, pengembang properti yang sudah merencanakan proyek hunian TOD perlu menyesuaikan desain dan ukuran bangunan hunian. Sebab, pandemi Covid-19 berdampak pada perubahan perilaku konsumen yang menuntut agar patuh pada protokol kesehatan Covid-19.
”Hunian vertikal selama pandemi Covid-19 mengalami penurunan tingkat hunian. Kemungkinannya, masyarakat khawatir tinggal di hunian vertikal itu padat penghuni, apalagi jika bangunannya semakin tinggi,” kata Andy.
Menurut Andy, penyesuaian hunian TOD ke depan, misalnya berupa penambahan fasilitas protokol kesehatan dalam satu bangunan gedung hunian. Penyesuaian lain berupa ukuran bangunan yang dibuat dengan lebih mempertimbangkan perhatian calon pengguna terkait kesehatan, seperti ketinggian bangunan dan ruang terbuka hijau lebih banyak.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Bisnis PT Adhi Commuter Properti (ADCP) Rozi Sparta di sela-sela pertemuan dengan media nasional, Kamis, berpendapat, dari sisi makroekonomi, proporsi penduduk muda di Indonesia yang lebih besar akan memengaruhi permintaan terhadap sektor properti, seperti hunian TOD, di masa mendatang.
Pemberian vaksinasi Covid-19 juga diyakini akan meningkatkan kembali mobilitas masyarakat. Dengan begitu, perekonomian beranjak pulih dan berdampak positif ke industri properti.
”Pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 berimbas ke industri properti. Namun, kami mengamati pada triwulan III dan IV mulai ada perbaikan kondisi. Ini mungkin disebabkan oleh pelaksanaan vaksinasi Covid-19,” ujarnya.
ADCP memiliki tiga lini bisnis, yakni LRT City, Adhi City, dan Member of LRT City. Semuanya merupakan hunian vertikal dan rumah tapak dengan konsep TOD. Ketiga lini bisnis tersebut terintegrasi dengan proyek kereta ringan (LRT) Jabodebek ataupun moda transportasi umum lainnya, seperti kereta komuter. Dari ketiga lini bisnis ini, ADCP sekarang mempunyai 12 proyek.
Dari 17 titik area proyek LRT Jabodebek, ADCP akan memiliki sembilan proyek hunian dengan konsep TOD. Dua di antaranya sedang dalam perencanaan. Empat proyek ADCP sudah serah terima pada akhir 2020, antara lain LRT Jati Bening dan LRT Bekasi. Berdasarkan profil pembeli, 60 persen di antaranya adalah investor dan 40 persen end user atau warga yang akan memakai untuk tempat tinggal.
Menurut Direktur Pemasaran ADCP Indra Syahruzza, animo masyarakat akan hunian konsep TOD yang dikembangkan ADCP terbilang tinggi. Penjualan pre-sales untuk proyek-proyek ADCP hingga kini sebesar 58,1 persen. Khusus hunian vertikal dengan konsep TOD, dia menyebutkan, harga jual mulai dari Rp 300 juta, sedangkan harga sewa mulai dari Rp 3,5 juta per bulan.
Mengutip laporan MarketBeat Cushman & Wakefield, pada apartemen sewa, permintaan naik selama triwulan II-2021 dan berasal dari penyewa jangka pendek selama liburan Idul Fitri. Tingkat hunian mencapai 48,2 persen atau naik 0,7 persen dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Dengan diterapkannya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat di Jawa dan Bali sejak Juli 2021, tingkat hunian apartemen sewa diperkirakan kembali menurun pada triwulan berikutnya.
Di sisi lain, kondominium sewa mengalami penurunan tingkat hunian 7 persen dari triwulan I-2021 ke triwulan II-2021 atau menjadi 45,2 persen. Ini disebabkan oleh memburuknya pandemi Covid-19.
Meski ada fluktuasi nilai tukar rupiah dan dollar AS pada triwulan II-2021, harga sewa rata-rata apartemen khusus sewa dan apartemen servis relatif tidak berubah, yaitu masing-masing Rp 241.550 dan Rp 356.576 per meter persegi per bulan. Potongan harga sewa sesuai dengan negosiasi diberlakukan di kebanyakan proyek apartemen sewa untuk menarik penyewa baru.